Oleh Irfan Pradana
Belakangan ini waktu saya di Komunitas Aleut sedang banyak saya gunakan untuk mengulik informasi tentang Bandoeng Vooruit. Perkumpulan ini didirikan tahun 1925 dengan tujuan utama untuk memajukan kota Bandung, khususnya di bidang pariwisata.
Untuk menambah dayanya, sejak 1933 Bandoeng Vooruit menerbitkan majalah bulanan bernama Mooi Bandoeng. Melalui majalah ini Bandoeng Vooruit menginformasikan seluruh programnya kepada publik. Tidak hanya itu, selain memuat berbagai artikel promosi wisata serta trivia yang menarik, majalah ini juga membuat banyak sekali liputan mengenai keadaan kota Bandung, perkembangannya, serta berbagai aktivitas warganya.
Lewat arsip majalah Mooi Bandoeng ini juga saya mendapatkan beragam informasi unik yang bisa memantik ide untuk melakukan riset kecil-kecilan. Salah satu yang dapat saya catat adalah jejak apotek swasta pertama di Kota Bandung yang berawal dari sepotong informasi dari Mooi Bandoeng. Artikelnya bisa dibaca di sini.
Beberapa waktu lalu saat tengah asyik bergumul dengan kata kunci “Bandoeng Vooruit”, saya menemukan berita menghebohkan. Ternyata, di balik sepak terjangnya dalam mengembangkan sektor pariwisata, Bandoeng Vooruit juga tak lepas dari skandal dan kontroversi. Berikut ini adalah salah satu yang sangat menarik perhatian saya.

Bandung, 29 April 1935, Meneruskan berita Aneta, koran De Indische Courant menulis berita pembunuhan yang dilakukan oleh W. F. Winckel, mantan kepala administratur perkebunan Koleberes-Singkoeb dan sekretaris dari perkumpulan “Bandoeng Vooruit” terhadap pembantunya. Pembunuhan dilakukan dengan cara menghantamkan palu berulang kali ke kepala korban.
Setelah melakukan perbuatannya, ia pergi ke rumah seorang teman dan kemudian bersama temannya tersebut menuju ke kantor polisi untuk menyerahkan diri, yang segera memulai penyelidikannya pada pukul setengah enam. Berita ini sontak menimbulkan kehebohan di masyarakat. Korban diketahui bernama Nji Ining seorang wanita pribumi.
Drama Percintaan Membawa Petaka
Sebelum menjadi sekretaris Bandoeng Vooruit, Winckel disebutkan pernah bekerja sebagai administratur di perusahaan bernama Tjidadak. Ia menjadi orang Eropa satu-satunya di perusahaan tersebut sehingga praktis tidak pernah bergaul dengan wanita Eropa. Oleh sebab itu ia mengawini seorang pribumi dan memiliki seorang anak perempuan.
Belum terlalu lama, ia diberhentikan oleh perusahaannya. Sempat kembali ke Belanda dan mencari peruntungan namun nihil. Ia pun kembali ke Bandung tanpa hasil. Peristiwa ini berimbas besar pada kehidupan rumah tangganya. Hubungan dengan istrinya memburuk dan berujung pada perceraian. Sang mantan istri memilih pergi sambil membawa anak satu-satunya hasil dari hubungan mereka.
Pasca kejadian itu Winckel menjadi sangat tertutup. Ia jarang keluar rumah dan bergaul dengan tetangga. Ia sempat mencoba membangun usaha jual beli teh, namun bukannya untung yang didapat, ia malah mengalami rugi besar. Hidupnya praktis hanya bergantung dari uang pensiun yang diberikan oleh pemerinta kolonial Belanda.
Secercah harapan datang ketika ia ditawari untuk menjadi sekretaris perkumpulan Bandoeng Vooruit. Secara ekonomi ia mulai bisa kembali menata kehidupannya. Namun nyatanya itu saja belum cukup. Pikirannya kerap terganggu oleh nasib putrinya. Ia mendengar kabar bahwa mantan istrinya sering membawa para serdadu ke rumah. Ia khawatir hal itu akan berdampak pada perkembangan sang anak. Meski begitu, ia tidak bisa melakukan apapun.
Pada suatu malam di sebuah toko buku, Winkcel didekati oleh seorang perempuan Tionghoa. Perempuan ini kemudian mengajak Winckel ke sebuah tempat. Di sinilah awal mula perkenalan Winckel dengan Nji Ining. Anehnya saat perjumpaan ini Nji Ining mengaku telah menikah, namun hal itu dibantah oleh seorang perempuan Tionghoa. Nji Ining meminta Winckel untuk pergi dan datang kembali keesokan harinya karena suaminya akan segera pulang.
Setelah kejadian itu, Nji Ining kerap datang ke rumah Winckel dan menghabiskan waktu berhari-hari di sana. Winckel tak segan memenuhi segala permintaan Nji Ining meski statusnya belum jelas. Nji Ining berjanji akan segera menceraikan suaminya asalkan Winckel mau memberinya 100 gulden. Uang itu akan diberikan kepada suami Nji Ining sebagai kompensasi. Winckel pun menyanggupinya.
Dari keterangan pengadilan disebutkan bahwa Winckel juga telah membangunkan sebuah rumah kecil di Regentsweg untuk Nji Ining. Tak hanya itu Winckel juga menuruti keinginan Nji Ining untuk memiliki mobil sekaligus supir untuk mengantarnya bepergian.
Drama selanjutnya dimulai. Winckel mendengar kabar bahwa supir yang dipekerjakannya adalah pacar dari Nji Ining. Meski begitu ia tak langsung mempercayai kabar tersebut. Ketika itu, Winckel dan Nji Ining sudah tinggal bersama selama kurang lebih satu setengah bulan.
Beberapa waktu kemudian Nji Ining ingin pindah dan tinggal sendiri di rumah Regentsweg. Saat inilah kecurigaan Winckel atas hubungan Nji Ining dan supirnya mulai menguat. Suatu hari ia mendapati di rumah itu ada seorang pria yang mengaku teman dekat Nji Iti, saudara Nji Ining. Namun Winckel masih belum menemukan bukti kuat tentang hubungan Nji Ining dan supirnya. Kecurigaan Winckel belum pudar dan masih terus membayanginya.
Perlahan Nji Ining mulai jarang berkunjung ke rumah Winckel. Berbagai alasan dikemukakannya, mulai dari kelelahan hingga sakit. Hal ini semakin menguatkan kecurigaan Winckel.
Pada awal bulan April 1933 Winckel meminta penjelasan Nji Ining akan kecurigaannya, namun Nji Ining menyangkal. Setelah peristiwa ini sikap Nji Ining kepada Winckel semakin dingin serta acuh tak acuh.
Malam sebelum peristiwa pembunuhan keduanya tidur bersama, tapi Winckel tak kunjung terlelap. Ia terus dihinggapi kecurigaan tentang perselingkuhan Nji Ining. Di kepalanya berputar-putar pikiran bahwa Nji Ining ingin berpisah dengannya. Saking resahnya ia berulang kali meninggalkan tempat tidur dan berjalan mondar-mandir di tengah rumah.
Saat berjalan ke arah dapur, ia mendapati sebuah palu tengah tergeletak di atas meja. Berikut adalah keterangan yang didapat selama proses pengadilan.
Ketua Dewan Pengadilan: “Apa motif Anda menggunakan palu untuk membunuh korban?”
Winckel: “Saya tidak ingin membunuhnya, Yang Mulia. Saya hanya ingin merusak wajahnya.”
Ketua Dewan: “Kenapa? Karena wajahnya menarik pria lain?”
Winckel: “Saya melihat wajahnya sebagai inti dari semua masalah.”
Ketua Dewan: “Anda ingin melampiaskan kemarahan pada wajahnya? Kenapa tidak menggunakan kuku? Dengan palu Anda akan menghancurkan kepalanya.”
Dicecar pertanyaan seperti itu, Winckel hanya bisa terdiam.
Di malam kejadian, Winckel dengan palu di tangannya masuk ke dalam kamar. Di sana Nji Ining tengah tertidur pulas menghadap ke arah jendela. Winckel mengayunkan pukulan pertama ke arah dahinya. Nji Ining terbangun dan menjerit, Winckel menyumpal mulutnya. Pertama dengan tangan lalu menggunakan bantal. Sembari terus menghantamkan palu ke kepala Nji Ining.
Winckel menyatakan setelah membunuh Nji Ining, ia sempat membawa jenazah ke kamar mandi lalu membersihkan darah dari mukanya. Ia juga mengganti piyama Nji Ining yang telah dibanjiri darah kemudian membawanya kembali ke dalam kamar. Setelah itu ia sendiri mengganti pakaian lalu pergi ke rumah temannya, Tuan Horsting, sebelum menyerahkan diri ke kantor polisi.
Namun pernyataan itu berbeda dengan temuan polisi. Setelah mendapat laporan, polisi segera menuju rumah Winckel. Di sana mereka tidak menemukan tanda-tanda bahwa Winckel sempat membawa dan membersihkan jenazah Nji Ining di kamar mandi.
Kesaksian Tuan Horsting
Horsting mengenal Winckel sejak mereka di Nijmegen Belanda. Keduanya sama-sama berangkat ke Hindia, namunkemudian terpisah. Horsting kehilangan kontak sama sekali dengan Winckel pada tahun 1934.
Baru pada sekitar bulan Maret 1935, satu bulan sebelum tragedi pembunuhan, keduanya kembali menjalin komunikasi. Winckel datang ke rumah Horsting untuk bertanya tempat untuk menitipkan anaknya. Ia khawatir karena mantan istrinya selalu membawa tentara ke rumahnya. Horsting menyarankan agar anaknya ditempatkan di tempat asuhan atau di Bala Keselamatan.
Mereka bertemu kembali di Indische Restaurant. Winckel berkeluh kesah karena uang tunjangannya dikurangi. Horsting juga sudah mencium gelagat aneh dari Winckel. Ia sering tidak fokus dalam pekerjaannya.
Hakim kemudian menanyai Horsting perihal detail malam kejadian. Horsting bercerita pada pukul 5 pagi pintu rumahnya diketuk. Ketika dibuka ia mendapati Winckel dengan raut wajah seperti orang bingung.
“Ada apa?” Tanya Horsting, dan Winckel menjawab,”Sesuatu yang mengerikan telah terjadi. Saya telah membunuh Nji Ining.”
Horsting melanjutkan, setelah itu ia menawarkan untuk menemani Winckel menyerahkan diri. Sepanjang jalan Winckel enggan menjawab pertanyaan Horsting mengenai detail kejadian. Yang ia lakukan hanya menyebut-nyebut nama putri perempuannya sembari meminta Horsting untuk menjaganya. Horsting menambahkan kalau ia sering mengunjungi Winckel di penjara. Pada suatu kunjungan Winckel bertanya pada Horsting tentang bagaimana cara mengakhiri hidup.
Vonis Hakim
Pada 15 Agustus 1935 Dewan Kehakiman menjatuhkan hukuman 6 tahun penjara kepada W. F. Winckel karena secara sah terbukti melakukan pembunuhan terhadap Nji Ini. Vonis ini melebihi tuntutan Jaksa Penuntut yang hanya 4 tahun penjara. Pengacara Winckel berencana melakukan upaya banding atas putusan ini. ***