Sekitar Bandung Lautan Api: R.E. Sulaeman Kartasumitra

Oleh: Komunitas Aleut

TENTARA PELAJAR CIREBON

Sulaeman Kartasumtira dilahirkan di Jakarta pada 31 Juli 1928. Saat Proklamasi Kemerdekaan RI, ia masih berstatus pelajar di sebuah sekolah lanjutan di Cirebon. Usianya masih 17 tahun. Seperti yang terjadi di mana-mana ketika itu, Sulaeman bersama teman-temannya pun bergabung dalam satu kelompok pelajar-pejuang yang kemudian dilebur menjadi Tentara Pelajar. Mereka mendapatkan pelatihan dasar kemiliteran dari TKR-AD (Angkatan Darat) dan TKR-AL (Angkatan Laut).

Dalam kelompok Tentara Pelajar yang dilatih oleh TKR-AL, Sulaeman adalah pemimpin pasukan. Kelompok-kelompok Tentara Pelajar ini secara bergiliran dikirim daerah pertempuran seperti di Krawang atau Bandung. Kadang diberi tugas juga untuk mengawal bahan pangan atau perlengkapan, seperti yang dialaminya pada bulan Juli 1947 bersama Yogi Suwardi Memet, dan beberapa rekan lainnya.

Mereka pergi ke Tasikmalaya dengan kereta api melalui Cirebon. Sebelum memasuki Tasikmalaya, kereta api terhambat karena adanya serangan udara Belanda. Penduduk sipil mendapatkan perintah agar segera mengungsi. Dari Tasikmalaya mereka berjalan kaki ke Manonjaya yang jaraknya sekitar 10 kilometer sambil mengangkat kopor pakaian. Malam itu Sulaeman dkk menginap di rumah rekannya, Saleh Basarah.

TUGAS DI PANTAI SELATAN

Keesokan harinya Sulaeman melanjutkan perjalan kembali ke Cirebon, kali ini dengan berjalan kaki. Saat tiba di rumah Bupati Ciamis yang kebetulan merupakan mertua kakak kandungnya, Sulaeman mendengar siaran radio yang menyatakan bahwa Kota Cirebon sudah diduduki tentara Belanda. Ia pun kembali ke Tasikmalaya dan akan menggabungkan diri pada Detasemen Tentara Pelajar Tasikmalaya yang dipimpin oleh Solichin GP.

Namun, detasemen itu minim persenjataan, dan Sulaeman tidak mungkin mendapatkan mendapatkan senjata di situ. Melalui kakak temannya, Sulaeman bergabung dengan Pasukan Polisi Kereta Api yang persenjataannya relatif lengkap. Sulaeman mendapatkan sebuah senapan, walaupun sebetulnya merupakan senapan berburu, yaitu Mauser kaliber 7,9.

Tugas pertama Sulaeman adalah mengawasi penutupan jalan sepanjang 10 kilometer dari pantai Laut Selatan sampai ke pedalaman, dengan cara menumbang-numbangkan pepohonan di pinggir jalan itu. Selain itu juga menghacurkan semua pabrik perkebunan yang ada di lintasan itu. Tugas ini diselesaikan dalam waktu satu minggu.

Pantai di selatan Ciamis tahun 1920-an. Foto: KITLV.

Ketika dalam perjalanan kembali ke Tasikmalaya, ia berpapasan dengan pasukan yang sedang mundur dari Tasikmalaya yang sudah dikuasai musuh. Semangat juag mereka saat itu sudah merosot sekali. Dengan senjata yang didapat dari pasukan itu, Sulaeman maju ke front depan, dan bersama Letkol Sutoko berhasil menghancurkan jembatan Gunung Putri.

Hari berikutnya, pasukan Sulaeman mendapat sergapan dari tentara Belanda. Dua anak buahnya ditawan Belanda, sementara dua orang lainnya sempat naik ke atap rumah penduduk dan lolos karena mendapat perlindungan dari pasukan yang terus melakukan tembakan. Belanda memang mundur, tapi setelah itu menggempur kembali dengan meriam sebanyak 70 tembakan. Saat sergapan ini terjadi, Sulaeman sedang menjalankan perintah untuk berpatroli di seberang sungai yang jembatannya mereka jaga.

PENGADANGAN DI SINGAPARNA DAN KEDATANGAN PASUKAN SALAMOEN

Ketika itu, pasukan-pasukan Republik sedang gencar mengadakan pengadangan-pengadangan terhadap patroli dan konvoi Belanda atau menyerang pos-pos Belanda seperti di Mangunreja. Pengadangan yang mereka lakukan di Singaparna, dekat Gunung Kacapi, ternyata merenggut korban seorang Tentara Pelajar dari Cirebon bernama Soenarjo.

Kemudian datang lagi rekan-rekan Tentara Pelajar dari Cirebon dari kesatuan yang dipimpin oleh Salamoen AT. Sebagai Komandan Batalyon-400, Salamoen, dengan wilayah operasi di Cirebon, Purwakarta, dan Pekalongan.

