Ngaleut Citambur: Ketika Semuanya Terasa Pas

Oleh: Angie Rengganis (@angiesputed)

“Lihat banyak banget air terjunnya,” sahut Farhan menunjuk kearah pegunungan. Ada sekitar tiga air terjun ditemui di kawasan Desa Cipelah. “Tau gak film Point Break, itu loh yang tentang extreme sports, pas si Bodhi nya lompat jatuh dari air terjun Angel Falls di Venezuela,” tambah saya mengingat-ingat film yang pernah saya tonton. Ternyata Cianjur juga punya banyak air terjun yang gak kalah menarik untuk dijelajahi. Memasuki salah satu jalan di daerah Rawaeceng, kami harus dihadapkan dengan jembatan darurat yang dibuat dari kayu karena jalan tersebut sedang dalam perbaikan.

Beberapa motor sukses melewati jembatan. Sialnya saya dan Farhan terjatuh dari motor karena permukaan jembatan yang tidak rata dan licin. Motor TRX yang kami naiki jatuh menimpa salah satu kaki saya dan otomatis badan saya juga menimpa Farhan yang posisi jatuhnya diujung bibir jembatan. Dengan responsif, Farhan langsung berpegangan ke gagang jembatan dan segera menetralkan motor. Saya sedikit-sedikit berusaha mengeluarkan kaki yang tertimpa motor. Sebelum saya mengeluarkan kaki, beberapa teman dan warga setempat bergegas membantu kami berdiri. Bobot motor TRX terbilang ringan dan fleksibel digunakan di medan ekstrim, jadi kondisi jatuh tidak terlalu jadi masalah untuk motor tersebut. Tapi untuk kami, kecelakaan kecil tadi cukup mengagetkan.

Ngaleut Citambur hari Sabtu dan Minggu 22 dan 23 April 2017 merupakan salah satu ngaleut yang masuk kedalam daftar favorit saya. Banyak hal menarik yang ditemui di perjalanan, salah satunya tadi, perasaan campur aduk antara sial dan mujur terjatuh dari motor di jembatan dan selamat tidak terperosok ke selokan. Jalur tempat kami terjatuh tadi merupakan salah satu akses menuju ke air terjun Citambur, Cianjur Selatan, yang merupakan tujuan utama ngaleut kali ini. Perjalanan yang ditempuh dari Bandung sekitar lima jam.

Baca juga: Mendekap Cianjur Selatan lewat Ngaleut Citambur

Kami berangkat pukul 08.30 dari Buahbatu dengan peserta 13 orang. Karena saya tidak begitu mahir dengan kondisi jalan, motor saya dibawa salah satu teman bernama Akay dan saya ikut bersama Farhan. Entah cocok atau tidak motor trail TRX digunakan untuk dua orang, tetapi motor tersebut sukses mengantar Farhan dan saya ke Citambur sampai kembali ke Bandung. Sepanjang perjalanan melewati Ciwidey, hamparan pemandangan perkebunan teh, mengingatkan Farhan pada masa kecilnya yang dihabiskan di beberapa perkebunan teh di Jawa Barat. Dia pun bercerita saat dia kecil bermain sepeda bersama teman-temannya di area perkebunan teh. “Kalau dulu dari sini ke sana tuh kerasa dekat bisa pakai sepeda, kalau sekarang kayanya jauuh banget, hahaha”, kenangnya sambil menunjuk kearah perkebunan.

Hal yang menarik perhatian saya adalah di beberapa pohon ditempel papan bertulisan huruf Hijaiyah seperti sepotong ayat. “Kenapa ya banyak tulisan Arab di pohon, itu ayat dari surah atau apa ya?” tanya saya polos. “Kayanya itu Asmaul Husna deh ada 99 kan, iya bener Asmaul Husna,” jawab Farhan. Beberapa kilo kemudian rombongan berhenti di daerah Sinumbra, Ciwidey untuk beristirahat sebentar. Saat istirahat, kami menikmati kue balok yang menurut saya rasanya berbeda dengan kue-kue balok di Bandung. Kue balok paling enak yang pernah saya makan, mungkin karena dipadu dengan iklim sejuk Perkebunan Teh Sinumbra.

