Oleh: Hendi “Akay” Abdurahman (@akayberkoar)
Malam kian larut saat Agus, Tegar, Windy dan Upi memberikan senyumnya ketika melihat saya memarkirkan motor dan hendak menghampiri mereka. Sedangkan saya, dan juga beberapa kawan lainnya yang mulai berdatangan satu per satu, memasang raut wajah lelah. Namun, tetap dengan senyum manis yang tak mau kalah.
“Wih… anu nggeus ti Citambur,” sapa Agus.
“Laleuleus, euy,” saya menimpali.
Tanpa permisi saya menerobos masuk ke sudut ruangan kedai kopi yang sekaligus menjadi base camp Komunitas Aleut itu untuk menyimpan barang-barang bawaan. Setelah barang bawaan tersimpan, saya bergabung bersama mereka untuk ngobrol sambil menahan rasa lelah.
Saya mesti bersyukur tiba di Jalan Solontongan 20-D, Buah Batu, dengan sambutan senyum mereka. Setengah jam kemudian, saya gandakan rasa syukur itu setelah melihat postingan instagram Dudi Sugandi. Tidak seperti biasanya, kali ini postingan terakhir yang saya dapati darinya bukan tentang panorama keindahan alam atau lanskap perkotaan, melainkan tentang sebuah kecelakaan bus pariwisata di daerah yang sebelumnya saya lewati; Ciwidey. Beruntung di waktu kejadian saya sudah sampai sini, saya berkata dalam hati.
Perjalanan Ngaleut Citambur diikuti 8 motor dengan jumlah 13 orang. Tiga orang pengendara hanya berteman kosong di jok belakang, termasuk saya. Selama perjalanan, motor matik berwarna pink yang dikendarai oleh Ridwan Hutagalung, pengasuh Komunitas Aleut, nyaris selalu berada di depan. Sedangkan motor matik dengan lampu depan agak pecah yang dikendarai Hevi, ditemani motor berwarna merah dengan kekuatan 125cc yang dikendarai Yance kerap kali bergantian mengawal rombongan dari belakang.
***
Daerah Naringgul sore itu begitu memesona dan memanjakan pandangan kami. Jalur yang berkelok-kelok disusul kabut tipis menyertai perjalanan pulang kami saat mengarah ke Ciwidey. Curug atau air terjun juga menemani perjalanan kami saat itu. Entah sudah berapa curug yang kami lihat di sepanjang Cidaun menuju Naringgul, sangat banyak dan terlihat begitu jelas. Tak jarang kami berhenti untuk mendokumentasikannya, karena memang sangat disayangkan jika kami lewati begitu saja. Sore adalah saat paling pas untuk menikmati jalur Naringgul ini dibandingkan pagi hari, saya kira.

Kawasan Naringgul, Cianjur Selatan di sore hari. Tampak beberapa curug terlihat jelas dari kejauhan. | Foto: Komunitas Aleut
Memang, ini bukan kali pertama saya melewati jalur yang sama. Saat Komunitas Aleut mengadakan kegiatan bertajuk Susur Pantai Selatan #2, saya juga melewati jalur ini. Bedanya, saat itu saya melewati jalur Naringgul dengan arah berkebalikan dengan Ngaleut Citambur ini.
Baca juga: Ngaleut Citambur: Ketika Semuanya Terasa Pas
Sebelum menikmati jalanan Cidaun dan Naringgul, kami bermalam di Sindangbarang. Hujan mengguyur Sindangbarang dengan cukup deras saat kami sedang mencari penginapan untuk beristirahat. Jalanan yang gelap sedikit menyusahkan kami untuk mencari penginapan yang ideal agar seluruh kawan bisa bermalam dengan tenang. Dalam keadaan basah kuyup, beberapa kali kami bolak-balik agar mendapatkan tempat istirahat yang cocok.
