Ngaleut Jalan Siti Munigar

Oleh: Fikri M Pamungkas

Jika akhir pekan tanpa pergi kemana-mana sepertinya terasa hampa. Minggu lalu saya berkesempatan mengikuti kegiatan ngaleut ke sekitar Jalan Siti Munigar.

 Pagi itu begitu cerah seakan-akan merestui perjalanan ini, dengan rasa penasaran dan ingin tahu saya pun berangkat bersama rekan komunitas aleut. Kami berangkat melewati Jalan Pasir Koja, lalu berbelok kanan, ada sebuah Jalan yang bertuliskan Siti Munigar. Sehari sebelum ngaleut, saya menyempatkan menyusuri rute ngaleut yang telah disusun sebelumnya. Karena saya pernah beberapa kali melewati jalan tersebut, namun ngga ngeuh ternyata Jalan Siti Munigar terdapat sesuatu yang menarik.

Bagian utara Jalan Siti Munigar. Foto: Komunitas Aleut.

Sebelumnya saya sudah sempatkan membaca beberapa tulisan di website Komunitas Aleut yang membahas tentang Jalan Siti Munigar, kalau saya ringkas, kira-kira seperti ini: jalan kecil bernama Siti Munigar ini ternyata merupakan bagian dari sejarah keluarga Orang Pasar. Sebutan Orang Pasar ini mengacu pada para pedagang lama di Pasar Baru Bandung yang ternyata saling memiliki kaitan kekeluargaan.

Keterangan lain tentang sebutan Orang Pasar yang sudah ada sejak zaman Belanda ini ditujukan ke lingkungan pasar yang orang-orangnya bebas bergaul, berbeda dengan kalangan menak yang sangat memerhatikan kedudukan sosial seseorang. Pada masa itu, orang-orang asing non-Belanda seperti Tinghoa atau Arab, diperbolehkan bergerak bebas namun hanya di lingkungan perdagangan saja, karena itu mereka turun temurun hidup di lingkungan pasar. Kalangan pribumi yang ikut aktif dalam perdagangan umumnya pendatang dari daerah Cirebon, Tasikmalaya, dan Palembang. Begitu juga dengan keluarga di Siti Munigar ini, walaupun garis paling atasnya berasal dari Demak, garis keduanya sudah menetap di Cirebon dan Tasikmalaya, dan garis inilah yang menurunkan Orang-orang Pasar yang dimakamkan di sini.

Suasana Pasar Baru Bandung. Foto dari KITLV (11829)

Singkat cerita, saya dan rekan-rekan Aleut sudah berada di depan kompleks makam Ahli Waris H. St. Chapsah Durasid. Sebelumnya, kami sudah meminta izin kepada warga yang memegang kunci kompleks makam itu. 

Memasuki halaman depan, ada sebuah pohon belimbing yang cukup besar dan sedang berbuah. Pohon ini mengingatkan pada masa kecil saya di kampung, sering sekali menaiki pohon-pohon belimbing yang besar. Berlari-lari dan bermain di halaman rumah, lalu memanjat pohon belimbing. Sekarang hanya tinggal ingatan saja, karena pohon belimbingnya sudah tidak ada, bahkan sudah lama juga saya tidak melihat pohon belimbing di tempat lain. Ternyata pohon juga bisa mengembalikan ingatan masa lalu.

Tampak depan kompleks Makam Ahli Waris H. St. Chapsah Durasid. Foto: Komunitas Aleut.

Di sebelah makam ini ada Kantor RW. Bangunannya biasa saja, yang menarik adalah plakat peringatan di tembok depannya. Isinya adalah perizinan penggunaan tanah oleh warga dan diresmikan oleh Wali Kotamadya Bandung tahun 1967. Gerbang makam yang berukuran tidak terlalu besar terbuat dari besi dan sepertinya cukup berat dan padat, model buatan lama.

Di atas nya ada papan informasi bertuliskan: Makam Ahli Waris / H. St. Chapsah Durasid. Hanya itu saja. Lalu masuk ke halaman dalam yang beratap dengan lantai keramik. Di dinding dalam ada dua plakat bersandingan, yang pertama berisi daftar anggota Keluarga Besar Uyut Mbok Askimah dan H. Husen. Plakat kedua berisi daftar keluarga H. Siti Chapsah, H. Durasid, dan H. Abdul Rasid.

Empat makam utama di bawah cungkup besar. Foto: Komunitas Aleut.
Salah satu nisan makam M. Masduki, Pahlawan Himpunan Sudara. Foto: Komunitas Aleut.

Di tengah kompleks makam ada sebuah cungkup yang di bawahnya terdapat beberapa makam. Jelas menjadi berbeda dibanding makam-makam lainnya, biasanya merupakan tokoh utama dalam keluarga besar. Di sebelah cungkup pertama ini ada cungkup lain yang ukurannya lebih kecil.

