Bandoengsche Kunstkring, Bagian-3: Anna Pavlova, The Dying Swan

Irfan Pradana

Terlalu ceroboh jika melewatkan nama ini dalam riwayat perjalanan Bandoengsche Kunstkring. Kebesaran namanya kala itu menjadi incaran berbagai negara. Tiket pertunjukannya di Eropa selalu habis meskipun dibandrol dengan harga mahal.

Anna Pavlova adalah sosok yang namanya begitu melekat dalam dunia balet, seorang legenda yang mengubah wajah seni tari di zaman modern. Dalam catatan ensiklopedia online britannica.com, Anna Pavlovna Pavlova yang terlahir dengan nama Anna Matveyevna Pavlova, lahir pada 12 Februari 1881 di St. Petersburg, Rusia, Pavlova tumbuh dalam keluarga sederhana. Sejak kecil, ia memiliki ketertarikan besar pada dunia tari.

Di usia 10 tahun, impiannya mulai mendekati kenyataan ketika ia diterima di Imperial Ballet School, lembaga balet paling bergengsi pada masanya di Rusia. Namun, perjalanan Pavlova tidaklah mudah. Tubuhnya yang tinggi, ramping, dengan kaki yang melengkung tajam dan pergelangan kaki yang tipis dianggap tidak sesuai dengan standar balerina ideal pada waktu itu — yang lebih mengutamakan tubuh kecil dan padat. Rekan-rekan sekelasnya bahkan mengejeknya dengan julukan seperti The broom (Sapu) dan La petite sauvage (Si Liar Kecil).

Pavlova tidak menyerah. Ia justru menjadikan ciri fisiknya yang unik sebagai kekuatan. Dengan kerja keras dan dedikasi luar biasa, ia menguasai teknik balet dengan gaya yang khas — lembut, anggun, dan penuh emosi.

Tahun 1905 menjadi momen penting dalam kariernya ketika ia menarikan The Dying Swan, sebuah tarian solo yang koreografinya dirancang oleh Michel Fokine dengan musik dari komponis Camille Saint-Saëns. Tarian ini begitu mnegesankan sehingga menjadi identitas yang melekat pada Pavlova sepanjang hidupnya. Gerakannya yang penuh kelembutan dan ekspresi emosional yang mendalam membuat penonton terpukau, seolah-olah melihat seekor angsa yang sedang meregang nyawa dengan keindahan yang tragis.

Pada tahun 1906, Pavlova diangkat sebagai Prima Ballerina, gelar tertinggi bagi seorang penari balet. Namun, ia tidak puas hanya tampil di panggung Rusia. Pada tahun 1911, Pavlova membentuk kelompok baletnya sendiri, The Pavlova Ballet Company. Bersama rombongan ini, ia melakukan tur keliling dunia, termasuk ke Amerika, Jepang, Australia, hingga Hindia Belanda. Langkahnya yang berani membawa balet ke negara-negara yang sebelumnya belum mengenal seni ini menjadikannya pionir dalam memperkenalkan balet ke khalayak yang lebih luas.

Pavlova tidak hanya dikenal karena bakatnya yang luar biasa, tetapi juga karena inovasinya. Ia memodifikasi sepatu baletnya dengan tambahan sol keras untuk mendukung kakinya yang melengkung, sebuah inovasi yang kemudian menjadi dasar bagi desain modern pointe shoes. Selain itu, keberhasilannya sebagai balerina bertubuh ramping dan tinggi membuka jalan bagi para penari dengan bentuk tubuh yang berbeda untuk bersinar di dunia balet.

Sebagian kalangan memang menganggapnya old fashioned atau konservatif, tapi bagi sebagian lainnya dia adalah seorang inovator karena keberhasilannya menggabungkan ballet dengan bentuk-bentuk tari tradisional dari berbagai wilayah dunia, termasuk merevitalisasi jenis-jenis tarian yang sudah dilupakan orang. (The Swan Brand: Reframing the Legacy of Anna Pavlova. Jennifer Fisher. Cambridge University Press. 2012).

Dedikasinya pada seni balet begitu besar hingga ia tetap tampil, pun saat kondisi kesehatannya menurun. Pavlova meninggal pada 23 Januari 1931 akibat radang paru-paru. Konon, di ranjang kematiannya, Pavlova meminta kostum The Dying Swan dibawakan kepadanya, seolah menandakan bahwa balet adalah bagian dari jiwanya yang tak terpisahkan.

Continue reading

Bandoengsche Kunstkring, Bagian 2: Lingkar Seni Bandung

Irfan Pradana

Pasang Surut Pasang

Bandoengsche Kunstkring mengalami hiatus selama lima tahun, semenjak tahun 1907 hingga 1912. Tahun-tahun itu organisasi ini tidak menggelar kegiatan. Kepengurusan pun mengalami kekosongan setelah terakhir diketuai oleh Schaik.

Lima tahun masa kekosongan itu berakhir di tahun 1912, saat kepemimpinan Kunstkring berada di tangan Dr. M.H. Damme, seorang insinyur di Jawatan Kereta Api (SS). Sementara posisi sekretaris diisi oleh L. R. Middleberg. Jika mencari nama ini di laman pencarian, kita akan menemukan informasi kalau ia pernah menduduki jabatan sebagai walikota Ede, sebuah kota di Belanda, pada tahun 1941, namun kemudian dipecat oleh rezim Jerman yang tengah berkuasa.

Di bawah kepengurusan baru ini, Bandoengsche Kunstkring perlahan mulai menggeliat kembali, lantaran mendapat dukungan dari Belanda untuk mereaktivasi kegiatan yang sebelumnya cukup lama terhenti. Hasilnya beberapa pameran kembali digelar, misalnya sepanjang 3 – 16 Juni 1912 mereka menggelar pameran lukisan pelukis Belanda yang dikumpulkan oleh kelompok Larenschen Kunsthandel. Pameran ini digelar di gedung Loge St. Jan.

Pada tanggal 10 Juli, Bandoengsche Kunstkring mulai merambah bidang seni lain. Kala itu, untuk pertama kalinya mereka menggelar pementasan drama dengan mengangkat karya William Shakespeare yang berjudul Macbeth. Eduard Verkade, seorang aktor berbakat didaulat untuk berperan dalam pertunjukan ini. Acara digelar di Societeit Concordia tanpa pungutan biaya bagi seluruh anggota. Sementara non-anggota dipungut biaya sebesar dua gulden untuk menyaksikan pementasan ini.

Sebulan kemudian Bandoengsche Kunstkring kembali menggelar pameran lukisan. Kali ini yang dipamerkan adalah karya Carel Lodewijk Dake Jr. (1886-1946). Pameran digelar selama 4 hari, dari tanggal 15 hingga 18 Agustus 1912 di Societeit Concordia. Berikut adalah iklan-iklan kegiatan tersebut yang dimuat di koran De Preangerbode dan De Expres.

1. Larenschen Kunsthandel, De Expres 11 Juni 1912. 2. Eduard Verkade – Macbeth, De Expres 8 Juli 1912. 3. Carel L. Dake Jr, De Preangerbode 13 Agustus 1912.

Pada tahun 1913, Bandoengsche Kunstkring menggelar pameran lukisan cat air koleksi dari Kunsthandel Jac. de VRIES. Gsz yang berasal dari Arnhem. Seperti biasa pameran ini gratis bagi para anggota, sementara selain anggota dipungut uang masuk sebesar 50 sen. Gedung Loge St. Jan kembali dipilih sebagai tempat pameran ini berlangsung, mulai 3 sampai 10 Februari 1913.

Selain pameran di atas, setidaknya lima kali Bandoengsche Kunstkring menggunakan Gedung Loge St. Jan di tahun 1913. Empat di antaranya adalah:

  1. Pameran lukisan bertema Hindia Belanda karya Jan Larij pada 21-27 April (De expres 1 Februari 1913)
  2. Pameran lukisan Indische & Hollandsche oleh Jan L. Kleintjes pada 8-15 Juni (De Preanger-bode 7 Juni 1913)
  3. Ceramah tentang Seni Hindu oleh J. Scholte, pengajar di OSVIA pada 1 Oktober (De Preanger-bode 30 September 1913)
  4. Pameran lukisan dan aquarel oleh D. G. Ezerman, J. W. Huijsmans, J. L. Eland, dan L. Van Bergen pada 1-7 Desember (De expres 29 November 1913)

Di tahun yang sama, setelah sekian lama, akhirnya Bandoengsche Kunstkring kembali menggelar acara di Pendopo Kabupaten. Sebuah pameran seni bertema Britsch-Indische digelar pada tanggal 17 September. Yang menarik dari iklan acara ini adalah adanya pembagian kategori pemegang tiket, yakni antara non-anggota dan pribumi. Non anggota dikenai tarif sebesar 0,50 gulden sementara pribumi sebesar 0,25 gulden. Hal ini tidak saya temukan pada iklan-iklan sebelumnya. (De expres 15 September 1913).

Iklan pameran seni Britsch-Indische (De expres 15 September 1913)

Membuka Kelas Kursus

Ada hal menarik yang dilakukan Bandoengsche Kunstkring pada tahun 1913. Setelah sekian lama berdiri, pada bulan April 1913 mereka membuka kelas kursus menggambar. Dilansir koran De Expres, edisi 9 April 1913, kursus ini dimaksudkan bagi anak-anak yang memiliki bakat dalam menggambar. Para siswa akan dibimbing oleh H. Lubberink dan J. L. Eland (Kepala Departemen Desain dan Produksi Mebel di perusahaan J. R. De Vries & Co)

Kelas kursus berlangsung seminggu satu kali pada pukul 18.00—20.00 di gedung Loge St. Jan. Setiap peserta diharapkan berkomitmen untuk mengikuti kursus selama satu tahun, kecuali jika keluarganya berpindah tempat tinggal. Selama satu tahun kalender belajar, akan ada jeda waktu satu bulan sebagai masa istirahat. Selain itu, jika ada yang berminat, akan diadakan kegiatan menggambar dan melukis bersama di alam terbuka pada Minggu pagi.

Biaya kursus ditetapkan sebesar 1 gulden per bulan bagi anak-anak anggota, sedangkan non-anggota dikenakan biaya sebesar 2 gulden per bulan. Bagi mereka yang tidak mampu, perkumpulan membuka peluang memberi potongan bahkan pembebasan biaya secara terbatas. Syaratnya mereka harus mengajukan permohonan kepada pengurus. 

Pengurus meminta calon peserta atau orang tua yang ingin mendaftarkan anak-anaknya untuk mengajukan pendaftaran secara tertulis ke sekretariat (di Merdika-Park 8). Dengan mengajukan permohonan tersebut, peserta dianggap telah berkomitmen untuk mengikuti kursus selama satu tahun.

Sayangnya kabar kurang baik muncul di bulan November. Karena alasan kesehatan, Lubberink, untuk sementara waktu mengundurkan diri. Menurut informasi yang diterima, dua anggota pengurus perkumpulan menawarkan diri untuk mengambil alih sementara kelas tersebut. (De expres, 03 November 1913)

1914

Bandoengsche Kunstkring memulai tahun 1914 dengan pergantian pengurus. Jabatan ketua yang sebelumnya diemban oleh Dr. M.H. Damme, beralih ke F. A. J. Keuchenius. Sayangnya kepemimpinan Keuchenius pun tidak berlangsung lama. Ia digantikan kembali oleh G. C. Th. d’Arnaud Gerkens. Sementara posisi sekretaris tetap dipegang oleh Middleberg. Tahun ini juga menandai keterlibatan kakak beradik Schoemaker ke dalam Kunstkring dengan didapuknya Richard Schoemaker sebagai bendahara.

