Oleh : Ifa Paramitha

Minggu pagi itu terasa sangat segar. Dukungan cuaca yang cerah juga turut menyemarakan akhir pekan di penghujung September 2010. Dalam rangka memperingati HUT ke 200 Kota Bandung yang jatuh sehari sebelumnya, kami menyusuri jejak Bandung tempo dulu dengan jalan-jalan di sekitaran wilayah kota tuanya di tahun 1920-1940an. Bandung memang terkenal sebagai kota paling Eropa se-Asia, maka ga heran kalau banyak nuansa Eropa di bangunan-bangunan tua di ibukota Jawa Barat ini.

Perjalanan dimulai dari jalan Asia Afrika yang termasuk rangkaian jalan raya pos, jalan yang dibuat pada zaman Daendles untuk menghubungkan ujung timur dan barat Pulau Jawa.  Pusat kota terletak di jalan ini setelah sebelumnya sempat bertempat di Dayeuhkolot dan Cipaganti.

Patokannya adalah titik 0,0 yang ada di depan Gedung Bina Marga. Disana ada batu putih berukuran sekitar satu meter bertuliskan Bdg 0,0 dengan CIN 18 di sisi kiri dan PDL 18 di sisi kanan. Ini menandakan jarak Cileunyi dan Padalarang masing-masing 18 km ke arah utara dan selatan dari titik itu berada.

Kami berkumpul di Gedung Merdeka. Gedung ini merupakan tempat mewah di zamannya dan terkenal dengan sebutan Sociated of Concordia karena menjadi tempat berkumpulnya para menir Eropa saat itu. Selain sekedar kumpul untuk ajang sosialisasi, biasanya mereka menonton teater. Ruangan yang dipakai adalah sebuah aula besar yang pada tahun 1955 sempat digunakan saat Konferensi Asia Afrika (KAA). Pot bunga, meja, dan kursi yang digunakan saat itu masih ada lho sampai sekarang.

Tepat di seberang Gedung Merdeka, ada gedung yang sedang direnovasi bernama De Vries. Dulu, tempat ini bisa dibilang adalah sebuah toko berkonsep mal. Zaman itu, memang belum lazim ada toko yang udah punya toilet di dalamnya. Dan seperti gedung tua lainnya, De Vries juga punya ruang bawah tanah dan ruang kecil berjendela di atap yang menyembul dari deretan genting. Kini rencananya, gedung yang beberapa waktu lalu sempat tidak terurus itu akan menjadi bank.

Lanjut ke arah selatan, ada dua hotel yang menjadi saksi sejarah KAA, yaitu Savoy Homann dan Grand Preanger. Preanger telah mengalami proses pemugaran dengan ciri khas art deco Eropa oleh arsitek Schoemacker dengan Presiden Soekarno sebagai asisten juru gambarnya.

Di Preanger juga ada lampu gas yang hingga kini masih ada tergantung di sisi ujung hotel bagian atas.

Bandung berada di peringkat 9 kota art deco sedunia. Bahkan Paris saja berada di peringkat 10. Maka ga heran kalau aktor sekelas Charlie Chaplin pernah berlibur di Bandung dan mengina di Hotel Savoy Homann. Kini, kamar Chaplin masih ada dan ga disewakan. Kedua hotel ini memang terkenal sebagai hotel yang sangat berkelas, sehingga para pribumi pun kadang sering bertanya-tanya kapan bisa menginap di sini.

Homann dan Preanger merupakan tempat para delegasi KAA menginap. Sebutan  historical walk pun lahir karena mereka berjalan kaki dari hotel menuju Gedung Merdeka tempat konferensi dilaksanakan.

Kaki-kaki kami kemudian beranjak ke jalan Braga. Di hadapan kami terbentang gedung berbentuk kaleng biskuit bernama New Majestic. Dengan masih mempertahankan ornamen lokalnya, yaitu ukiran Batara Kala di atasnya, tempat ini kini berfungsi sebagai gedung kesenian. Batara Kala sendiri merupakan tradisi Hindu untuk menangkal aura negatif. Di Bandung, ukiran ini ada di dua bangunan: New Majestic dan Landmark. Namun untuk yang di Landmark, Batara Kala diukir tanpa rahang bawah.

Sebelum kemerdekaan, gedung yang sempat bernama Asia Africa Cultural Center (AACC) ini merupakan lambang ras Belanda. Saking prestisiusnya, pernah ada tulisan “terlarang bagi anjing dan pribumi” di dindingnya. Wow!

Setelah merdeka, AACC jadi bioskop. Zaman Susanna terkenal dengan peran hantu sundel bolong tahun 1980-an, AACC jadi bioskop khusus dewasa yang nayangin film-film syur.

