Oleh: Arif Abdurahman (@yeaharip)
“Nah, yang kayak gini nih bisa dibikin catatan perjalanannya,” ucap saya dengan kagok, antara kedinginan dan grogi.
Hanya ada gelap di depan sana. Kami harus balik kanan setelah sadar jalan menuju Patuahwatee yang keluar ke Kawah Putih enggak memungkinkan untuk ditembus. Kami sudah dibuat gila, tapi kegilaan kami belum cukup edan untuk memutuskan bunuh diri berjamaah melewati jalanan itu. Maka tidak bisa tidak, jalur pergi harus disusur kembali. Bedanya, ini sudah malam. Hanya ada gelap. Gelap dan rasa cekam. Namun aleutan motor yang mengular begitu rekat dan perempuan yang ada di jok belakang membuang waswas dan menambah awas saya.
Bukan hanya gelap, tapi dingin. Kemeja flannel biru kotak-kotak cocok untuk dipakai pergi kencan, tapi tidak untuk menghadapi serangan dingin Ciwidey. Solusi menumpas dingin paling ampuh saat itu, ini murni alasan fisiologis, tentu saja pelukan. “Urang cuma pake flannel teh buat modus,” canda saya. Tapi dia menolak, malu-malu tapi mau. Karena sweater bermotif tribal saya kira sama tak terlalu fungsional. Hanya dingin yang memeluk. Anehnya, saya memang dingin, tapi tak terlalu kedinginan. Perlu disyukuri pula, lewat dingin ini membantu meredakan rasa sakit di pergelangan tangan kanan karena sebelumnya jatuh di Leuweung Datar. Ada gelap, juga dingin. Dingin yang menghangatkan.
“Kalau mau nulis catatan perjalanan harus sambil nyatet nama-nama tempatnya ya?” tanyanya. “Urang mah suka lupa.”
“Idealnya sih iya, tapi bisa dimulai lewat jepret-jepret aja obyek yang dilewati,” jawab saya sok arif. “Nanti pas nulis sambil lihat foto-foto, cukup ngebantu buat nginget, sih.”
Jujur, saya sendiri masih payah dalam menulis catatan perjalanan. Lebih karena malas. Tapi pertanyaan tadi pernah pula ditanyakan oleh Akay. Dia mengaku termasuk pelupa dalam mengingat nama tempat. Apalagi kalau misalnya perjalanannya cukup panjang. Kalaupun niat mengingat tempat, dia perlu mencatat dengan resiko dia bakal kurang menikmati perjalanan. Saya rasa, ini persoalan bagi banyak orang, termasuk saya sendiri.
Pertanyaan Akay tadi, ditanggapi oleh Abang. Dia bercerita kalau dia memasukkan pencatatan ke dalam kesenangan dan kenikmatan perjalanan. Seperti saat mendapati sesuatu, langsung catat, tiap dengar nama tempat baru, langsung catat. Ke mana saja bawa notebook kecil dan pulpen. Pencatatan jadi bagian penting dalam perjalanan. Seperti mengliping koran, sebutnya, sensasinya bakal keluar ketika ada tanggal dan nama sumber yang lengkap. Namun, dia menyayangkan karena belakangan ini dirinya kurang telaten dalam catat-mencatat, tidak sedisiplin dulu.
Soal catat-mencatat, teringat petuah dari Imam Syafi’I: Ilmu itu bagaikan binatang buruan, sedangkan pena adalah pengikatnya. Maka ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat. Alangkah bodohnya jika kamu mendapatkan kijang, namun kamu tidak mengikatnya hingga akhirnya binatang buruan itu lepas di tengah-tengah manusia.
Lakukan perjalanan gila dan spontan, tuliskan, tambahkan humor, romansa dan sedikit melankolia, dan akhiri dengan permenungan, saya kira itu formula asyik membikin catatan perjalanan. Personalitas saya kira harus selalu ditonjolkan. Untuk gaya dan teknik menulis, enggak ada batasannya, kalau perlu bereksperimen, dan lakukan seanarkis mungkin. Sejauh ini, The Motorcycle Diaries: Notes on a Latin American Journey-nya Ernesto Guevara de la Serna alias Che Guevara adalah yang paling jawara bagi saya. Penuh gairah dan romantika masa muda, ditambah sentuhan kekiri-kirian. Inilah travelogue terbaik yang pernah saya baca. Disusul On the Road-nya Jack Kerouac. Meski ini disajikan dalam bentuk novel, dan seorang kritikus sastra menyebutnya bukan tulisan melainkan cuma ketikan. Yang pasti, satu kutipan yang paling terngiang dari novel itu adalah, “Guru terbaik adalah pengalaman langsung dan tidak melalui pandangan seseorang yang telah terdistorsi.”
Baca juga: Aku, Kalian, dan Pengalaman Menuju Dewata
Tapi malam itu saya terlalu malas untuk menjelaskan soal Imam Syafii, Che, dan Kerouac. Untuk mengusir sepi dan gelisah saat perjalanan balik ke kebun teh Rancabolang, kami berkaraoke. Bukan karaoke, sih, tapi untuk memudahkan sebut saja begitu. Dengan lirik penuh lupa dan suara yang enggak lebih merdu dari tikus yang sedang bercinta, kami menyanyikan Kau dan Aku Menuju Ruang Hampa-nya Efek Rumah Kaca. Ada gelap, dingin dan dia.
Untuk mengakhiri catatan ini, saya merasa harus untuk menyinggung soal ini. Rayuan yang membuat saya semangat menulis. Sedungu apapun, yang namanya rayuan tetap saja rayuan. Mendapat rayuan semacam itu, beruntung motor tak sampai oleng, menciptakan kecelakaan konyol di Jalan Palasari dekat pertigaan Sayuran-Cibaduyut, dan menghambat perjalanan rombongan Komunitas Aleut yang sedang menuju Dewata. Beruntung, meski kegeeran, saya masih bisa mengendalikan diri. Satu obrolan penuh canggung di siang harinya.
“Kalau penulis favorit siapa?” tanya saya mencoba membuka percakapan.
“Hah?”
“Penulis favorit?” ulang saya.
“Hmm… kamu.”
Untuk mengingat tempat2 dalam perjalanan, bisa juga pake voice recorder *pagawean oge sih beli mikrofon sama
konfigurasi awalnya .
Kalau kemarin ada juga temen yg pake ig stories, jadi ngerekam video sambil monolog. Recorder-nya pake yg ada di headset, lumayan juga. Smartphone membuat pagawean lebih mudah. 😀
Reblogged this on Arip Blog and commented:
Ilmu itu bagaikan binatang buruan, sedangkan pena adalah pengikatnya. Maka ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat.
Ping balik: Aku, Kalian, dan Pengalaman Menuju Dewata | Dunia Aleut!
Ping balik: Dewata #2: Tentang Keindahan yang Tak Nampak | Dunia Aleut!