Dewata #2: Tentang Keindahan yang Tak Nampak

IMG-20180304-WA0164

Perjalanan Menuju Perkebunan Teh Dewata | © Komunitas Aleut

Oleh: Anisa Dwiyanti (@nisa.dy)

Jumat malam saya masih mikir-mikir untuk ikut ke Dewata. Sambil ngulet di kasur saya mempertimbangkan banyak hal sampai akhirnya memutuskan untuk pergi, itu pun (masih) sembari mengumbar alasan menyebalkan semacam: kalau nggak ikut berarti saya gagal bangun pagi. Ternyata keesokan harinya saya bisa bangun dengan mudah setelah dapat telepon dari Rizka. Tanpa ba bi bu saya mandi, packing, dan meluncur menuju Kedai Preanger. Saya sama sekali nggak menggerutu ketika dihadang hujan di Jalan Riau, entah bagaimana, saya hanya merasa jika perjalanan bakal berat dan nggak semestinya saya mengawali hari dengan perasaan kacau hanya karena hujan sudah turun sepagian.

Kami berangkat dari kedai sekitar pukul 08.00, molor sejam dari rencana karena cuaca yang kurang mendukung. Angie menjadi partner pertama saya, ia mengambil alih kemudi di Lanud Sulaiman karena nggak mau diserang kantuk yang lebih gila. Saya menyerahkan dengan berat hati, walau bagaimanapun risiko menjadi yang terbonceng adalah bosan dan saya malas merasakan kebosanan itu.

Setengah perjalanan menuju Ciwidey saya habiskan dengan bernyanyi, hingga tepat di jalur kereta mati Rancagoong sebuah insiden terjadi; Akay dan Bibi terjatuh dari motor. Saat menghampiri mereka, seorang ibu muda yang berada di warung merapalkan kalimat secara berulang kepada kami yang tengah menepikan motor satu per satu, “Henteu da eta mah geubis nyalira!” Entahlah, mungkin si ibu takut kalau kami bakal mengkambinghitamkan seseorang atau sesuatu. Setelah sebuah warung menjadi klinik dadakan dan dua pasien tertangani dengan baik, kami melanjutkan perjalanan. Kali ini Bibi dibonceng Aip, sementara Akay sendirian saja.

Rancabolang menjadi titik di mana kami memutuskan untuk beristirahat di sebuah warung yang pernah disinggahi saat ke Dewata tahun lalu. Di sana saya menyulut rokok pertama, diseling segelas kopi, dua gorengan, dan beberapa sendok mie instan yang saya dapat dari kawan lain. Selama menuju Rancabolang nggak ada yang menarik, begitu-begitu saja. Saya menyibukkan diri dengan menghidu aroma bawang dan menyusun puzzle ingatan tentang perjalanan sebelumnya, lalu saya meyakini jika jarak tempuh kali ini jauh lebih singkat dikarenakan sebagian besar jalannya sudah diperbaiki. Bagus, bagus, bagus … dengan begitu energi kami bisa dialokasikan untuk perjalanan menuju Dewata yang kabarnya brutal.

IMG-20180304-WA0181

Istirahat di warung Rancabolang | © Komunitas Aleut

IMG-20180304-WA0149

Sambil beristirahat kami menyemparkan berfoto di tengah Perkebunan Teh Rancabolang|© Komunitas Aleut

Setelah puas beristirahat sambil haha-hihi, kami kembali memacu motor sekitar pukul 15.00. Tahu, nggak? Baru juga beberapa menit meninggalkan warung pikiran saya langsung acak-acakan. Bagaimana tidak? Kebrutalan yang digadang-gadang akhirnya tampak juga; bubur tanah melambai mengucapkan selamat datang, membuat saya menghela napas frustrasi lantas menularkannya kepada Angie yang dengan lesu meminta saya untuk turun dari motor. “Kita dorong aja, Nis. Aku takut soalnya.” Oke, Ngie, siap. Saya juga ogah kalau harus guyang di lumpur, nggak bawa baju ganti soalnya.

