Aku lahir dan besar di sebuah kampung bernama Gombong, salah satu kampung padat penduduk di Kabupaten Cianjur. Selepas lulus sekolah setingkat menengas atas, aku pindah ke Bandung untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi yakni universitas. Selama hidup di perantauan banyak cerita yang aku rindukan tentang suasana kampung, terlebih di moment ramadan seperti sekarang. Rindu itu semakin menjadi, apalagi pada tahun ini satu bulan puasa aku habiskan di perantauan, keinginan untuk mudik terpaksa aku pendam karena situasi yang tidak memungkinkan akibat pandemi Covid-19.
Semasa aku masih kecil ada kebiasaan yang sering dilakukan ketika ramadan, yakni kami lebih sering bermain bersama dengan teman-teman. Selepas sahur dan sholat subuh berjamaah, biasanya aku beserta teman sepengajian janjian untuk cuci piring bersama di sebuah kulah dekat madrasah tempat kami mengaji. Kulah adalah sebuah kolam besar berisi air yang berasal dari mata air, dialirkan lewat kali kecil bernama susukan. Lalu ketika beres cuci piring, kami akan bersiap untuk pergi ke sekolah.
Namanya sedang puasa, pasti tidak asing dengan istilah ngabuburit. Ngabuburit adalah kegiatan yang dilakukan pada sore hari menjelang buka puasa, banyak hal yang tentunya bisa dilakukan. Bagi kami, kegiatan ngabuburit haruslah beragam setiap harinya agar tidak bosan.
Baca juga: Bubur Cianjur Rasa Buah Batu
Sekitar tahun 2005 saat aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar di kampungku handphone belum begitu populer, hanya segelintir orang saja yang memilikinya. Bagi kami yang tidak memiliki handpone tidak menjadi penghalang untuk saling memberi kabar dan saling terhubung satu sama lain. Kamu harus percaya, meskipun kami tidak mempunyai telepon genggam, tapi jaringan pertemanan kami cukup luas. Setidaknya kami memiliki teman dari beberapa desa di sekitar kampung kami.
Ketika kami mau bertemu dengan teman dari desa lain, kami harus menentukan tempat bertemu atau meeting point. Tak mudah untuk menentukan meeting poin di kampung, kami sedikit kebingungan, tapi akhirnya kami menemukan titik temu yang pas di mana berada di antara kampung, inilah tempatnya…
Sekilas mirip taman bukan? Eitss tapi ini bukan taman. Tempat ini sering kami sebut “Astana”. Lengkapnya, nama tempat ini adalah TPU Sirna Raga. Ya, meeting point kami adalah di pemakaman. Unik bukan? Hahah. Sirna Raga sendiri bermiliki arti raga yang hilang.

TPU Sirna Raga
TPU ini berada diantara kampung Gombong dan Muhara, sementara circle pertemanan kami saat itu lebih luas dari Gombong-Muhara, ada dari Banceuy, Kebon Jambe, hingga Cikujang, dan sekitarnya. Jadilah tempat ini yang dirasa cocok sebagai penengah lokasi di antara kami.
Biasanya kami melakukan berbagai hal di sini, seperti saling pinjam sepeda, lalu di dekat TPU ada sebuah rumah yang memiliki tepas dan saung yang cukup luas, biasanya di sana kami membuat boneka dari sarung, membuat kalung dari batang daun singkong, memutar ilalang, mencari remis di susukan yang airnya jernih, kadang sampai turun ke sawah untuk mengambil tutut.
“Ah sial! Cuma dapat keong.” Seru temanku yang setengah betisnya sudah penuh lumpur. Belum sempat mengangkat kaki dari sawah, pemilik sawah datang dan melihat dia menginjak padi yang tak berapa lama baru ditanam, alhasil bukannya dapat tutut, dia malah dapat omelan, double sial. Aku dan temanku pulang sambil tertawa dari cerita sore itu, kami langsung menuju rumah masing-masing. Di sini kami jarang membeli takjil karena uang jajan ditangguhkan alias baru diberikan ketika kami sudah berbuka puasa bersama keluarga.
Baca Juga: Mendekap Cianjur Selatan Lewat Ngaleut Citambur
Setelah berbuka puasa, biasanya aku membawa mukena ke pengajian untuk sholat tarawih, aku harus datang lebih awal untuk memastikan agar aku dan temanku mendapat tempat yang berdekatan. Tentunya ada misi tertentu yang akan kami lakukan. Setelah sholat isya, di tengah sholat tarawih, kami biasanya pergi untuk jajan. Tentu saja, kami menunggu momen yang pas, yakni ketika para jemaah sedang sujud. Kami langsung bergegas sebelum mereka sadar kalau kami sudah tak berada di atas sajadah. Biasanya kami pergi untuk membeli baslub (baso kulub atau baso yang adonannya minim daging) dicampur dengan tiktruk atau pilus, jajan gapit atau simping yang dicelup ke saus kacang encer, mie leor atau mie aci warna oren yang disiram sambal kacang, serta asoy kerupuk primadona dibulan puasa. Karena memang aku hanya menemukannya saat bulan puasa saja. Rasanya seperti cakwe versi kerupuk dipadu dengan saos yang bercampur cincangan kacang tanah dan bawang putih goreng. Asoy ini paling enak dan paling aku rindukan. Asoy pokonamah.
Setelah jajan, kami kembali ke atas sajadah. Biasanya para orangtua tidak akan memarahi kami setidaknya sampai sholat tarawih beres. Selepas tarawih beres, kami langsung bergegas pulang ke rumah masing-masing, aku pun langsung menuju kamar untuk menghindari kejadian yang tak diinginkan (diomelin).
Sekian cerita masa kecilku saat puasa. Ceritanya cukup dibaca, nakalnya jangan dituruti.
Baca artikel lainnya dari Deuis Raniarti (@deraniarti) atau mengenai catatan perjalanan lainnya