Catatan Perjalanan Momotoran Sumur Bandung

Oleh Komunitas Aleut

Catatan ini sebenarnya sudah selesai ditulis dua bulan lalu, tapi baru sempat diunggah sekarang.

Beberapa hari lalu, seorang kawan di Komunitas Aleut mengirimkan sebuah video yang menampilkan rekaman sebuah sumur yang terletak di lahan kosong bekas bangunan Palaguna. Sumur itu dipagari dan diberi papan penanda bertuliskan Cagar Budaya. Video itu menimbulkan reaksi dari kami.

Wah, kayanya salah itu. Bukan di situ letak sumur keramatnya, tapi di depan.” Ujar salah seorang kawan.

Keberadaan sumur keramat tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya Kota Bandung. Meski begitu informasi mengenai keberadaan sumur ini masih terbatas. Masyarakat umumnya hanya mengetahui satu sumur saja, yakni yang berada di dalam gedung PLN di Asia Afrika. Padahal setidaknya ada 7 buah sumur yang bisa disebut sebagai sumur keramat, dan salah satunya yang berada di lahan bekas gedung Palaguna. Informasi mengenai sumur-sumur lain bisa dibaca di sini.

Berawal dari video kiriman inilah diskusi di dalam grup terjadi. Kesalahan penetapan ini kami kira cukup fatal di tengah semakin membanjirnya informasi sejarah kota. Maka untuk memastikannya, saya dan seorang kawan coba mendatangi sumur tersebut.

Kami berangkat ba’da asar menuju lokasi bekas Palaguna yang kini sudah beralih fungsi menjadi lahan parkir. Saya mendatangi dulu lokasi sumur yang “benar” karena letaknya persis di lokasi parkir kendaraan saya. Beginilah kondisi sumur keramat yang “benar” itu sekarang. Boro-boro ditandai sebagai Cagar Budaya, dirawat saja rasanya tidak.

Dokumentasi: Ainayah (Komunitas Aleut)

Kami mengobrol dengan seorang pengamen yang tengah beristirahat di sebelah sumur. Ia bercerita sering mendengar suara-suara aneh dari dalam sumur terutama di malam hari. Ia dan teman-temannya memang sering menghabiskan malam, atau begadang di lokasi dekat sumur itu.

Dari sana kami melanjutkan perjalanan menuju sumur yang “salah”. Menurut keterangan pengamen tadi, kami harus meminta izin ke satpam penjaga gerbang untuk melihat sumur tersebut. Kami pun bergegas menuju gerbang, di sana seorang satpam tengah menjaga pintu. Saya pun meminta izin padanya untuk melihat sumur, tapi sayangnya dia menolak memberi izin, entah apa alasannya. Katanya dilarang oleh atasannya yang entah siapa. Aneh juga objek cagar budaya, di ruang publik, tapi tidak leluasa dikunjungi orang. Sembari merasa kecewa, hasil temuan itu saya sampaikan kepada kawan-kawan Aleut.

Sumur-sumur Lain Bernama Sumur Bandung

Diskusi mengenai Sumur Bandung terus berlangsung di antara kami. Pokok pembahasan yang menjadi fokus utama adalah nama “Sumur Bandung” itu sendiri. Ternyata nama ini tidak hanya digunakan untuk sumur keramat yang berada di Kota Bandung saja. Sumur Bandung juga dipakai di kota-kota lain seperti Cimahi, Cipatat, Cirebon, sampai Kediri, bahkan Lampung. Meski begitu kami belum menemui asal muasal penamaan ini.

Seorang kawan mencoba mencari informasi tentang keberadaan Sumur Bandung lain yang lokasinya berada di sekitaran Bandung Raya. Satu Sumur Bandung berada di kaki Gunung Lagadar, dan satunya lagi berada di Kampung Singapura, Cipatat. Informasi inilah yang melatarbelakangi kegiatan Momotoran kami kali ini, ingin mendatangi langsung sumur-sumur dengan julukan yang sama itu, Sumur Bandung.

Sumur Bandung Lagadar

Sumur Bandung terdekat yang berada di sekitar Gunung Lagadar menjadi lokasi pertama yang kami sambangi. Sumur ini terletak di Kampung Cikuya, Desa Lagadar, Kecamatan Margaasih, Kabupaten Bandung. Sebelum menemui sumur, ada gapura dan jalan setapak ke dalam untuk masuk lebih ke dalam.

Sumber Foto: Irfan Pradana (Komunitas Aleut)
Continue reading

Takdir Tujuh Sumur

Oleh: Ariyono Wahyu Widjajadi (@A13xtriple)

Salah satu pertimbangan bagi orang tua dahulu dalam menentukan pilihan tempat bermukim adalah ketersediaan sumber daya alam  berupa air. Dikisahkan penentuan lokasi ibu kota beberapa kabupaten di Tatar Priangan

sangat mempertimbangkan keberadaan mata air yang dikiaskan sebagai tempat berkumbangnya badak putih (paguyangan badak putih).