17 KM yang …, ah, saya kepayahan mencari kosakata yang tepat. Bahkan saya sangsi apakah saya dapat menemukan kosakata itu di KBBI kalau-kalau saya niat mencari. Jalanan menuju Dewata sangat menguji fisik dan mental, tenaga dan kesabaran yang berlebih-lebih sangat diperlukan ketika melewati jalanan itu. Kendaraan kami dibiarkan babak belur melawan bebatuan besar dan tajam. Pikiran horor sulit untuk ditepis; hantu, motor rusak, kecelakaan, dan sebagainya terus-menerus meneror kepala saya.

IMG-20180304-WA0157

Jalanan berlumpur menyambut kami | © Komunitas Aleut

Di kilometer awal Angie sudah memberi sinyal kalau dia kewalahan sehingga saya berpindah ke motor Akay. Beberapa saat kemudian Pinot menawari saya untuk mengendarai motor karena Windy sudah kelelahan di kilometer 8, dengan berbekal nekat saya langsung mengiyakan. Sepanjang perjalanan konsentrasi saya tumpah ke jalanan; memikirkan keselamatan saya, Pinot, dan motornya Windy. Saya betul-betul takut dan berkali-kali berusaha meyakinkan diri kalau saya bisa, dan ternyata saya memang bisa—atau lebih tepatnya hampir bisa karena di kilometer terakhir saya pun tumbang juga. Ervan dan Mey yang ada di belakang kami menghampiri dan mencoba menenangkan. Entah bagaimana kesepakatannya, kemudi akhirnya diambil alih oleh Mey sementara saya dibonceng oleh Ervan dalam keadaan merasa bersalah. Saya khawatir Pinot ada yang sakit, saya khawatir motornya Windy kenapa-napa, saya khawatir Mey nanti jatuh juga, saya khawatir ini, saya khawatir itu, dan di dalam kekhawatiran itu akhirnya saya sampai di Dewata; petang, gelap, dan basah.

IMG-20180305-WA0000

Mengisi energi dengan lotek di salah satu warung di Dewata | © Komunitas Aleut

“Put, aku lotek atah,” kata saya kepada Puteri yang tengah bertanya siapa saja yang mau pesan lotek supaya sekalian dibuatkan. Kami bernaung di rumah seorang warga yang ngawarung. Di luar hujan dan petir semakin menjadi-jadi mencari perhatian. Saya bergidik ngeri, bertanya-tanya apakah perjalanan pulang benar-benar akan dilakukan malam ini? Teringat apa yang menimpa kaki Elmi dan motor Mang Alex di dua kilometer terakhir, rasanya saya ingin nangis meraung-raung. Bagaimana kalau di perjalanan pulang bakal terjadi sesuatu yang lebih parah? Membayangkannya saja bikin saya pengin mati suri.

Lotek datang di tengah kehaluan Bibi dan Abang tentang minuman yang katanya bisa bikin naik. Sementara yang tua-tua melucu, yang muda-muda sibuk tertawa sambil menimpali sesekali. Kala itu Tegar nggak ada lantaran sedang mencari tukang tambal ban. Kami mendadak mellow membayangkan dia kelaparan, kehujanan, dan sendirian. Tapi nggak lama kemudian dia datang sambil membawa cerita tentang pembantaian 34 ekor kutu kucing, kekhawatiran kami luntur begitu saja. Obrolan mengalir kembali seperti biasa, dan sejenak saya lupa tentang pulang.

Baca juga Ngaleut Déwata: Tanjakan, Halimun, jeung Béntang

Jalanan itu membanting motor dan tubuh kami habis-habisan. Ya, kami pulang sekitar pukul 20.00. Setelah melewati banyak pertimbangan dan diskusi panjang akhirnya Abang memutuskan untuk merampungkan turing Dewata pada hari itu juga. Empat motor bermasalah diangkut oleh truk, berserta Elmi dan Bibi yang cedera, pun lima perempuan super tangguh yang dipercaya menjaga motor di belakang; Tintin, Manda, Teh Sari, Pinot, dan Nita.

