Pengalamanku Ikut Ngaleut Gunung Hejo

Oleh: Aozora Dee (@aozora_dee)

Jarum jam menunjukkan pukul 22.00 WIB. Malam mulai larut, jalan pun sudah sepi. Dalam hati aku berteriak kegirangan “Yes, akhirnya bisa juga main jauh dan pulang malam.” Aku baru saja sampai di kosan setelah seharian ini ikut Ngaleut ke Gunung Hejo, Purwakarta, bersama Komunitas Aleut. Langsung saja aku menuju menuju kamar mandi untuk membersihkan badan, lengket sekali rasanya setelah seharian banyak berkeringat dan diguyur hujan pula. Namun begitu masuk di dalam kamar mandi aku malah melamun, otakku membawaku pada kejadian hari ini, mengulang setiap hal yang dialami.

Selama mandi aku terus teringat dan senyum-senyum sendiri ketika sadar bahwa hari ini tidak ada deringan telepon dari ibu. Ya, biasanya tiap hari beliau telepon untuk ngobrol ini itu atau hanya sekedar bertanya “sedang apa?” Seandainya aku ketahuan masih di luar pada jam itu, akan ada rentetan pertanyaan yang wajib dijawab dan kesemuanya itu adalah berdasarkan kekhawatirannya. Tapi entah mengapa pada hari itu aku lupa izin sebelum pergi.

Bunyi notifikasi di handphone menarik perhatianku. “Itu pasti spamming foto dari Ngaleut hari ini” pikirku. Benar saja. Ditinggal sebentar saja sudah ada ratusan chat yang belum dibaca.

***

Masih segar di ingatanku tadi pagi aku keluar tepat jam setengah tujuh, karena di poster kegiatan dijelaskan kalau pukul tujuh harus sudah kumpul. Aku naik angkot, menuju jembatan penyebrangan Cilember dekat Cimindi, tempat yang disepakati menjadi titik temu aku dan rombongan. Aku tak ikut kunpul di Kedai Preanger, lokasi titik kumpul kegiatan, karena rombongan akan melewati jalan itu dan kebetulan kosanku berada di daerah itu. Aku menunggu di pinggir jalan bersama Angie, kami ngobrol sambil mengusir rasa bosan karena sudah sejam kami menunggu. Dari obrolan itu Angie cerita tentang dia yang baru sampai Bandung. Rupanya beberapa hari sebelum itu dia pergi keluar kota dan untungnya bisa ikut ngaleut pagi itu sebelum rombongan jalan.

Menjelang siang, rombongan berhenti di depan tempat kami menunggu. Kami pun kemudian berangkat dengan total 16 motor. Rute pertama yang akan kami tempuh hari itu adalah melewati Kabupaten Bandung Barat. Di Cikalong, jalanan yang kami lalui masih mulus. Di sepanjang jalan kami disuguhi pemandangan indah di sisi kanan kiri jalan. Aku hanya bisa sesekali melirik ke arah itu karena kali itu aku yang jadi joki cadangan -meminjam istilah Ajay- alias yang bawa motor. Sempat ragu karena aku belum pernah berkendara jarak jauh tapi aku termotivasi oleh teman-teman Aleut sesama wanita, seperti Nurul, Tami dan lainnya. Jadi akhirnya, bismillah…

Cikalong sudah terlewati. Jalanan masih bagus dan mulus. Ini sih biasanya bukan awal dari perjalanan, karena sebenarnya perjalanan Aleut dimulai ketika memasuki jalanan kampung yang biasanya berbatu dan banyak genangan akibat aspal yang terkikis dan meninggalkan lubang.

Kami kemudian tiba di Kecamatan Darangdan dan melewati suatu desa yang bernama Linggamukti. Jalanan sudah mulai berubah, tidak semulus sebelumnya. Rumah-rumah berderet dengan arsitektur khas pedesaan. Di beberapa rumah aku melihat hiasan berubah pohon dan bunga buatan, sepertinya itu hasil karya warga sekitar. Indah.

Nampaknya kami sedikit kebingungan ketika bertemu pertigaan, karena itu kami harus segera menggunakan GPS. Bukan Global Positioning System yang merupakan singkatannya, GPS versi kami adalah Geroan Penduduk Sekitar alias bertanya pada warga setempat. Singkatan ini diciptakan oleh Yanceu, anggota Aleut. Karena “GPS terbaik adalah warga setempat”, begitulah yang pernah Mang Irfan katakan.

Setelah beberapa jam berkendara, kami sampai di jalan tol yang menghubungkan Jakarta-Bandung, tepatnya di km 96 yang merupakan lokasi di mana Gunung Hejo berada. Gunung ini berdiri dengan gagah dan menyimpan misteri. Kami harus berjalan menyusuri jalan setapak di samping jalan tol, hal yang sebetulnya sedikit melanggar aturan dan sebenarnya berbahaya. Motor kami diparkir agak menjauh dari jalan tol karena sebelumnya Patroli Jalan Raya menghampiri kami dan menghimbau agar motor tidak diparkir di area pembatas jalan tol.

Baca juga: Berbuatlah Untuk Bumi Kita Yang Tua

Untuk bisa sampai di gunung ini, kami harus melewati terowongan yang berada persis di bawah jalan tol. Setelah cukup jauh berjalan, kami pun sampai di kaki gunung tujuan kami itu. Terlihat begitu tinggi menjulang dan kokoh, seakan menantang siapapun yang berani mendakinya. Untuk menuju kaki gunung ini, kami dihadapkan dengan titian anak tangga yang terbuat dari besi ringan yang terlihat sudah ada patahan di beberapa anak tangganya. Tanah licin dan lembab khas hutan tropis menyambut kami. Bebatuan berselimut lumut dan lapuk menjadi penanda sudah tuanya usia hutan ini. Ditambah pohon-pohon tinggi besar menjadi penanda bahwa pastilah usia pohon ini pun sudah ratusan tahun.

