
Perkebunan Teh Dewata|© Komunitas Aleut
Oleh: Ariyono Wahyu Widjajadi (@A13xtriple)
Saya mungkin tak punya keberuntungan untuk memperoleh kemewahan berlibur ke tempat-tempat eksotis yang penuh sanjung dan publisitas, namun saya mendapat kehormatan untuk dapat ikut dalam perjalanan momotoran dengan Komunitas Aleut dan Djelajah Priangan.
Bagi saya perjalanan bersama mereka bagaikan berpergian ke Wakatobi atau Bali. “Semua rasa hanya ada dalam pikiranmu,” begitu ujar orang yang paling dituakan di Komunitas Aleut pernah berkata. Maksudnya mungkin kita sendiri yang dapat memberi arti bagi perjalanan dan pengalaman yang kita dapatkan. Entah itu hanya berpergian menelusuri sudut-sudut Priangan atau pergi berpesiar ke Lombok sana. Ya, bagi saya semua perjalanan adalah kemewahan yang tak pernah putus saya syukuri. Bila harus menjalani kembali, semua sama istimewanya dengan pengalaman yang pertama.
Seperti perjalanan hari Sabtu yang baru saja berlalu. Ini adalah usaha kedua kami untuk dapat mencapai Perkebunan Teh Dewata. Usaha pertama hanya rampung setengahnya karena waktu yang berkehendak lain. Saya tau momotoran kali ini akan membutuhkan kesabaran dan kepasrahan yang berlipat-lipat. Saya sempat melihat kondisi jalan yang harus dilalui untuk dapat mencapai Dewata saat mengantar seorang kawan memompa ban motornya yang kempes di Kampung Mandala, peradaban terakhir menuju perkebunan teh yang akan kami tuju, pada perjalanan yang pertama. Setidaknya ada jarak kurang lebih 18 km jalanan berbatuan yang harus dilalui.
Memang ujian beratlah yang nyatanya kami harus hadapi dengan tabah tanpa kenal lelah. Medan berat jalanan makadam yang menguras tenaga serta berbagai masalah harus kami hadapi.
Kejadian buruk pertama hadir jauh sebelum kami melalui jalanan rusak di tengah hutan. Justru saat jalanan masih terbilang mulus dan bagus, seorang kawan tersungkur beserta teman yang diboncengnya di setengah perjalanan menuju Ciwidey. Tepatnya di daerah Ranca Goong. Reputasi kawan kami yang terkenal sebagai pengemudi handal ternoda sudah. Karena berada di urutan paling belakang, saya tak mengetahui persis apa penyebab kawan tersebut tersungkur mencium aspal jalanan dengan mesra. Sekilas tampak kondisinya parah, kawan lain yang beberapa bulan lalu rambutnya masih gondrong, bersiap-siap memberikan nafas buatan. Tapi, sebelum hal itu terjadi, kawan yang menjadi korban bangkit dari posisi sujudnya.
Korban yang terluka lalu dirawat oleh beberapa kawan perempuan. Seorang kawan menunjukan sikap keibuannya dengan telaten merawat yang cedera. Bila saat ini sedang dalam masa revolusi fisik, kawan perempuan tadi pasti akan menjadi perawat yang bertugas mengobati pejuang yang terluka. Tak menutup kemungkinan pejuang tadi berasal dari tanah seberang, misalnya dari Sulawesi, dan mereka saling suka tapi tak menjadi kenyataan.
Perjalanan kemudian dilanjutkan lagi setelah berhenti cukup lama untuk menyembukan luka, terutama luka harga diri, alias malu. Sakit fisik mungkin tak seberapa, tapi reputasi sudah kadung ternoda. “Kalian suci, aku pengemudi yang ternoda,” mungkin seperti itulah yang terlintas dalam benak kawan yang celaka tadi. Penumpang yang tadinya dibonceng dipindahkan ke motor lain yang dikemudikan oleh pemuda penulis esai masalah Korea dari Bojongkunci.
Tak ada peristiwa lain lagi yang cukup berarti sampai ke Panundaan, Ciwidey. Hanya ada satu kejutan yang cukup menyenangkan, yaitu jalanan rusak di sekitar Desa Alam Endah sudah diperbaiki sehingga waktu tempuh hingga pos penjagaan perkebunan Rancabolang menjadi lebih singkat.
Daerah Samara ini kembali jadi tempat yang dipujikan untuk menjadi tempat berfoto. Berbagai gaya dan pose kemudian diumbar di kebun teh ini. Sebagian mengisi perut dan tenaga serta mempersiapkan jiwa raga untuk mengarungi jalanan rusak nan abadi.