Sembilan motor beringingan melaju di depan, sedangkan truk dibiarkan di belakang. Saya tak henti meracau dan mengumpat, terlebih ketika harapan saya untuk rehat sejenak di tengah perjalanan hanyalah sekadar harapan. Samar-samar terdengar obrolan Angie dan Tegar di belakang motor saya dan Aip, mata saya tetap awas ke depan sambil memerhatikan satu per satu teman yang tengah berjuang mengarungi hutan yang pekat. Di puncak keputusasaan, ada aroma mie instan tercium oleh indera. Makin lama makin jelas untuk kemudian mengilang begitu saja. Nggak beres memang, saya mulai halusinasi.

Waktu berjalan begitu lambat; melahap inci per inci jarak dalam gulita. Kami terus memacu motor di sisa-sisa tenaga, rasanya sulit bagi saya untuk menjaga kewarasan jika nggak mengingat keluarga di rumah. “Alhamdulillah!” Tak sadar saya berseru ketika sampai di Rancabolang, dan saya mendadak ingat bagaimana caranya tersenyum ketika motor kami menepi satu per satu di warung yang siang tadi disinggahi.

“Dua jam lebih sepuluh menit,” kata Puteri.

Gila juga, di jalanan seperti tadi dua jam terasa seperti selamanya. Sembari menunggu truk yang tertinggal agak jauh di belakang, kami pun mengisi waktu dengan cara yang berbeda-beda; merokok, tiduran di jalan, mencari sinyal, olahraga ringan, dan lain sebagainya.

Baca juga Kau dan Aku Menulis Catatan Perjalanan

Kami sampai di Panundaan pada pukul 23.30. Sedari Rancabolang jalanan cukup oke dan kami melewatinya tanpa hambatan, kini yang ada hanyalah perasaan senang dan tenang. Bahkan pegal yang menjalar dari kepala sampai kaki seakan tak berarti ketika saya mendengar sebuah sapaan familier itu: selamat datang di Indomaret! Bergelas-gelas kopi, berbatang-batang rokok, dan berbungkus-bungus camilan pun ludes sebagai bentuk perayaan kecil-kecilan kami.

Karena diburu waktu kami kembali bergegas melanjutkan perjalanan sekitar pukul 00.10, kali ini lebih ceria karena terbukti saya dan Angie bisa sing along di jalanan Ciwidey yang relatif kosong—yah—setelah beberapa kali dioper akhirnya saya kembali ber-partner dengan Angie, lalu dioper lagi kepada Elmi di daerah Kopo sampai Solontongan.

Sejujurnya saya masih belum percaya bisa menyelesaikan perjalanan ini, dan saya sadar betul jika ada begitu banyak keindahan alam yang nggak sempat saya deskripsikan di sini—terutama dari Rancabolang ke Dewata—seperti hamparan kebun teh, jernihnya air, tebalnya kabut, pohon-pohon menjulang, dan lain sebagainya. Sebetulnya semua itu tak luput terekam oleh lensa kamera dan mata saya. Tapi, lebih dari itu saya ingin belajar mencari keindahan-keindahan yang nggak nampak dan hanya bisa dilihat oleh perasaan dan pikiran saya saja; kebersamaan, kepedulian, dan kepercayaan yang hadir di sela-sela perjalanan dan di antara manusia yang terlibat dalam perjalanan ini—yah—saya berhasil menemukannya, terima kasih … ini indah sekali.

Baca juga artikel lainnya dari mengenai catatan perjalanan

(komunitasaleut.com – ndy/upi)

 

Iklan

Satu pemikiran pada “Dewata #2: Tentang Keindahan yang Tak Nampak

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s