Saya baca nama-nama yang berada pada cungkup pertama, ada M. Masduki yang wafat pada 1965. Pada nisannya ada keterangan “Pahlawan Himpunan Sudara di bidang Nation dan Character Building,” lalu di bawahnya “Ketua 1919 s/d 1965.” Di sebelahnya adalah makam, H. Siti Chapsah, yang wafat tahun 1934. Kemudian makam H. Abdoelrasid wafat tahun 1922, lalu makam Siti Hadami, isteri Masduki, yang juga wafat tahun 1965.

Setelah empat makam ini ada tiga makam lain yang posisinya di luar cungkup namun masih satu pagar, masing-masing atas nama  Nji Kamsah, H. Siti Husnah, dan N. Marinah. Cungkup kecil yang terpisah adalah makam H. M. Pahrurodji bin Bapa Rapiah yang wafat tahun 1970 dalam usia 105 tahun. Usia yang panjang. Berarti kelahiran tahun 1865, belum ada jalur kereta api Bandung, bahkan belum ada gedung Kweekschool atau Gedung Pakuan yang masing-masing baru berdiri tahun 1866 dan 1867.

Kami masih mengelilingi kompleks makam sambil mengamati nama-nama dan bentuk makam yang ada. Ada satu makam yang bentuknya agak berbeda dan malah mengingatkan pada makam-makam Eropa yang ada di Pandu, nama yang tertera adalah Siti Rapi’ah, wafat pada 1958 dalam usia 103 tahun. Nama ini mengingatkan pada nama Bapa Rapiah yang tertulis di nisan H. M. Pahrurodji, entah apakah berhubungan atau tidak.

Selanjutnya kami membuat dokumentasi foto dan mencatat makam-makam atau nama-nama yang terasa menarik perhatian, mungkin saja suatu waktu nanti kami perlukan untuk merunut silsilah seseorang, seperti yang selama ini sering kami alami. Bagaimanapun nama-nama dan makam-makam ini merupakan bagian dari perjalanan sejarah Kota Bandung, di baliknya pastilah ada cerita yang saat ini belum dapat terungkap karena sedikitnya jejak tertulis yang ada.

Area permakaman Ahli Waris H. St. Chapsah Durasid atau sering disebut sebagai Pemakaman Siti Munigar. Foto: Komunitas Aleut.

Melihat makam-makam ini saya teringat pada satu artikel yang mengatakan bahwa orang biasa akan terkenang keberadaannya sampai 100 tahun saja setelah kematiannya, setelah itu kecil kemungkinannya untuk terus dikenang. Waktu 100 tahun itu kurang lebih sama dengan empat generasi. Tentu berbeda dengan orang besar yang umumnya dikenal karena peristiwa besar pula, durasi waktu kenangan kepada mereka bisa lebih panjang. Tapi di luar soal itu, saya malah kepikiran bahwa sejatinya bukan pada bagaimana kita akan dikenang setelah mati, melainkan pada bagaimana kita menggunakan waktu selama hidup dan berperan pada lingkungan, baik di sekitar ataupun dunia yang lebih luas.

Demikianlah sepotong kecil pengalaman saya mengikuti kegiatan Ngaleut Siti Munigar bersama Komunitas Aleut. Buat saya pribadi terasa seru dan menarik melihat makam-makam tua ini walaupun sementara ini hanya punya sedikit sekali informasi tentang mereka. Setelah usai mengamati kompleks makam, perjalanan kami lanjutkan dengan menyusuri gang-gang kecil di sekitar Siti Munigar sampai ke daerah Jalan Pajagalan. ***

You may also like...

3 Responses

  1. Hilda says:

    halo kak, tulisan yg sangat menarik ttg series sejarah jalan siti munigar.

    Punten, saya tertarik dengan tulisan siti munigar karena pernah dengar cerita dari almarhum orang tua. Apa benar di jalan siti munigar ada komunitas palembang? Saya ingin menapaktilasi jejak orang tua disana tapi belum sempat

    Terima kasih sebelumnya

    • Iya betul ada, tapi jejaknya sudah banyak hilang karena kawasan ini yang tadinya merupakan kompleks permakaman cukup luas, sudah menjadu permukiman padat. Satu dua makam masih dapat ditemukan di sela-sela rumah warga, harus rajin menyusuri gang-gang sempit yang ada di sini untuk menemukannya. Dalam 1-2 tulisan lain di seri Siti Munigar ini ada sedikit mention tentang keberadaan orang/komunitas Palembang.

      Terima kasih sudah mampir ke sini.

  2. nazep m says:

    ada yang tau silsilah h oesman bin abdul gani

Leave a Reply to Hilda Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *