Sekitar Bandung Lautan Api: “Amirmachmud, Prajurit Pejuang dari Cibeber, Cimahi” Bagian 3

Oleh Komunitas Aleut

Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan Sekitar Bandung Lautan Api: “Amirmachmud, Prajurit Pejuang dari Cibeber, Cimahi”

Tulisan Bagian 1 bisa dibaca di sini, dan Bagian 2 di sini.

PINDAH KE TASIKMALAYA, LALU KE BUKANAGARA, DAN SUMEDANG

Suatu malam, pasukan Batalyon Bandung Utara sempat menyerang markas Belanda di Grand Hotel dan dibalas dengan gempuran oleh pesawat-pesawat pengintai Belanda. Untung tidak ada korban dalam peristiwa ini. Setelah ini pasukan dipindahkan ke Tasikmalaya. Dengan menyusuri Gunung Kasur, dan melewati Ujungberung, mereka tiba di Tasikmalaya. Di sini ada Markas Divisi Siliwangi yang dipimpin oleh Didi Kartasasmita. Pasukan Amirmachmud menempati sebuah asrama di Cibeureum, dekat Manonjaya.

Saat ini terjadi reorganisasi batalyon Amir yang menjadi Batalyon Taruma Nagara dengan komandannya Mayor Sentot Iskandardinata dan Amirmachmud memimpin Kompi I. Letjen Urip Sumoharjo sempat mengadakan inspeksi ke Tasikmalaya dan Kompi Amirmachmud mendapat kesempatan untuk memeragakan berbagai keterampilannya. Setelah itu Kompi Amirmachmud bersama Kompi III yang dipimpin oleh Edi Sumadipraja mendapat tugas untuk kembali menyerang Lembang.

Pasukan ini berangkat dengan kereta api luar biasa jurusan Cirebon dan turun di Pagadenbaru, lalu berjalan kaki ke Lembang. Di daerah perkebunan ada banyak lori yang berguna untuk mengangkut perbekalan dan persenjataan berat. Anggota pasukan bergantian mendorongnya, mulai dari Subang sampai Bukanagara. Di sini sudah ada beberapa pasukan, terutama dari kelompok Hizbullah dan pasukan khusus yang dipimpin oleh drg. Mustopo.

Dari Bukanagara, pasukan Amirmachmud mendapat perintah lagi untuk ke Sumedang. Mereka menumpang kereta api sampai Cicalengka, dan selanjutnya berjalan kaki melewati Cadas Pangeran. Seluruh batalyon ditempatkan di asrama Kebon Kalapa.

Perkebunan Bukanagara sekitar 1928. Foto: KITLV.

PEMBOMAN CADAS PANGERAN

Sejak bulan April 1947 sudah ada perkiraan bahwa Belanda akan melakukan serangan ke Sumedang. Seluruh pasukan diperintahkan meninggalkan kota dan bersiap gerilya. Hanya Komandan Batalyon dan pasukan pengawalnya yang dipimpin oleh Letda Otje Djundjunan yang tetap di dalam kota. Begitu pula dengan Amirmachmud yang kemudian mendapat perintah untuk meledakkan bom di sepanjang jalan Cadas Pangeran yang akan digunakan oleh pasukan Belanda sebagai jalan masuk ke Sumedang. Bom-bom itu masing-masing beratnya sekitar 5 kg dan dilengkapi dengan trotil untuk meledakkannya. Sepasukan pendahuluan dari Kompi Amirmachmud berangkat untuk menggali lubang-lubang tempat memasukkan bom-bom itu.

Sore tanggal 20 Juni 1947, pesawat-pesawat tempur Belanda berputar-putar di atas Kota Sumedang dan tiba-tiba memberondongkan peluru ke atas asrama Batalyon 27/Bandung Utara yang sebenarnya sudah dikosongkan. Keesokan harinya, Belanda mulai melakukan gempuran yang dikenal dengan sebutan Aksi Polisionil itu. Iring-iringan kendaraan pasukan Jawa Tengah yang saat itu berkedudukan di Ujungberung terlihat sedang mengundurkan diri melewati Cadas Pangeran dengan mengangkut semua persenjataannya, termasuk senjata berat. Ini menjadi tanda bahwa pertahanan Bandung Timur telah jatuh, dan berikutnya pasti akan ke Sumedang.