“Coba dua atau tiga motor saja yang mencari penginapan, sisanya biar menunggu saja di sini,” Bang Ridwan memberikan arahan.“Nanti kalau sudah dapat, kembali lagi ke sini untuk kemudian kita bareng-bareng menuju penginapan,” Bang Ridwan menambahkan.
Dengan sigap 3 motor meluncur untuk mencari penginapan, sedangkan kawan yang lain menunggu sambil berdoa agar hujan reda. Memang, saya pikir bergerombol untuk mencari penginapan dalam keadaan gelap akan kurang efektif.
Sambil menunggu kabar dari kawan yang mencari penginapan, kawan-kawan yang lainnya menunggu sambil mengisi perut. Di samping minimarket, pedagang nasi goreng terlihat senang dengan kehadiran kami. Tanpa banyak cakap, kami memesan nasi goreng sambil menunggu kawan lainnya.
Saya melihat jam, dilanjutkan memutar pandangan ke sekeliling. Tak ada tanda-tanda orang yang sedang menonton bola. Efek dari hujan yang membuat tempat ini terlihat begitu sepi dari biasanya, mungkin.
Ya, Persib sedang bertanding. Naluri bobotoh saya hadir untuk sekadar ingin mengetahui jalannya pertandingan. Tak lama Arif melambaikan tangannya, “Kay, ka dieu. Tuh di ditu keur aya nu nonton Persib!” Tak banyak cerita, saya langsung meluncur. Saya menuju tempat yang ditunjukkan oleh Arif, tak jauh dari pedagang nasi goreng.
Perut telah terisi dan pertandingan Persib telah berakhir, selanjutnya kami menuju penginapan yang tak jauh dari Pantai APRA. Satu rumah luas milik warga disewa oleh kami untuk dijadikan tempat istirahat. Dari penginapan menuju Pantai APRA terhitung sangat dekat, hanya dengan puluhan langkah saja kami dapat melihat gulungan ombak. Pantai APRA ini tak banyak dikunjungi oleh wisatawan. Pantai yang cenderung sepi, tapi tidak untuk rumah yang baru saja kami isi.
Warga di sekitar Pantai APRA, Sindangbarang. Kami membeli ikan untuk menu makan siang di tempat ini. | Foto: Komunitas AleutTanggeung – Cibinong – Cikadu
Perjalanan menuju Pantai APRA tak semudah yang dibayangkan, juga tak terprediksi oleh kami sebelumnya. Inilah nikmatnya perjalanan tanpa itinerary, bebas mendobrak waktu sesuai keinginan kami bersama.
Jalur Tanggeung – Cibinong – Cikadu kami lewati saat gelap sudah menyapa. Sebelum sampai di Jalan Sindangbarang, rantai motor yang dikendarai Arif lepas. Tentu ini membuat rombongan berhenti secara mendadak.
“Kunaon, Ip?” Spontan saya bertanya.
“Ieu rante leupas”
“Cikan dieu ku urang,” saya menawarkan untuk membetulkan rantai yang lepas dari gear motornya.
Saya tahu betul apa yang harus dilakukan karena Si Kuya (motor kesayangan saya yang ditinggal karena tak memungkinkan untuk dibawa) sering mengidap trouble serupa.
Tak sampai di situ, kali ini motor Bang Ridwan yang sedikit bermasalah. Ban motornya gembos karena satu dan lain hal. Beruntung tak jauh dari situ terdapat bengkel motor. Setelah selesai kami melanjutkan perjalanan. Jalur yang kami lewati cukup menguras konsentrasi. Pandangan harus selalu awas karena banyak liang yang harus dihindari.
Sampai akhirnya kami berada di jalur Sindangbarang. Jika dicermati lewat google map jalur ini akan mengarah ke sebuah tugu, di mana jalur yang kami lewati ternyata “berdampingan” dengan Sungai Cisadea yang bermuara ke Pantai APRA.