Sulaeman mendapat cerita dari rekan-rekan Batalyon-400, bagaimana mereka telah terkecoh oleh gerak-gerik kapal perang angkatan laut Belanda yang seakan mau menyerang, tetapi ternyata mereka mendapat sergapan Belanda dari arah dalam, dari pasukan-pasukan Belanda yang telah menerobos Bandung sampai Cirebon. Hal ini tidak diketahui oleh pasukan di Cirebon karena masalah alat-alat perhubungan yang tidak memadai. Ada banyak jatuh korban. Seorang anggota Tentara Pelajar ditembak mati di jalan masuk menuju Cirebon, tak jauh dari asrama mereka. Pasukan Tentara Pelajar tercerai berai dan Salamoen dkk kesulitan menyusun kembali perlawanan dan akhirnya mengundurkan diri ke Tasikmalaya Selatan. Setelah beberapa kali mengikuti gerakan operasional di Tasikmalaya, serta cukup pula persenjataan dan pengalamannya, Batalyon-400 memutuskan untuk kembali ke Cirebon dan mengadakan perlawanan di sana. Keputusan ini sangat berani, karena perwira-perwira yang sudah berpengalaman, bahkan lulus dari akademi militer pun merasa tidak akan bisa berbuat banyak bila kembali ke kota.

Keadaan jalan di pusat kota Tasikmalaya pada tahun 1930. Foto: KITLV.

PASUKAN KELANA SAKTI

Pasukan yang kembali ke Cirebon ini menamakan dirinya Pasukan Kelana Sakti, dipimpin oleh Sulaeman Kartasumitra. Kelak Gubernur Jawa Barat Mayjen Aang Kunaefi menabalkan nama ini sebagai nama jalan sepanjang 9 kilometer antara Kecamatan Kadugede dengan Desa Sagarahiang yang selama Perang Agresi I dan II dijadikan basis perjuangan gerilya daerah Kuningan Barat.

Tiba di Cirebon, ternyata pasukan-pasukan RI telah tersusun kembali dalam kelompok-kelompok kecil yang dipimpin oleh Komandan Brigade V Divisi Siliwangi, Kolonel Abimanyu. Mula-mula Pasukan Kelana Sakti bergabung dengan Daerah Gerilya II (Daerah Gerilya Kuningan Barat) di bawah komando Kapten Rukman, dengan wilayah sebelah timur dan selatan jalan penghubungan antara Cirebon-Ciamis. Biasa disebut sebagai Daerah Gerilya III (Daerah Gerilya Kuningan Timur).

Keadaan jalur jalan Cirebon-Ciamis pada tahun 1929. Foto: KITLV.

Setelah mengadakan orientasi medan dan berbicara dengan Letkol Abimanyu, Kapten Umar, dan Kapten Rukman, Pasukan Kelana Sakti pindah ke Daerah Gerilya Kuningan Barat di lereng Gunung Ciremai yang dipimpin oleh Kapten Umar.

Di luar dugaan, ternyata kepindahan ini telah meoloskan mereka dari malapetaka. Pada sore hari hujan mereka meninggalkan Desa Sindangjawa, dan karena hujan tidak berhenti, mereka memutuskan bermalam di kampung berikutnya. Ternyata pukul 01.00 ada serangan besar-besaran yang dilakukan pihak Belanda terhadap Desa Sindangjawa.

Kapten Rukman yang menempati rumah Pak Lurah, berhasil meloloskan diri dengan terjun ke jurang di belakang rumah. Di seberang rumah Pak Lurah adalah bekas markas Pasukan Kelana Sakti, keadaannya hancur lebur.

Letkol Abimanyu telah mengatur agar seluruh Tentara Pelajar bergabung dengan TNI yang tersebar di seluruh wilayah Brigade V Divisi Siliwangi. Banyak Tentara Pelajar dari Kota Cirebon yang bergabung dengan Pasukan Kelana Sakti, sehingga pasukan ini perlu dibagi dua, satu dipimpin oleh Sulaeman Kartasumitra, dan satu lagi oleh Sachroni, dengan tugas bergiliran seminggu-seminggu.

Tentang Kapten Umar dan Daerah Gerilyanya yang disebut di atas ada sedikit perbedaan dengan yang ditulis dalam buku “Umar Wirahadikusumah; Wakil Presiden RI Terpilih” (Almanak RI, Jakarta, 1983. Disebutkan dalam buku ini bahwa Umar (Wirahadikusumah, kelak menjadi Wakil Presiden RI 1983-1988) adalah Komandan Batalyon I Resimen V yang merangkap sebagai Komandan Gerilya III wilayah Cirebon.

Lalu, tibalah Perjanjian Renville yang salah satu hasilnya mengharuskan pasukan bersenjata RI pergi meninggalkan wilayah pendudukan Belanda ke wilayah RI di Jawa Tengah. Anggota-anggota Tentara Pelajar dianjurkan untuk kembali ke kota dan melanjutkan pendidikan. Sulaeman mendapat tugas mengawal pengangkutan persenjataan yang terpisah dari angkutan anggota pasukan.

Di Jawa Tengah, para pelajar pejuang yang berasal dari Jawa Barat ditampung dalam organisasi Corps Pelajar Siliwangi yang tersebar di empat tempat, Sala, Yogya, Magelang, dan Purworejo. Keempatnya merupakan tempat konsentrasi Pasukan Siliwangi. Corps Pelajar Siliwangi di Sala mula-mula ditempatkan di kompleks perumahan Pabrik Gula Colomadu, sekitar 6 kilometer dari Kota Sala. Pergi-pulang merekan menggunakan lori pengangkut tebu yang disebut muntit.***

Diceritakan kembali berdasarkan sumber buku “Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan” yang diterbitkan oleh Markas Besar Legiun Veteran Republik Indonesia (Jakarta, 1982).

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s