Adapun kegiatan Bandoengsche Kunstkring di tahun 1914, antara lain:

  1. Pameran Etsa dan Litografi karya Jan Toorop, Deskoen Van Angeren, Nieuwenkamp, Edz. Koning, dan lainnya pada 11-17 Februari (De expres 09 Februari 1914)
  2. Malam Musik, pada 20 Mei di Societeit Concordia (De expres 19 Mei 1914)
  3. Pameran Lukisan karya dari pelukis kelahiran Hindia, seperti: Akkeringa, Artzenius, Bleckmann, Briet, Broedelet, van Soest, dan lainnya di Loge St. Jan, dari tanggal 1 hingga 7 Juni.
  4. Malam Piano oleh Everhard Beverwijk pada 6 Juli 1914 di Loge St. Jan (De Preanger-bode 03 Juli 1914)

1915

Memasuki tahun 1915, Bandoengsche Kunstkring menggelar rapat tahunan. Hadir para pimpinan untuk menyampaikan laporan pertanggungjawaban. Pertemuan digelar di Loge St. Jan pada tanggal 27 Januari 1915. (De Preanger-bode 26 Januari 1915)

Sekretaris, Middelberg, membacakan laporan tahunan untuk tahun 1913. Dari laporan ini (yang merupakan laporan ketiga), diketahui bahwa situasi perang menyebabkan sedikit penurunan jumlah anggota, dari 127 menjadi 101. Namun, mengingat kondisi saat itu, jumlah tersebut masih dianggap cukup baik. Richard Schoemaker sebagai bendahara, setelah diperiksa oleh komite audit. Saldo per 31 Desember 1914 tercatat sebesar 932,96 gulden, meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 668,44 gulden.

Setelah itu, dilakukan pemilihan pengurus. Ketua, d’Arnaud Gerkens, mengucapkan terima kasih kepada para anggota atas kerja sama selama setahun terakhir. Ia kembali terpilih sebagai ketua. Anggota pengurus yang terpilih kembali adalah  Maas Qeesteranus, Middelberg, dan Stufkens, sementara  Giltay terpilih sebagai anggota baru.  Schoemaker memutuskan untuk tidak mencalonkan diri kembali. (Bandoengsche Kunstkring) De Preanger-bode 28 Januari 1915).

Bond van Nederlandsch-Indische Kunstkringen

Kunstkring baru bermunculan di berbagai kota. Karenanya diperlukan penyatuan yang kemudian melahirkan sebuah Bond bernama Bond van Nederlandsch-Indische Kunstkringen. Wadah persatuan ini diketuai oleh (lagi-lagi) P. A. J. Moojen. Keberadaan Bond ini berdampak besar terhadap Bandoengsche Kunstkring sendiri.

Tidak dapat dipungkiri bahwa situasi perang turut berdampak pada berbagai sektor, termasuk seni. Namun perlahan Bond semakin berkembang. Bond memiliki fokus dan perhatian lebih pada bidang seni musik. Tur Bond pun menjadi sajian utama dalam agenda Kunstkring. Bandung kelimpahan berkah akibat kerja sama ini yang sehingga memungkinkan untuk mendatangkan bintang-bintang kelas satu untuk tampil di Bandung. Sesuatu yang tidak mungkin dicapai oleh Bandoengsche Kunstkring sendiri.

Berdirinya Bond dan perubahan karakter perkumpulan seiring dengan bertambahnya jumlah anggota membuat beberapa perubahan dalam statuta Bandoengsche Kunstkring. Misalnya dalam mekanisme pengambilan keputusan. Dalam Pasal IX statuta asli tahun 1905, untuk melakukan perubahan diperlukan keputusan dua pertiga dari total jumlah anggota yang memiliki hak suara. Karena pada awal tahun 1917 jumlah anggota telah mencapai 131, maka diperlukan persetujuan dari sekitar 90 anggota untuk mengubah statuta. Sebuah hal yang sulit dicapai. Kesulitan ini akhirnya diatasi dengan keputusan rapat umum anggota pada Mei 1917 untuk mengajukan kembali status badan hukum, dengan mengusulkan statuta yang telah diubah kepada pemerintah agar mendapatkan persetujuan.

Statuta baru tampaknya tidak sepenuhnya memuaskan, setidaknya pada tahun 1918 sebuah proposal perubahan diajukan kepada Rapat Umum. Namun, ternyata dengan statuta baru pun tidak mudah untuk melakukan perubahan; masih diatur bahwa hanya keputusan dua pertiga dari anggota yang memiliki hak suara yang dapat mengubah statuta. Hal ini kembali menjadi tuntutan yang berat, dan selama tiga tahun berturut-turut tidak ada perubahan statuta yang berhasil dilakukan karena jumlah anggota yang hadir dalam rapat terlalu sedikit. Akhirnya, pada tahun 1921, berhasil dikumpulkan jumlah anggota yang memiliki hak suara yang cukup; perubahan statuta pun berhasil dilakukan. (Gedenkschrift uitgegeven ter gelegenheid van het vijf en twintig jarig bestaan van den Bandoengsche Kunstkring 1905-1930)

Perubahan ini dalam perjalanannya berhasil mendorong perkembangan Bandoengsche Kunstkring menjadi kian pesat. Mereka berhasil mendatangkan sederet nama sohor ke Bandung. Siapa saja nama-nama tersebut?

Bersambung

Bandoengsche Kunstkring, Bagian 1: Lingkar Seni Bandung

Irfan Pradana

Kop Bandoengsche Kunstkring dalam brosur aturan keanggotaan. Diterbitkan secara mandiri pada tahun 1910

“Dapatkah kita membayangkan hidup tanpa seni? Tentu saja sebagian besar dari kita tidak akan mampu melakukannya, karena seni telah memberikan makna spiritual yang lebih dalam bagi kehidupan kita, sebagaimana yang telah terbukti selama 25 tahun terakhir.”