Komandan Batalyon yang berada di Sumedang akan segera mundur ke lini kedua dengan kawalan dari pleton Letnan Otje Djundjunan. Amirmachmud dan pasukan Abdurachman segera pergi ke tempat yang telah ditentukan di Cadas Pangeran. Jalan Cadas Pangerang sepanjang 5 km dari Cijeruk sampai Ciherang telah banyak dilubangi. Pasukan pun telah bersiap di tempatnya. Kemudian Amirmachmud memberi perintah untuk segera memasang trotil-trotil, dan selanjutnya bersama Abdurachman dan seorang prajurit, mengadakan peninjauan sepanjang jalan sampai ke Tanjungsari dan ke lokasi yang kelak menjadi sekolah pertanian. Pasukan pejuang yang mundur dari arah Ujungberung menuju Sumedang sudah tidak terlihat lagi.

Ketika mengetahui Belanda sudah masuk Tanjungsari, Amirmachmud memberi perintah untuk menghancurkan Jembatan Cijeruk. Amirmachmud sendiri yang melakukan penyulutan, dan secepatnya menyingkir ke belakang tanggul-tanggul. Persis pukul 20.00 terdengar suara letusan menggelegar. Ternyata Jembatan Cijeruk tidak ambruk total. Amirmachmud mengakui bahwa mereka memang tidak memiliki tenaga ahli untuk melakukan pemboman seperti itu, namun paling tidak jembatan itu sudah miring dan diperkirakan tidak akan bisa digunakan untuk kendaraan berat.

Bagian jalan Cadas Pangeran yang berbelok tajam pun diledakkan, karena biasanya di situ jalan lebih sempit, di satu sisi tebing yang tinggi dan di sisi lainnya terbuka jurang yang dalam. Peledakan akan mengabikatkan tebing longsor dan menutupi jalan. Satu per satu bom yang sudah dipasang di lubang-lubang jalan diledakkan. Total seluruhnya sekitar 20 bom yang diledakkan. Yang paling terakhir adalah peledakan Jembatan Ciherang. Baru sekitar pukul 06.00 pagi seluruh pekerjaan peledakan ini dapat diselesaikan.

Sebenarnya tidak semua proses peledakan itu berjalan lancar, apalagi karena ketiadaan seseorang yang ahli di bidang itu. Trotil-trotil yang digunakan pun merupakan buatan para pejuang sendiri, dan mungkin kurang baik kualitasnya. Kadang, bila bom tidak meledak, anggota pasukan dengan rasa takut sangat, mau tak mau, harus memeriksanya. Bila ternyata sumbunya mati, harus disulut kembali, dan setelah itu secepatnya berlari mencari perlindungan.

Setelah kembali ke Sumedang, tinggal beberapa anggota pasukan saja tertinggal dan masih sibuk mengangkut peralatan. Bus yang sebelumnya digunakan untuk pemasangan bom, ternyata di Sumedang dipakai untuk mengangkut mesiu, namun sebelum sempat berangkat, ternyata ada serangan tiba-tiba dari pesawat tempur Belanda dan mengenai bus tersebut, sehingga menimbulkan ledakan yang sangat besar.

Jalur jalan Cadas Pangeran di lereng sebelah kiri. Foto: wikimedia commons.

MEREBUT MARGAWINDU

Pemboman Cadas Pangeran lumayan menghambat perjalanan pasukan Belanda, sehingga pasukan Republik punya cukup waktu untuk melakukan persiapan dan menyusun strategi. Sesuai rencana, Amirmachmud dengan kompinya akan bergerak di Sumedang Selatan. Dengan berjalan kaki mereka menuju ke Baginda dan daerah pergunungan yang sulit ditembus.