Sumber Air dan Pusat Pemerintahan

Sebagai  contoh, kisah perpindahan ibu kota Kabupaten Limbangan pada tahun 1813 dari daerah Suci ke lokasi yang saat ini menjadi kota Garut adalah berdasarkan pertimbangan sumber air. Sebelumnya lokasi ibukota kabupaten sempat akan didirikan di sekitar daerah Cimurah, namun karena sumber mata air sulit diperoleh, rencana ini kemudian diurungkan.

Pemilihan ibukota Kabupaten Cianjur di lokasi saat ini juga memperhatikan ketersediaan sumber air bersih dengan keberadaan tempat yang dipercaya sebagai paguyangan badak putih di salah satu sudut Alun-alun.

Pencarian keberadaan kubangan badak putih (mata air) sebagai faktor penting dalam pemilihan lokasi ibukota kabupaten terjadi pula saat Kabupaten Bandung – berdasarkan surat keputusan (besluit) Gubernur Jenderal Daendels tertanggal 25 September 1810 – diminta untuk memindahkan ibukotanya dari Dayeuhkolot ke lokasi dekat Jalan Raya Pos.

Naskah Sadjarah Bandoeng menyebutkan bahwa Bupati Bandung R.A.A. Wiranatakusumah II pada tahun 1809 disertai sejumlah rakyatnya telah pindah dan menetap di daerah Cikalintu (Cipaganti). Pemilihan Cikalintu yang terletak di utara Grote Postweg karena daerah ini memiliki beberapa mata air, salah satunya, Pancuran Tujuh di Cikendi.

Continue reading

Ngaleut Kampung Warna Cibunut

IMG-20171203-WA0050

Ngaleut Kampung Warna Cibunut – Komunitas Aleut

Oleh: Hendi “Akay” Abdurahman (@akayberkoar)

Beberapa orang meyakini, pertemuan dan ide-ide cemerlang kerap hadir di cafe-cafe di tengah kota. Obrolan ngalor-ngidul untuk menghasilkan sesuatu yang berujung pada satu tujuan yang sama diharapkan akan membuat satu perubahan besar. Lalu, bisakah pertemuan dan ide-ide itu lahir dari obrolan di gang-gang kecil?

Saya melihat sekumpulan orang di depan toko Istana Boneka setelah melewati perempatan Jalan Sunda-Jalan Veteran. Seorang perempuan yang saya kenali melirik, untuk kemudian beradu pandang. Saya tak berhenti karena tanggung dengan kendaraan lain yang sedang melaju cepat. Alasan lainnya, saya mencoba mencari tempat parkir yang bisa ditinggali sampai siang.

Tempat parkir tak didapat, meski hari Minggu, halaman parkir di Jalan Sunda cukup padat. Mau tak mau akhirnya saya memutar kembali ke titik kumpul di depan toko Istana Boneka. Turun dari motor, saya melihat toko Istana Boneka dalam keadaan tutup. Saya tidak tau jam operasioanal toko ini, tapi entah mengapa, saya yakin jika toko ini bakalan buka siang nanti. Artinya saya harus pindah parkir dari sini. Continue reading

Sejarah Bahasa Sunda dalam Kebudayaan Cetak

Oleh: Irfan Teguh Pribadi (@irfanteguh)

Perkembangan bahasa Sunda sampai bentuknya yang sekarang ini tidak bisa dilepaskan dari peran orang-orang Belanda. Atau, menurut Mikihiro Moriyama dalam buku Semangat Baru; Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19, bahasa Sunda dalam sejarahnya “ditemukan”, “dimurnikan”, dan “didayagunakan” oleh orang kolonial.

“Kaum cendekiawan Belanda yang berstatus pejabat pemerintah kolonial, penginjil, dan partikelir yang hidup pada abad itu baru menemukan bahasa Sunda sebagai bahasa mandiri yang memiliki kosa kata dan struktur tersendiri pada abad ke-19,” tulis Edi S. Ekadjati dalam pengantar buku tersebut.

Seorang Belanda yang perannya cukup besar dan tidak bisa dilepaskan dari hadirnya budaya cetak dalam bahasa Sunda adalah Karel Frederik Holle atau K.F. Holle. Her Suganda dalam buku Kisah Para Preangerplanters menuturkan bahwa sebelum berkenalan dan mendalami bahasa Sunda, K.F. Holle hanya salah seorang yang ikut dalam rombongan pelayaran warga Belanda pimpinan Guillaume Louis Jacques van der Hucth. Pada 1843, rombongan yang berlayar dari Belanda itu hendak menuju tanah harapan di timur jauh, yaitu sebuah negeri koloni yang bernama Hindia Belanda.

Setelah bekerja selama sepuluh tahun di Kantor Residen Cianjur sebagai klerk dan di Kantor Directie van Middelen en Domeinen di Batavia, K.F. Holle merasa tidak puas. Ia akhirnya memilih menjadi administratur sebuah perkebunan teh di Cikajang, Garut. Setelah itu ia lalu membuka perkebunan teh dan kina waspada (Bellevue) di kaki Gunung Cikuray.

Di tempat kerja barunya, K.F. Holle tertarik dengan literasi dan kebudayaan Sunda. Sambil belajar bahasa Sunda dalam pergaulan sehari-hari dengan masyarakat dan penguasa setempat, ia pun kerap mengenakan pakaian seperti halnya pribumi, seperti sarung dan kerepus.

Continue reading