Kalimat di atas merupakan penggalan kata sambutan dari J. E. A. von Wolzogen Kühr – Walikota Bandung periode 1928-1933 – yang ditulis di halaman pembuka buku peringatan 25 tahun berdirinya Bandoengsche Kunstkring. Kühr adalah ketua kehormatan Bandoengsche Kunstkring. Ia melanjutkan posisi pendahulunya, Bertus Coops, yang juga pernah menjabat sebagai Walikota Bandung. Selain Coops dan Kühr, sederet nama penting lainnya pernah memiliki keterkaitan dengan perkumpulan bernama Bandoengsche Kunstkring. Berikut ini sebagian kisahnya.

J. E. A. Von Wolzogen Kühr
(Gedenkschrift uitgegeven ter gelegenheid van het vijf en twintig jarig bestaan van den Bandoengsche Kunstkring 1905-1930)

Bandoengsche Kunstkring atau Lingkar Seni Bandung adalah sebuah perkumpulan pecinta seni di Bandung yang didirikan pada tahun 1905. Wadah ini dibentuk dengan tujuan mengakomodir para peminat maupun pelaku seni dalam upaya pemajuan kebudayaan di Kota Bandung. Perkumpulan ini didirikan beriringan dengan Bandung yang tengah dalam proses perubahan status menuju kota mandiri. Seni menjadi salah satu bidang yang tak luput dari perhatian selain pembangunan fisik.

Kenapa Bandung?

Bandung merupakan kota kedua yang memiliki perkumpulan seni setelah Batavia. Pembentukannya di kota ini mendahului kota-kota besar lain yang telah lebih dulu mapan – baik secara infrastruktur maupun jumlah penduduk – seperti Semarang atau Surabaya. Meskipun sedang berbenah besar-besaran, Bandung masih terbilang sebagai kota kecil yang sepi.

Dalam buku peringatan 25 tahunnya yang berjudul sederhana, “Bandoengsche Kunstkring 1905-1930; Gedenkschrift”, Bandoengsche Kunstkring menjelaskan beberapa alasan mengapa perkumpulan ini bisa hadir lebih dulu di Bandung. Dengan nada sedikit satir, mereka menyebut faktor cuaca sebagai salah satu faktor yang berpengaruh. Cuaca yang dingin membuat segala pekerjaan di Bandung tidak terasa melelahkan. Oleh sebab itu warganya masih memiliki tenaga dan pikiran untuk memikirkan kerja-kerja kesenian.

Faktor kedua adalah orang-orangnya. Secara kebetulan Bandung saat itu dihuni oleh orang-orang yang memiliki ide dan visi yang sama dalam bidang seni. Kesamaan ide itu ditopang dengan kemampuan para pendirinya dalam menerjemahkan ide ke dalam program organisasi.

Read more: Bandoengsche Kunstkring, Bagian 1: Lingkar Seni Bandung

Awal Pendirian

Perkumpulan ini diinisiasi oleh seorang hakim terkemuka, A. J. van den Bergh. Ia yang pertama kali membuat aturan rumah tangga dan rancangan keuangannya. Meski begitu ia tidak pernah masuk ke dalam jajaran pengurus.

Tongkat kepemimpinan yang pertama justru jatuh ke tangan arsitek P. A. J. Moojen. Pemilihan Moojen sebagai ketua bisa jadi dilatarbelakangi oleh pengalamannya selama bertahun-tahun menduduki jabatan serupa di Nederlandsch-Indische Kunstkring di Batavia. Oleh sebab itulah ia diharapkan mampu memimpin organisasi yang baru ini.

Sementara itu posisi sekretaris diisi oleh W. F. M. van Schaik, pemimpin redaksi Preangerbode. Ia baru tiba dari Belanda membawa semangat idealismenya. Kepemimpinan ini menandai berdirinya Bandoengsche Kunstkring secara resmi pada tanggal 15 Januari 1905. Kegiatan pertama Bandoengsche Kunstkring digelar pada pekan perayaan Paskah tahun 1905. Sebuah pameran diselenggarakan di Pendopo atas izin dari Bupati Bandung saat itu, R. A. A. Martanagara. Pameran ini menampilkan beragam hasil kerajinan seni lokal, seperti anyaman, tenunan, batik, ukiran kayu, keris, lampu tembaga, patung kayu, dan berbagai benda lainnya. Meskipun cuaca kurang mendukung, acara tersebut tetap menarik perhatian publik. Bahkan warga meminta tambahan satu hari lagi sebelum pameran ini diakhiri. (De Preangerbode, 22 April 1905).

Masih di tahun yang sama, Bandoengsche Kunstkring kembali menggelar kegiatan. Kali ini mereka menggelar pameran seni terapan karya-karya pelukis Wijnand Otto Jan Nieuwenkamp. Ia merupakan seorang pelukis, illustrator, dan etnografer yang banyak melakukan perjalanan ke berbagai negara, termasuk Hindia Belanda. Pameran ini digelar selama 6 hari dengan menampilkan karya-karya jenis etsa dan ukiran kayu Nieuwenkamp. Selain pameran, kegiatan ini juga dimeriahkan dengan permainan musik piano. (De Preangerbode, 1 November 1905).

Potret Wijnand Otto Jan Nieuwenkamp (De Boekenwereld, 31: 4, 2015) dan Karyanya Hoogvlakte van Bandoeng op Java 1913 (Rijksmuseum)

Pameran ini menjadi kegiatan terakhir Bandoengsche Kunstkring di tahun 1905. Sedianya mereka telah merencanakan ceramah dan pertunjukan musik dari sepasang pianis, Madlener & Vrins (Johannes Josephus Carolus Madlener dan istrinya, Catharina Henrietta Maria Vrins), namun urung terlaksana di tahun yang sama. Pertunjukan ini baru bisa dilangsungkan pada tahun berikutnya, tepatnya tanggal 9 Januari 1906 dan berlokasi di gedung Societeit Concordia.