Akhirnya kami sampai di tujuan ngaleut, yaitu sebuah petilasan. Ada papan informasi yang menjelaskan bahwa ini adalah tempat bertemunya Prabu Siliwangi dengan Kian Santang. Di dalamnya terdapat sumbat batu yang katanya disebut puseur dayeuh, sebuah lubang yang ditutupi kain putih. Banyak sisa pembakaran kayu yang saya temukan di sekitar puseur dayeuh. Tak heran, karena petilasan ini dikeramatkan oleh masyarakat dan menjadi tempat tujuan para pelaku tapa. Sisa sesajen terlihat di salah satu sudut tak jauh dari sumbat batu, juga tenda seadanya yang dipakai untuk “menginap(?)”. Hal-hal yang hanya aku temukan di acara uji nyali televisi ternyata ada di depanku sekarang. Sedikit bergidik rasanya ketika sampai di sudut itu.

Di saat kami sibuk dengan petilasan Prabu Siliwangi dan hal-hal yang berbau mistis di sini, teman kami, Ipin, berhasil mengumpulkan data tentang tumbuhan langka yang masih hidup di gunung ini. Kurang lebih 130 tumbuhan langka berhasil dicatat. Dari sanalah kami tahu bentuk asli dari tumbuhan yang disebut Mindi, Kosambi, Tepus, Teureup, Baduyut dan masih banyak lagi. Nama-nama yang tidak asing karena itu adalah nama-nama tempat di Bandung. Tapi dari ngaleut ini kami melihat langsung tumbuhan itu. Hal yang perlu disyukuri.

Setelah dirasa sudah cukup dengan info dan ilmu yang didapat dari Gunung Hejo, kami langsung menuju lokasi ngaleut selanjutnya: Gunung Patenggeng.

Sekilas yang aku dengar dari keterangan Bang Ridwan, bahwa gunung ini adalah sumbat lava. Proses terjadinya yaitu karena lava yang keluar sewaktu letusan gunung api purba tekanannya melemah kemudian mengeras sehingga membentuk bebatuan. Hujan, erosi dan gerakan alam lainnya membentuk Gunung Patenggeng seperti yang dilihat sekarang. Dari diskusi ringan kami hasil ngaleut hari itu, didapat informasi bahwa nama patenggeng oleh salah satu penulis buku diambil dari bentuk gunung ini yang seperti bentuk badan dengan posisi bokong yang lebih menonjol ke belakang. Namun informasi ini diragukan oleh beberapa kawan karena ada naskah tua lain yang terlebih dahulu menyebut nama gunung ini.

***

Hari sudah semakin sore. Kami lapar, persediaan air semakin menipis bahkan sebagian sudah habis. Kami segera mencari tempat untuk mengisi perut. Sebuah warung sate menjadi pilihan kami untuk beristirahat. Sebagian ada yang langsung memesan makanan, sebagian lagi mencari mesjid untuk shalat. Aku kebetulan membawa bekal makanan jadi ikut teman-teman ke mesjid dulu, tidak jauh dari warung sate itu.

Jalur Lembang menjadi jalur yang akan kami lewati selanjutnya. Aku sudah membayangkan dinginnya udara lembang malam hari ditambah hujan yang sudah turun sejak di Wanayasa membuatku tak kuat berkendara. Jarak pandang terbatas dan hujan yang lumayan deras membuat nyaliku ciut. Akhirnya aku menyerah. Motor kuserahkan ke Arif, kemudian digantikan Akay. Jadilah aku dibonceng sampai Ciater. Di Ciater kami berhenti lagi, sebentar rehat sebelum melanjutkan perjalanan. Ada yang langsung melahap makanan yang tersaji di warteg, beberapa dari kami hanya menikmati teh manis hangat. Udara terlalu dingin. Tanganku kebas. Ku hampiri Mang Agus yang sedang menyesap kopi panas dan berkata “mang, pinjem gelasnya, aku ingin menghangatkan tangan.”

Baca juga: Catatan Perjalanan: Ngaleut Gunung Hejo

“Yuk jalan,” Bang Ridwan berseru setelah selesai makan. Dalam hati aku berharap perjalanan masih akan jauh lagi. Perjalanan sehari rasanya terlalu cepat, rasanya baru sebentar. Aku masih ingin mengobrol, bercerita tentang segala hal konyol, masih ingin menikmati waktu bersama dan menemukan hal seru, tapi waktu sudah semakin malam. Kami mulai memasuki perkotaan. Di Setiabudi kami isi bahan bakar karena jarum penanda bahan bakar di motor mulai mendekati tanda E. Dari sinilah kami berpisah. Aku ke arah Cimahi bersama Angie dan sisanya terbagi dua, ada yang ke Kedai Preanger terlebih dahulu dan ada yang langsung ke rumah masing-masing.

Sudah jam 24.00. makin lama udara makin terasa dingin. Ah, aku lupa belum pakai baju!

Iklan

5 pemikiran pada “Pengalamanku Ikut Ngaleut Gunung Hejo

  1. Ping balik: Berbuatlah Untuk Bumi Kita Yang Tua | Dunia Aleut!

  2. Ping balik: Catatan Perjalanan: Ngaleut Gunung Hejo | Dunia Aleut!

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s