Tepat di sebelah New Majestic, ada gedung tua yang sangat tidak terurus. Padahal dulunya tempat ini, Oubon Marche, adalah toko pakaian elit yang stok barangnya dikirm langsung dari Perancis. Bangunan bercat putih pucat ini punya dua lantai. Bagian dalamnya sangat berantakan dengan barang bekas dan kayu-kayu tua. Semakin ke dalam, semakin gelap dan hanya ada sedikit cahaya matahari mengintip dari celah bekas jendela. Tangga menuju ruang atas juga terlihat rapuh. Saking tua dan tidak terurusnya, di dinding depan ada akar pohon yang menjalar. Cocok sebagai tempat uji nyali.

Di seberang, ada bangunan bernama Sarinah yang ditutup beberapa seng  yang berjajar di depannya. Dulu, Sarinah adalah toko serba ada.

Sistem blok di Braga menggunakan sistem kepemilikan sewa atau beli. Satu blok bisa menampung dua toko. Hal ini bisa dilihat dari atap-atapnya yang simetris.Braga memang surganya toko pada zaman itu maka ga heran kalau kawasan ini menjadi pusat denyut ekonomi kelas atas yang superkaya. Untuk beli es krim saja, para noni berpakaian gaun dan yang cowok pakai tuksedo. Kebayang kan betapa elitnya Braga tempo dulu. Bahkan kawasan ini juga menyediakan ladang prostitusi para wanita indo di jalan Kejaksaan.

Di persimpangan Braga-Naripan, ada bangunan yang kini menjadi Bank Jabar. Dulu tempat ini berfungsi sebagai bank juga, namanya Denisch Bank.  Sama seperti Hotel Yamato di Surabaya, bank ini menjadi saksi bisu dirobeknya bendera Belanda.

Kota kembang ini punya sepuluh instalasi perjuangan heroik rakyat Bandung. Salah satunya berada tepat di depan bank ini. Harusnya bunga Patrakomala, namun akibat ulah tangan-tangan iseng, bunga itu kini hilang dan hanya tersisa rantingnya.

Kini, kami berada di jalan Braga yang dilapisi batu andesit. Entah karena pemeliharaan dari pemkot yang kurang terjamin atau memang para pengguna jalan yang jorok, batu-batu itu banyak yang rusak. Sedikit retak dan ada yang pecah.  Padahal harganya kan ga murah ya. Sangat disayangkan.

Oke, kembali ke bangunan tua. Kini kami berhenti di depan kantor administrasi perusahaan gas negara. Penerangan saat itu memang menggunakan gas, bukan listrik. Gas disalurkan ke setiap rumah. Lampu gas yang ada di Hotel Preanger itu juga sumbernya dari sini.

Berjalan sedikit ke depan, ada minimarket Alfamart. Kebetulan sebagian dari kami merasa haus dan memutuskan belanja minum sebentar di sini. Beranda yang unik, foyer mungil, dan ubin yang masih mempertahankan keaslian bangunan asalnya  membuat tempat ini nyaman dan tidak tampak seperti minimarket kebanyakan.

Selesai dengan urusan minum, kami melangkah menyebrangi Jalan Lembong. Dulu jalan ini bernama Jalan Rumah Sakit Lama karena memang ada rumah sakit di dekat Hotel Panghegar. Rumah sakit ini kemudian pindah ke Rancabadak yang kelak menjadi Rumah Sakit Hasan Sadikin. Lembong sendiri merupakan nama seorang kolonel yang gugur dalam pertempuran melawan Westerling.

Di sebelah kiri, terdapat bangunan bernama Landmark yang juga punya ukiran Batara Kala seperti New Majestic. Di depannya, trotoar ga langsung beratapkan langit, tapi ada semacam atap yang menjorok ke atas. Arcade ini dibuat seperti konsep jalanan di Eropa.

Bank Mandiri di sebelahnya dulu sempat menjadi pom bensin. Dipisahkan oleh rel kereta api, di sebelah kanan bank ada bangunan dengan desain sangat Eropa yang anti matahari. Jendelanya dipasangi besi kecil warna-warni. Dulu pernah menjadi pabrik minyak. Kini tempat itu sedang dalam tahap penjualan. Sempat menjadi kantor residen, polda, sekolah, dan event organizer.

Bersisian dengan bangunan itu, ada gedung tinggi yang sempat menjadi gedung pemerintahan Jawa Barat hingga tahun 1970an sebelum pindah ke Gedung Sate. Bangunan itu kini digunakan sebagai Gedung Kerta Mukti

Tepat di seberangnya, berdiri Bank Indonesia (BI). Tahun 1909, lahan BI ini merupakan lapangan kosong tempat anak muda berkumpul. Selain sebagai pusat lifestyle, tempat ini juga kerap dijadikan ajang pamer mobil. Kalau sekarang, sekelas lah ya dengan gelaran Djarum Black Car yang suka diadain di Gasibu.

Lanjut lagi ke Taman balaikota. Dulu taman ini disebut taman raja soalnya suka dipake ngaso anak-anak yang sekolah di seberang taman ini (sekarang SD Banjarsari). Selain itu, di sini juga sering banget dipake kegiatan marching band, balapan sepatu rida, atau modern dance. Ada juga gazebo babacong, sebuah tempat mirip kerangkeng yang dipake buat orkes militer. Di dekat gerbang sana juga teronggok patung badak putih. Konon badak itu dulunya suka mandi lumpur disitu.