Iklan pertunjukan Madlener & Vrins (De Preangerbode, 9 Januari 1906)

Menjelang perayaan Paskah, perkumpulan ini kembali menggelar pameran lukisan. Kali ini yang ditampilkan adalah ratusan cetakan karya pelukis Albrecht Dürer. Acara ini diulas sangat panjang dan mengisi halaman depan De Preangerbode edisi 10 April 1906.

Sebagai penutup tahun, digelar sebuah pameran lagi. Kali ini menampilkan cetakan karya pelukis besar dari Belanda, yaitu Rembrandt Harmenszoon van Rijn (1606-1669). Pameran ini digelar dari tanggal 7 sampai 11 Oktober 1906. Tahun itu dipilih bertepatan dengan 300 tahun Rembrandt.

Iklan pameran karya Rembrandt (De Preangerbode, 11 Oktober 1906)

Tidak banyak kegiatan Kunstkring pada tahun 1907. Sejauh pencarian saya, mereka hanya menggelar sebuah pameran karya seni dari Jogja dan lukisan cat air yang langsung diampu oleh sang ketua, P. A. J. Moojen. Kedua tema iNI digelar secara bersamaan di gedung Societeit Concordia pada bulan Februari 1907. Bulan berikutnya mereka menggelar rapat umum yang juga dipublikasikan melalui suratkabar De Preangerbode, edisi 18 Maret 1907. Salah satu agenda dalam rapat umum ini adalah pemilihan pengurus.

Rapat umum itu menandai dimulainya era surut perkumpulan Bandoengsche Kunstkring. Selama hampir 5 tahun perkumpulan ini vakum. Faktor yang paling berpengaruh adalah banyaknya pengurus yang mengalami mutasi, termasuk Moojen yang harus kembali ke Batavia. Barulah pada tahun 1912 organisasi ini perlahan bergeliat lagi.

Bersambung…

Bandoengsche Kunstkring dan Pentas Tribute Jaman Baheula

Irfan Pradana

Selama tiga tahun belakangan, saya kerap diminta tampil dalam pertunjukan tahunan musik tribute band internasional. Saya ditugasi mengisi gitar untuk memainkan lagu-lagu band asal Amerika Serikat, The Strokes. Acara yang saya ikuti biasanya menampilkan tribute untuk beberapa band sekaligus, misalnya Arctic Monkeys, Blur, atau Oasis. Kebanyakan band yang tenar di era 90-an.

Pertunjukan tersebut biasanya digelar di cafe atau bar. Sekali waktu kami berkesempatan menggung di Braga Sky yang di zaman kolonial dulu merupakan sebuah bioskop. Saat ini Braga Sky beralih fungsi menjadi bar. Sebelum naik ke atas panggung, saya malah sibuk ke sana kemari memperhatikan interior gedung ini, barangkali menemukan ornamen atau benda kuno di sana.

Bisa jadi karena energi tempatnya, bukannya menghafalkan bagan-bagan melodi gitar, saat itu pikiran saya malah disibukkan dengan pertanyaan, “Apakah di Bandung baheula ada pertunjukan musik tribute seperti sekarang?”

Meskipun pertunjukannya berjalan mulus, pertanyaan itu lama sekali mengendap di kepala, hingga suatu hari Komunitas Aleut kedatangan dosen dari prodi Hubungan Internasional dari salah satu kampus di Bandung yang menjajagi materi sejarah Kota Bandung dalam perspektif ilmu Hubungan Internasional.

Kami lantas membuka beberapa literatur dan arsip lama. Beberapa kawan menemukan data tentang Bandung — di masa kolonial — yang pernah menjadi tuan rumah bagi event internasional, seperti kongres atau konferensi. Namun ada satu temuan yang menarik perhatian saya, yakni Bandoengsche Kunstkring.

Nama ini muncul dalam event Konferensi Ilmu Pengetahuan Pasifik Keempat, tahun 1929. Bandoengsche Kunstkring bertindak sebagai panitia untuk acara yang digelar di Museum Geologi ini. Seperti keran mampet yang berhasil terbuka, temuan ini mengalirkan kami ke data-data sejarah berikutnya.

Sesuai namanya, Bandoeng Kunstkring atau Lingkar Seni Bandung adalah sebuah perkumpulan warga pecinta seni. Organisasi ini didirikan pada tahun 1905, satu tahun sebelum Bandung ditetapkan sebagai Gemeente. Sederet nama besar pernah menjadi pengurus dan donatur di perkumpulan ini, antara lain P. A. J. Moojen, B. Coops, kakak beradik Schoemaker, R. A. Kerkhoven, dan A. Bertling.

Pieter Adriaan Jacobus Moojen, ketua pertama Bandoengsche Kunstkring

Meski disebut sebagai Lingkar Seni, pada perjalanannya, Bandoengsche Kunstkring melebarkan sayapnya untuk mengurusi bidang lain. Contohnya adalah Konferensi Ilmu Pengetahuan Pasifik di atas. Namun bagi saya, perjumpaan paling menarik dengan literatur Bandoengsche Kunstkring adalah perannya dalam memajukan apresiasi seni di Kota Bandung.

Misalnya yang satu ini. Sejak tahun 1926 mereka berupaya mendatangkan seorang balerina tersohor dunia kala itu, Anna Pavlova. Anna merupakan balerina asal Rusia yang berhasil memopulerkan seni pertunjukan ballet ke seluruh dunia dengan menggelar tur dari satu negara ke negara lain. Anna dan kelompok seninya mempelopori konsep tur ballet pada saat itu. Hingga akhirnya pada 1929 Anna mampir ke Bandung dan menggelar pertunjukan di Societeit Concordia.