Curug Citambur
Jalan bebatuan dan berlumpur kami lahap. Tentu, berhati-hati menjadi kewajiban. Sepanjang jalur menuju Curug Citambur, beberapa kali saya menyaksikan angin menggerakkan daun teh secara perlahan. Udara perkebunan sehabis hujan yang segar seolah tak mau kalah dengan wangi tanah kena hujan. Saya menikmati keduanya sekaligus. Sejuk.
Setelah melewati perkebunan Sinumbra, sebelum sampai di Citambur, curug-curug lainnya di sepanjang jalan yang kami lewati cukup membuat berdecak kagum. Ternyata, Cianjur Selatan merupakan kawasan dengan jumlah curug yang terhitung banyak.
Kejadian mengagetkan datang di jembatan yang menjadi batas Kabupaten Bandung dan Cianjur Selatan. Farhan dan Angie jatuh dari motornya. Farhan hampir saja tergelincir ke sungai kecil yang menjadi batas dua daerah itu, sedangkan Angie sempat tertimpa motor sebelum bangun menyelamatkan diri.
Saya yang berada di depan mereka, khawatir dan tegang melihat kejadian tersebut. Beruntung beberapa kawan dan warga sekitar langsung berlarian untuk menolong mereka. Saya juga sempat akan menolong, namun justru karena berada di tanah yang tak rata, motor yang saya berhentikan jatuh dan menimpa saya. Lagi-lagi, untung ada warga yang menolong. Kejadian itu membuat kami lebih waspada. Tapi setelah melanjutkan perjalanan dan kembali mengingat kejadian tadi, saya selalu ingin tertawa sendiri dengan apa yang hendak saya perbuat. Alih-alih menolong kawan, justru saya yang ditolong oleh warga.
Tak lama setelah perbatasan itu, kami sampai di Curug Citambur. Tempat ini tak begitu ramai, bahkan untuk ukuran tempat wisata, tempat ini bisa dikatakan sepi.
Setelah membayar sejumlah Rp. 10.000 sebagai tiket masuk, kami memarkirkan motor untuk menuju warung terdekat. Kami mengisi perut terlebih dahulu dengan berbagai jajanan yang ada di warung. Pedagang warung tersebut begitu ramah. Kami banyak bercerita dengan pemilik warung. Saya sendiri memesan seblak sebagai perlawanan terhadap perut yang mulai sering berbunyi.
Melihat dan menikmati Curug Citambur dari dekat memiliki atmosfer yang berbeda dibandingkan hanya membayangkannya, tentu saja. Suara jatuhnya air dari ketinggian 100 meter membuat pendengaran beberapa kawan sedikit terganggu, ini terbukti dengan tak digubrisnya teriakkan saya saat mencoba untuk memanggil mereka. Radius percikan airnya pun cukup jauh dan dapat membuat baju basah kuyup.

Baju basah kuyup, udara dingin, dan kerasnya suara air di Curug Citambur menjadi kesenangan tersendiri. | Foto: Komunitas Aleut
Kawasan wisata ini memang masih sepi, tapi melihat rapinya taman-taman di sekitar kawasan Curug Citambur, saya yakin warganya merawat dengan cukup baik. Beberapa tanaman hias, daun-daun dan pohon-pohon kecil yang terlihat rapi menjadi bukti.
Dari Solontongan 20-D, Ngaleut Citambur ini dimulai dan berakhir. Hebatnya, kami juga memulai dan mengakhirinya dengan senyum yang sama. [Akay]
Ping balik: Ngaleut Citambur: Ketika Semuanya Terasa Pas | Dunia Aleut!
Ping balik: Dari Ciletuh ke Ujunggenteng ke Jalan Lain ke Citambur | Dunia Aleut!
Kang kebetulan Rabu ini sy dari buah batu kliningan juga mau ke pantai APRA, ada info rumah yg bisa disewa ga kang sekitar buat 20-25 orang, hatur nuhun sateuacan na..
Ping balik: Merindukan Bulan Puasa di Kampung Gombong | Dunia Aleut!