Setelah melewati daerah Sinumbra dan Cipelah, akhirnya sampai juga ke tujuan utama: air terjun Citambur, Cianjur Selatan. Beberapa dari kami berjalan menuju air terjun, sisanya menunggu di warung bersama helm, tas dan bawaan lainnya. Air terjun Citambur lebih dari ekspektasi saya, ternyata tingginya sampai 100 meter. Derasnya air terjun membuat percikan airnya sudah terasa dari jarak jauh. Semua bisa basah kuyup walau tidak terlalu dekat dengan air terjun. Kami hanya diberi waktu satu jam untuk berjalan-jalan di sekitar air terjun Citambur.

Waktu yang singkat kami manfaatkan untuk berfoto dekat air terjun. Usaha mendekat ke air terjun cukup sulit, harus menaiki tebing curam dan licin apalagi di musim hujan seperti ini. Harus serba berhati-hati, jangan terlalu sibuk berfoto, sampai mengabaikan keselamatan diri sendiri. Tidak terasa waktu sudah mendekati sore hari dan hujan sudah mulai turun deras, saatnya meninggalkan air terjun. Kami harus mengejar waktu ke Sindangbarang secepatnya. Pakaian saya basah semua. Untung jaket tidak saya bawa ke air terjun, tapi jaket Farhan basah kuyup, sehingga dia harus menahan dingin sepanjang perjalanan ke Sindangbarang.

Memasuki daerah Tanggeung dan Cikadu di Sindangbarang, mulai terjadi beberapa hambatan. Jalanan gelap yang dikelilingi hutan di kanan kirinya ditambah guyuran hujan deras mengharuskan kami lebih awas terhadap jalan licin dan berlubang. Beragam masalah teknis pun mulai bermunculan, dari rantai motor lepas, lampu redup sampai ban bocor.

Akhirnya setelah keluar dari hutan dan memasuki pemukiman warga, kami menemukan tukang tambal ban di daerah Cikadu. Sekitar 30 menit memperbaiki ban bocor, kami melanjutkan perjalanan ke pusat kota Sindangbarang mencari penginapan. Saya melihat plang petunjuk jalan dengan nama-nama yang familiar di telinga saya; Cidaun dan Agrabinta.

Sampai di pusat kota Sindangbarang, masih dengan kondisi hujan deras, kami masih mencari-cari penginapan yang fleksibel digunakan untuk belasan orang. Akhirnya kami mendapatkan tempat menginap, bukan di penginapan. Tepatnya di salah satu rumah warga Sindangbarang yang disewakan per hari. Kami menginap semalam menunggu keesokan harinya untuk kembali ke Bandung. Waktu kami gunakan untuk beristirahat. Saya yang suka kesulitan tidur di tempat baru, berusaha memejamkan mata agar bisa bangun pagi.

Pagi harinya, Minggu tanggal 23 April, rencananya kami menghabiskan waktu di pantai APRA Sindangbarang sampai jam 13.00 sehabis makan siang. Pagi itu, beberapa teman sudah bangun dan sisanya masih pulas tertidur. Bu Fia yang hobi fotografi sudah berhasil mengambil beberapa foto sunrise hasil berjalan sekitaran pantai dari subuh. Saya baru sadar kalau rumah tempat kita menginap dekat dengan pantai. “Ayo lihat keluar, pantainya kan dekat sini,” ajak Bu Fia pada saya yang masih kucek-kucek mata. Saya, Farhan dan Bu Fia disusul Uni keluar berjalan melihat pantai APRA.