Foto Anna Pavlova lengkap dengan tanda tangannya ketika tampil di Bandung 1929. Koleksi milik mantan Walikota, B. Coops. (Gedenkschrift Bandoengsche Kunstkring 1905-1930)

Temuan ini memantik kami untuk terus mencari informasi seputar Bandoeng Kunstkring. Beberapa dokumen yang berkaitan dengannya dapat dihimpun, antara lain booklet pertunjukan musik tribute untuk para komposer elit dunia yang pernah digelar di Bandung antara tahun 1920-an sampai 1930-an.

Booklet ini berisikan biografi singkat sang komposer, ditambah lirik dan komposisi lagu yang akan dimainkan. Nama-nama komposer yang karyanya pernah ditampilkan antara lain, Wolfgang Amadeus Mozart, Johann Sebastian Bach, dan Ludwig van Beethoven.

Booklet tersebut dibagikan kepada warga sebelum pertunjukan digelar. Saya coba bagikan beberapa potongan booklet yang berhasil dihimpun.

Tribute untuk Wolfgang Amadeus Mozart dan Johann Sebastian Bach

Konser ini diadakan pada bulan September 1929. Nampak Bandoengsche Kunstkring begitu serius dalam menyajikan pertunjukan ini. Para penonton sebelumnya diberi sebuah booklet berisikan biografi singkat Mozart lengkap dengan lirik lagu yang akan dibawakan.

Cover konser pemuda keempat didedikasikan untuk Wolfgang Amadeus Mozart (Bandoengsche Kunstkring)

Booklet konser pemuda kedelapan didedikasikan untuk Johann Sebastian Bach (Bandoengsche Kunstkring)

Pertunjukan ini digelar pada tanggal 31 Maret 1931. Kali ini Bandoengsche Kunstkring menyasar kelompok yang lebih spesifik, yakni para siswa sekolah. Para penampil yang turut serta dalam konser instrumental ini antara lain:

  • Ny. Johanna van der Wissel – piano
  • A. F. Binkhorst – flute
  • Ir. Jac. P. Thijsse Jr. – biola

Sedikit kisah tentang pianis Johanna van der Wissel yang disebut di atas. Ketika menulis artikel ini saya menemukan namanya muncul di situs Oorlogsslachtoffer, yakni sebuah laman yang memuat data para korban Perang Dunia II di Hindia Belanda.

Dari informasi itu diketahui bahwa Johanna van der Wissel ternyata seorang pianis terkemuka yang lama malang melintang berkarir di Eropa dan Hindia Belanda. Ia pindah ke Hindia Belanda pada tahun 1895 dan selama itu menghabiskan hidupnya untuk mengembangkan seni piano di Hindia Belanda. Johanna tercatat rutin menampilkan karya Bach hingga tahun 1935.

Pada saat Jepang datang, Johanna ditangkap dan ditahan di Kamp Banceuy hingga meninggal dunia pada 10 April 1945. Jasadnya kemudian dimakamkan di pemakaman Pandu.

Potret Johanna van der Wissel 1929 (Kiri: Sophie Drinker Institut. Kanan: Oorlogsslachtoffer)

Tribute untuk Ludwig van Beethoven

Pementasan ini dilangsungkan pada bulan Januari 1931. Saya merasa perlu memasukkan booklet ini karena adanya nama kahot yang turut berpartisipasi dalam acara ini. Perhatikan nama terakhir di susunan komite acara. Ya, ada nama Jaap Kunst di sana terlibat sebagai komite acara.

Cover Booklet dan Susunan Komite Acara.

Jaap Kunst (Tropenmuseum)

Bagi pemerhati sejarah musik tanah air agaknya tidak asing dengan nama ini. Ia adalah seorang etnomusikolog ternama yang dikenal sebagai salah satu pelopor dalam bidang etnomusikologi, sebuah studi musik dalam konteks budaya dan sosial. Jaap Kunst menghabiskan banyak waktu di Hindia Belanda untuk mempelajari musik gamelan dan musik tradisional lainnya.

Hasil penelitiannya ia tuangkan dalam buku dua jilid berjudul “Music in Java”, yang menjadi referensi penting dalam studi musik tradisional Jawa. Kunst juga yang mempopulerkan istilah “etnomusikologi”, hingga kemudian menjadi nama resmi untuk bidang akademik ini.

Begitu besar namanya di bidang musik. Hingga pada tahun 2019 lalu, Museum Nasional menggelar pameran 100 tahun Kunst untuk mengenang 100 tahun perjalanan karirnya di Hindia Belanda. Acara itu memamerkan koleksi pemberian Kunst pada tahun 1936.

Tulisan ini hanya mengulas serba sedikit saja – dari sekian banyak – sepak terjang Bandoengsche Kunstkring dalam pemajuan kesenian di Kota Bandung. Seperti sempat disinggung pada awal tulisan bahwa dari waktu ke waktu Bandoengsche Kunstkring mengalami kemajuan yang pesat. Mereka tak hanya menjamah dunia kesenian, namun turut terjun dalam pemajuan ilmu pengetahuan secara umum. Masih banyak dokumen tentangnya yang menunggu untuk diterjemahkan dan dikaji sebagai bahan materi diskursus akan arah pemajuan kebudayaan Bandung ke depan.

Mungkin pembaca pernah atau sering mendengar pernyataan kalau Bandung dianggap sebagai barometer kesenian di Indonesia? Sepertinya pernyataan itu bisa kita cari akar peristiwanya dengan secara serius mempelajari perjalanan Bandoengsche Kunstkring.  ***

Mashudi dan Siti Munigar

Oleh: Irfan Pradana Putra

Kalau saja tidak berjumpa dengan penghuni rumah Irama, kemungkinan besar saya tidak akan tahu kalau bangunan modern di depan rumah Irama dahulunya merupakan rumah yang punya cerita sejarah. 

Lokasi rumah tinggal Mashudi bersama kakaknya di Gang Siti Munigar. Bentuk bangunan sudah berubah total. Foto: Komunitas Aleut

Siang itu matahari cukup terik, namun saya dan kawan-kawan yang sedang Ngaleut Siti Munigar cukup beruntung diperbolehkan berteduh sebentar sambil ngobrol bersama salah satu penghuni rumah yang gaya bangunannya terlihat cukup antik. Kami sebut sebagai Rumah Irama, karena di bagian atas tembok depan rumahnya ada relief tulisan “IRAMA”. 

Penghuni rumah yang saya maksud adalah Pak Atep. Ternyata ia juga cukup tertarik pada cerita-cerita seputar sejarah Bandung, jadi lumayanlah isi obrolannya, bisa menambah wawasan. Tulisan yang lebih spesifik mengulas tentang rumah Irama bisa dibaca melalui tautan ini.

Di tengah penceritaan telunjuk Pak Atep mengarah ke rumah bertingkat uang terletak di seberang jalan. Sebuah bangunan dua lantai yang kini difungsikan sebagai kos-kosan. Menurut penuturannya dahulu bangunan itu merupakan kediaman dari Mashudi, Gubernur Jawa Barat yang menjabat selama periode 1960-1970.

Foto Mashudi yang saya dapat dari Wikipedia

Wujud asli bangunannya sudah berubah total, berganti menjadi bangunan modern yang menurut Pak Atep baru dilakukan dalam kurun waktu dua tahun belakangan ini. Benar saja, saat saya mencoba memeriksa menggunakan google street view, terlihat bentuk bangunan yang sama sekali berbeda pada tahun 2019. Itu pun masih agak meragukan, sepertinya juga bukan bangunan asli dari masa kolonial, karena katanya Mashudi sudah tinggal di rumah itu sejak masa ia kuliah di THS (sekarang ITB).

Continue reading

#PojokKAA2015: Gedung Merdeka

Oleh: Mooibandoeng (@mooibandoeng)

Foto koleksi delcampe.net

Foto koleksi delcampe.net

Pada penutupan Konferensi Asia Afrika tanggal 24 April 1955, Presiden Sukarno memberikan nama baru bagi gedung Societeit Concordia, yaitu Gedung Merdeka. Sudah satu minggu sejak tanggal 18 April, Societeit Concordia dijadikan tempat konferensi negara-negara Asia-Afrika. Semangat menuju kemerdekaan bangsa-bangsa adalah hasil utama konferensi ini yang dituangkan dalam The Final Communique of the Asian-African Conference, salah satu isinya terkenal dengan sebutan Dasasila Bandung.

Societeit Concordia didirikan tahun 1895 oleh Asisten Residen Priangan, Pieter Sijthoff, sebagai wadah berkumpulnya orang-orang Eropa yang tinggal di Bandung dan sekitarnya saat itu, kebanyakan anggotanya dari golongan elite. Warga Eropa golongan ini sedikit banyak ikut membangun Bandung menjadi perkotaan yang modern untuk ukuran saat itu. Tidak hanya modern, tetapi juga cantik dan nyaman bagi para penghuninya. Tak heran Bandung pernah mendapat julukan sebagai kota bagi para pensiunan, de Stad der Gepensionneerden, tempat orang-orang hidup nyaman di hari tuanya. Continue reading

Gedung Merdeka

Foto koleksi delcampe.net

Foto koleksi delcampe.net

Pada penutupan Konferensi Asia Afrika tanggal 24 April 1955, Presiden Sukarno memberikan nama baru bagi gedung Societeit Concordia, yaitu Gedung Merdeka. Sudah satu minggu sejak tanggal 18 April, Societeit Concordia dijadikan tempat konferensi negara-negara Asia-Afrika. Semangat menuju kemerdekaan bangsa-bangsa adalah hasil utama konferensi ini yang dituangkan dalam The Final Communique of the Asian-African Conference, salah satu isinya terkenal dengan sebutan Dasasila Bandung.

Societeit Concordia didirikan tahun 1895 oleh Asisten Residen Priangan, Pieter Sijthoff, sebagai wadah berkumpulnya orang-orang Eropa yang tinggal di Bandung dan sekitarnya saat itu, kebanyakan anggotanya dari golongan elite. Warga Eropa golongan ini sedikit banyak ikut membangun Bandung menjadi perkotaan yang modern untuk ukuran saat itu. Continue reading

Jejak yang Memudar: Sukarno di Bandung, Bagian 2

TAPAK TILAS SUKARNO DI BANDUNG

Sejak pertama kali menginjakkan kakinya di Kota Bandung pada tahun 1921 hingga pembuangannya ke Ende, Flores, pada tahun 1934, maka paling sedikit Sukarno melewatkan waktu sekitar 14 tahun di Bandung. Nah, bila sekarang ada yang bertanya di mana saja Sukarno pernah tinggal, atau ke mana saja beliau suka pergi selama di Bandung, maka jawabnya tidak akan mudah. Tidak ada rekaman jejak yang rinci tentang hal itu. Mungkin yang akan paling mudah teringat adalah kampus ITB di Jl. Ganesha, tempat Sukarno menjalani pendidikan hingga lulus sebagai insinyur sipil pada tahun 1926. Atau sebagian akan mengenang Gedung Merdeka sebagai perekam jejak inisiatif Presiden Sukarno untuk memerdekakan bangsa-bangsa di Asia-Afrika.

IMG_8490

Tapi tentu saja dua tempat itu tidak cukup mewakili perjalanan panjang seorang pemuda pribumi yang telah menghabiskan masa mudanya ikut berjuang merintis kemerdekaan Republik Indonesia, pemuda yang kemudian menjadi pemimpin pertama negara merdeka ini sejak 1945 hingga 1967. Ada banyak lokasi ataupun gedung yang sebetulnya merekam jejak Sukarno di Bandung, tetapi rupanya hal ini belum menjadi perhatian utama baik dari pemerintah ataupun masyarakat kita.