Beres duduk-duduk dan foto di taman balkot, kami nyebrang jalan merdeka. Melewati mapolwltabes yang saat itu lagi banyak motorl diparkir di halamannnya. Kirain jadi showroom motor. Oh ternyata itu motor sitaan hasi menjaring geng motor di malam sebelumnya. Yah..kepada yang tertangkap, saya ucapkan selamat! Selamat merana!

Setelah menyusuri Jalan Jawa, kami belok ke jalan Sumatera di seberang SMP 5 dan SMP 2. Di ujung jalan ini ada gedung Balai Keselamatan yang merupakan jaringan organisasi sosial internasional. Sistem keanggotaan yang dipakai berdasarkan pangkat. Unik deh ya. Sekarang gedung  yang dibikin sama orang Inggris ini jadi panti asuhan berbasis agama.

Di jalan ini juga ada Taman Lalu Lintas yang jadi taman bermain wajib bagi anak-anak masa kini. Masa itu, taman ini dijadikan tempat latihan para tentara. Kayak baris berbaris, dll. Kemudian taman ini dijadikan sebagai taman pendidikan lalu lintas bagi anak-anak. Nama Ade Irma Suryani Nasution diabadikan jadi nama taman ini setelah dia gugur saat peristiwa G30S/PKI. Taman ini cocok untuk belajar lalu lintas sebelum menjalani tes bikin SIM.

Daerah ini juga jadi kawasan militer karena saat itu memang ada wacana untuk pemindahan ibukota dari Batavia ke Bandung. Alasannya, Bandung punya pertahanan alami karena dikelilingi gunung. Oleh karena itu, mulailah pembangunan pertahanan militer dilaksanakan. Di Cimahi ada garnisun penjara, di Kiaracondong dibangun pabrik senjata Pindad, di Gatsu ada perumahan militer, di Jalan Aceh ini dibangun istana komandan militer yang kini jadi markas Kodam III/Siliwangi. Tapi…karena ada krisis pasca Perang Dunia 1, pemindahahan ibukota itu dibatalkan.

Di belokan sana, ada taman Maluku yang terkenal dengan patung pasturnya. Menurut cerita yang beredar, dia adalah seorang rohaniawan militer Belanda yang posisinya suka berubah. Entah lah..

Di sekitaran ini juga ada lapangan tenis Maluku yang melahirkan juara Wimbledon junir, Angelique Wijaya.

Sedikit berjalan ke depan, ada bangunan dengan tiga patung Atlas yang sekarang dipakai jadi Kodiklat. Namanya Jaarbeurs. Hingga tahun 1941, Jaarbeurs ini semacam bursa tahunan seperti pekan Raya Jakarta.  Masjid yang ada di komplek ini dulu berfungsi sebagai gudang. Pos penjagaan di gerbang depan itu dulunya loket pembelian tiket Jaarbeurs. Sayangnya, Jaarbeurs dihentikan dan mati saat masa penjajahan Jepang.

Di seberangnya, ada lapangan Saparua yang sempat fenomenal di era 90-an. Tempat ini jadi saksi sejarah pergerakan scene musik undergorund Bandung. Jadi ga heran kalo Saparua dulu jadi tempat paling representatif untuk para anak muda Bandung. Berbelok ke kiri Jalan Banda, terdapat bangunan tua lagi berupa gereja katholik bebas yang udah ada sejak Natal tahun 1916. Dulu pernah jadi pusat teosofi.  Gereja S. Albanus ini sekarang buka kursus bahasa belanda.

Perjalanan pun telah sampai di penghujung cerita. Kami istirahat di Taman Lansia sebelah gedung Pos Indonesia di Gedung Sate. Kebetulan saat itu kegiatan pasar kaget gasibu masih berlangsung ditambah suara latihan marching band , membuat suasan jadi makin ramai. Taman ini adem sekali dengan pohon gede yang tumbuh menjulang. Kenapa pohon ini bisa tumbuh sedemikian rindang di tengah kota? Ga lain dan ga bukan karena adanya kanal buatan yang sengaja dibuat untuk mengairi pohon-pohon ini. Sebuah sistem sederhana. Ga kaya sekarang yang riber mesti ada mobil khusus penyiram tanaman yang mondar-mandir di jalanan.

Akhirnya, usai sudah  kisah menyusuri sejarah Bandung versi kota tua hari itu. Sungguh seru berjalan kaki di tanah priangan ini. Bertahun-tahun melewati jalan yang sama, tapi baru ini saya nyadar betapa indahnya si Bandung kalau diamati dan ditelisik lebih dekat.

Selamat ulang tahun, Bandung! Semoga dirimu yang sudah berusia tepat dua abad ini dapat menjadi kota bijak yang selalu menyenangkan dan tidak mengada-ada. I love you more!

-ifa. 2010-