Ketika Belanda sudah masuk kota Sumedang, mereka segera mendirikan pertahanan-pertahanan di pedalaman, di antaranya di bekas perkebunan teh Belanda di Margawindu. Di sini terdapat satu rangkaian pergunungan dengan ketinggian sekitar 1200 mdpl. Lereng-lerengnya dipenuhi hutan tropis yang tebal. Markas Batalyon 27 Bandung Utara yang berkedudukan di Cibubut memiliki kemungkinan untuk melakukan penyerangan ke pos Belanda di Margawindu. Amirmachmud dan Edi Sumadipraja beserta kompinya mendapatkan tugas melakukan penyerangan itu.

Pasukan Belanda dari pleton Flying Company itu menempati emplasemen perkebunan yang sebagian besar gedungnya masih utuh. Dari posisinya, mereka tidak akan menduga bila serangan dilakukan dari arah selatan, yaitu dari Cibubut. Diputuskan serangan akan dilakukan pada malam hari. Menjelang magrib pasukan sudah mendaki lereng-lereng terjal Margawindu. Lewat tengah malam, pasukan sudah berada di puncak Margawindu, hanya beberapa ratus meter dari pasukan musuh yang berada di balik lereng.

Saat pasukan Belanda tertidur lelap, Amirmachmud memberikan komando penyerangan dan dalam sekejap tembakan-tembakan gencar berhamburan. Pasukan Belanda terlihat panik dan tidak dapat memberikan perlawanan berarti. Malah terdengar teriakan-teriakan panik atau ketakutan, dan malah suara tangisan dari pos Belanda. Menjelang subuh, pleton Flying Company melakukan gerakan mundur. Pasukan Amirmachmud terus mengejar sampai ke perbatasan kota Sumedang. Kompi Amirmachmud pun melanjutkan tugasnya mengamankan wilayah Margawindu-Baginda dan memindahkan kompinya ke sini.

Margawindu. Foto diambil dari sekitar lokasi emplasemen yang dijadikan pos Belanda dari pleton Flying Company. Foto: Deuis Raniarti.

Setelah serangan ke Margawindu, letak pertahanan  batalyon 27 Bandung Utara adalah: Pos Komando di Cijere, Kompi Amirmachmud di Rancakalong-Tegalsari, Kompi Indin di Tanjungkerta, Kompi Edi Sumadipraja di Sumedang Selatan, dan Kompi Atet Achmad Saleh menjadi Pengawal Staf Batalyon. Rakyat yang tinggal di kawasan ini dengan sukarela menyediakan rumah-rumahnya untuk tempat pemondokan anggota pasukan.

Kompi Amirmachmud dan Edi Sumadipraja masih melakukan serangan-serang ke pos-pos Belanda, termasuk ke Ciakar dan Kareumbi yang terletak di sisi Jalan Cadas Pangeran, dan umumnya berhasil memukul mundur pasukan Belanda. Setelah ini pasukan-pasukan dari Batalyon 27 Bandung Utara berubah polanya, dari defensif menjadi ofensif, namun ketika semangat itu sedang memuncak, tiba-tiba datang perintah untuk meninggalkan Sumedang menuju Jawa Tengah. Hijrah.

Dengan hati yang berat dan penuh kesedihan, Batalyon 27 Bandung Utara di bawah pimpinan Kapten Sentot Iskandardinata, dengan iring-iringan truk diberangkatkan dari dalam Kota Sumedang menuju pelabuhan Cirebon. Hari itu tanggal 2 Februari 1948. ***

Prajurit Pejuang, Amirmachmud. Foto: wikimedia commons.

Sumber: “H. Amirmachmud; Prajurit Pejuang – Otobiografi” Panitia Penerbitan Otobiografi Bapak H. Amirmachmud, Jakarta Timur, 1987.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s