Hampir semua tokoh utama perjuangan saat itu pernah datang ke rumah panggung ini untuk bertukar pandangan dan merancang berbagai gerakan untuk meraih kemerdekaan Indonesia. Rumah panggung ini merekam jejak kehadiran Agus Salim, Abdul Muis, K.H. Mas Mansur, Moh. Hatta, M.H. Thamrin, Moh. Yamin, Trimurti, Oto Iskandardinata, Dr. Soetomo, Asmara Hadi, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh lainnya.

Continue reading

Verboden voor Honden en Inlander

Schouwburg Concordia koleksi Tropen Museum.

Schouwburg Concordia koleksi Tropen Museum.

Kemarin, seorang teman menelepon karena membutuhkan foto lama plakat yang bertuliskan “Verboden voor honden en inlander” atau “Anjing dan Pribumi dilarang masuk.”

Saya bingung juga, karena walaupun selama ini cerita tentang plakat semacam itu yang konon terdapat di beberapa gedung di Bandung tempo dulu, ternyata saya belum pernah melihat fotonya dan malah belum menemukan catatan dari masa Indies yang menyatakan keberadaan plakat tersebut.

Beberapa buku menyatakan ada dua lokasi di Bandung yang memajang plakat seperti itu di depan gedungnya. Dua lokasi ini anehnya, selalu bervariasi, di antaranya yang paling sering disebut adalah gedung-gedung: Societeit Concordia, Bioskop Majestic, kolam renang Centrum, dan Pemandian Tjihampelas.

Sayangnya, dari banyak foto dan kartu pos lama yang beredar yang dapat diperiksa, saya tidak terjumpai keberadaan plakat semacam itu. Bahkan cerita tentang keberadaan plakat itu, baik dari sumber-sumber Belanda maupun sumber lokal, tidak berhasil saya temukan . Entah dari mana sumber cerita yang selama ini beredar dalam masyarakat Bandung. Lalu bila memang benar pernah ada plakat yang semacam itu, kenapa tidak ada cerita keberadaannya yang dikaitkan dengan Maison Bogerijen, Hotel Preanger, atau Villa Isola yang pernah benar-benar hanya untuk kalangan elite Bandung saja?

Walaupun begitu, dari sebuah buku catatan perjalanan tahun 1918, Across the Equator; A Holiday Trip in Java karangan Thomas H. Reid, saya temukan keterangan lain, yaitu keberadaan plakat yang bertuliskan “Verbodden Toegang” yang terdapat di depan kompleks istana gubernur jendral di Tjipanas, Tjiandjoer. Menurut Reid, pengumuman seperti itu banyak terdapat di tempat-tempat lain di Pulau Jawa. Ya, hanya itu saja yang tercatat, “verboden toegang” dan bukan “verboden voor honden en inlander”.

Satu-satunya plakat “verboden toegang” yang pernah saya temui hanyalah yang berada di sebuah gerbang kompleks gedung di daerah Jl. Sangkuriang. Itu pun kondisinya sudah sebagian tertutupi oleh tembok baru.

Nah mungkin ada temans yang punya informasi lain tentang plakat-plakat verboden ini?

 

Verboden Toegang di Bandung.

Plakat Verboden Toegang di Bandung.

Verboden Toegang di Bandung.

Plakat Verboden Toegang di Bandung.

Schouwburg Concordia koleksi Tropen Museum.

Schouwburg Concordia koleksi Tropen Museum.

Eks Bioskop Majestic koleksi @mooibandoeng

Eks Bioskop Majestic koleksi @mooibandoeng

Kolam renang Centrum koleksi Tropen Museum.

Kolam renang Centrum koleksi Tropen Museum.

Pemandian Tjihampelas koleksi Tropen Museum.

Pemandian Tjihampelas koleksi Tropen Museum.

Pemandian Tjihampelas koleksi Tropen Museum.

Pemandian Tjihampelas koleksi Tropen Museum.

Iklan Badplaats Tjihampelas Bandoeng koleksi @mooibandoeng

Iklan Badplaats Tjihampelas Bandoeng koleksi @mooibandoeng

Iklan The strictly first class Grand Hotel Preanger dari buku Batavia Jaarboek 1927.

Iklan The strictly first class Grand Hotel Preanger dari buku Batavia Jaarboek 1927.

Reisgids voor Bandoeng – Pariwisata Bandung Baheula

Bandoeng en Omstreken 1882

Salah satu yang bikin rame Kota Bandung adalah kegiatan pariwisata. Sudah sejak lama Bandung menjadi salah satu tujuan wisata di Pulau Jawa. Dalam banyak buku catatan perjalanan seperti  yang pernah saya sampaikan, misalnya dalam kisah tiga kali kunjungan Raja Thailand ke P. Jawa pada tahun 1871, 1896, dan 1901. Lalu ada cerita Charles Walter Kinloch dalam bukunya Rambles in Java and the Straits (1852) atau dua buku karya  Ponder, Javanese Panorama dan Java Pageant, dan tentunya masih banyak buku lain.

Sudah sejak lama Bandung menarik perhatian para pelancong, baik yang datang secara khusus ataupun mampir dalam suatu rangkaian perjalanan keliling. Satu orang yang melihat peluang ini dengan lebih jauh adalah Asisten Residen Pieter Sijthoff.  Pada tahun 1898 ia mengajak banyak pihak berdiskusi, di antaranya bupati, kontrolir dan pengusaha2 perkebunan (Preangerplanters), para pengusaha perhotelan dan pemilik toko, serta tokoh2 masyarakat baik Eropa maupun pribumi. Hasilnya adalah pembentukan suatu lembaga swasta yang dinamakan Vereeniging tot Nut van Bandoeng en Omstreken dengan ketuanya Residen Priangan sendiri, Mr. C.W. Kist.

Continue reading