Nama APRA sendiri adalah singkatan Angkatan Perang Ratu Adil, yaitu misili tentara pro-Belanda pada jaman kemerdekaan Indonesia. Konon, salah satu peperangan terjadi di pantai ini, makanya disebut pantai APRA. Pantai APRA jarang dipakai untuk berenang karena ombaknya yang terlalu besar. Jarang orang yang bermain air, kebanyakan hanya berjalan dan berfoto di pinggir pantai. Menariknya, di sebelah pantai APRA terdapat sungai. Artinya ada transisi air laut dan air tawar. Penasaran di mana muara air laut dan air sungai itu, Farhan mengajak “Saya mau liat muaranya kemana, ikutin aja naik motor,” sayangnya dia tidak membawa kamera saat melihat muaranya. Menurutnya transisi air laut dan air tawar tidak begitu kelihatan karena tertutup semak-semak.

Sehabis makan siang bersama dengan menu ikan bakar, kami bersiap pulang. Membereskan barang-barang, memeriksa motor sampai mengangkat jemuran pakaian yang kehujanan semalam. Bersyukur cuaca cerah menyinari perjalanan Sindangbarang dan Cidaun. Pemandangan sawah dan pantai sangat saya nikmati.

Beberapa jam kemudian, kami sampai di Naringgul. Kalau kamu googling Naringgul, kamu akan mendapati gambar air terjun di pinggir jalan. Air terjun tersebut memang mengalir jatuh pas di pinggir jalan Naringgul sehingga menjadi wisata gratis. Banyak pengendara bermotor sengaja berhenti untuk sekedar berfoto. Sekali lagi, tetap berhati-hati dalam berfoto. Banyak yang terlalu ricuh berfoto sampai lupa mereka berada di pinggir jalan raya.

Perjalanan pulang dilanjutkan ke daerah Cibuni, kami disuguhkan kembali dengan rute jalan yang naik turun dengan pemandangan persawahan, bukit, sungai dan tentunya air terjun. Seperti pemandangan pedesaan yang sering dilihat pada lukisan-lukisan. Terkadang mengingatkan pada setting di film-film shinobi dan samurai. “Tau gak ini kaya di mana, ini mah desa ninja Koga”, celoteh saya. “Pokonya saya clan nya Koga, kamu Iga ya sama Hattori Hanzo hahaha”, sahut saya bercanda. Sesekali rombongan berhenti sejenak di perkebunan teh untuk mengambil foto dan menikmati pemandangan alam yang memanjakan mata.

Beberapa jam kemudian memasuki Ciwidey, kami harus berjibaku dengan kemacetan, rombongan mulai tercerai berai dan harus saling menunggu satu sama lain. Kami berusaha untuk tetap tertib mengendarai motor beriringan sampai Buahbatu. Saya mulai terserang kantuk dan berusaha untuk menahan agar tidak tidur di atas motor, walaupun akhirnya saya sempat tidur juga. Akhirnya sekitar pukul 21.00 rombongan sampai di Kedai Preanger, Buahbatu. Tampak beberapa teman yang sedang berkumpul di kedai menyambut kedatangan kami; Tegar, Agus, Upi, Gistha, Windy dan lainnya. Dilanjut dengan ngobrol-ngobrol bertukar cerita sampai pukul 22.00, kemudian saya pulang ke Cimahi bersama Windy.

Perjalanan ke Citambur adalah salah satu Ngaleut favorit saya, bahkan bisa jadi Ngaleut terfavorit dan terbaik. Perjalanan mengesankan yang menambah pengalaman saya menjelajahi Priangan. Berkesan dan menarik. Semuanya terukur, tidak kurang tidak lebih, semuanya terasa pas. [Angie]

Iklan

2 pemikiran pada “Ngaleut Citambur: Ketika Semuanya Terasa Pas

  1. Ping balik: Mendekap Cianjur Selatan lewat Ngaleut Citambur | Dunia Aleut!

  2. Ping balik: Dari Ciletuh ke Ujunggenteng ke Jalan Lain ke Citambur | Dunia Aleut!

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s