Perhentian pertama di Perkebunan Teh Rancabolang. | © Komunitas Aleut
Akhirnya memang kesabaran dan tenaga berlipat ganda diuji benar sejak melewati kampung Mandala. Beberapa kali kami harus berhenti untuk berfoto dan mengembalikan tenaga terutama tangan yang harus menahan beban bantingan motor saat menghajar jalanan makadam.

Dua lokasi favorit dalam perjalan menuju Dewata. | © Komunitas Aleut
Kemudian ada jalanan tertutup kabut yang penuh dengan sulur pohon kihujan serta curug kecil tepi jalan jadi tempat menangkap gambar. Mungkin ada yang berharap, siapa tahu berfoto dengan latar belakang curug para bidadari yang turun mandi dari kahyangan dapat terabadikan dengan cantik dalam gambar. Tapi bisa juga bukan gambar para hyang yang cantik jelita yang terperangkap dalam foto tapi justru guriang penunggu curug.

Saung dan viewpoint di jalur perjalanan yang menjadi perberhentian kesekian kalinya sebelum mencapai Dewata. | © Komunitas Aleut
Jalanan yang terus menurun kemudian memakan korban selanjutnya, yaitu kuda besi tunggangan saya yang beberapa kali mati entah mengapa. Beberapa kali pula mesin motor bisa dinyalakan kembali, namun saat berada di tengah hutan, mesin motor mati dan tak mau kembali hidup. Baru setelah menunggu beberapa saat ditemani oleh empat orang kawan yang menggunakan dua motor akhirnya mesin motor buatan negeri matahari terbit ini kembali jalan.
Saat berhenti di tengah hutan sebenarnya muncul masalah lain. Motor sport yang ditunggangi seorang pembaca berita televisi pemerintah cabang Bandung bannya gembos. Hanya karena ban motornya menggunakan sistem tanpa ban dalam alias tubeless maka motornya masih bisa dikendarai sembari berharap ada tambal ban di kampung terdekat.
Motor tunggangan saya akhirnya menyerah dan berhenti total saat mencapai Kampung Datar Kiara, kurang empat kilometer saja dari tujuan utama, Perkebunan Dewata. Saat itu saya tengah membonceng kawan perempuan yang aslinya berasal dari Bekasi. Sebelumnya ia dibonceng oleh pengendara perempuan yang merupakan kordinator Aleut saat ini.
Saatnya ahli listrik yang mindahrupa jadi montir dadakan beraksi. Jika diperkerjaan nyata tugasnya mencegah agar tak terjadi hubungan arus pendek, kali ini justru dia sengaja membuat korsleting batere motor dengan tujuan mengisi daya. Ajaibnya, setelah ada percikan listrik semua kembali berjalan normal. Namun fairing motor yang terlanjur dipreteli jadi masalah baru ketika harus dipasangkan kembali ke tempatnya berada semula.
Rombongan di depan yang sudah lebih dahulu meneruskan perjalanan kembali agak tertahan saat seorang kawan lulusan sastra Inggris UPI kakinya terluka dan berdarah dimangsa kerikil-kerikil tajam jalanan.
Lebih tepatnya bukan kerikil tapi batu. Kata kerikil mengingatkan saya pada film besutan Drs. Sjumandjaja seperti jika melihat kabut yang otomatis akan mengembalikan kenangan pada film “Kabut Sutera Ungu.”

Saat memperbaiki motor yang bermasalah dengan daya listrik |© Komunitas Aleut

Saat seorang kawan membantu kawan lainnya yang terluka kakinya akibat terjatuh dari motor. | © Komunitas Aleut
“Butuh sebuah musibah agar tempat ini mendapat perhatian penuh,” begitulah inti obrolan seorang kawan dengan bapak penghuni kampung Kiara Datar. Saat longsor besar terjadi sekitar tahun 2010, tempat di antah berantah ini seolah-olah kembali berada di peta. Pejabat daerah yang datang menggunakan transportasi udara melewatkan semua kesenangan melewati jalanan berbatu sejauh kurang lebih 17 km dari pintu masuk perkebunan Rancabolang atau daerah Samara. Mungkin karena tak ada pengalaman seru tadi dalam benak mereka jalanan ke lokasi bencana ini mulus saja karena banyak orang yang datang memberikan pertolongan dan seketika Dewata jadi kota. Ketika semua orang sudah pulang, tempat ini juga kembali ke kondisi semula yang dilupakan. Jalan tak pernah diperbaiki mungkin sejak tahun 1932 saat Perkebunan Dewata berdiri.
Seandainya jalan ke Perkebunan Dewata ini terkoneksi dengan jalan lintas Gambung-Pangalengan yang telah diperbaiki hingga ke tengah hutan di kaki Gunung Tilu di sebelah barat, ceritanya tentu akan beda. Namun ada hikmah lain dibalik keterpecilan tempat ini. Sekitar tujuh ratus penghuni kawasan perkebunan seluas 60 ha ini mau tak mau harus beradaptasi. Transportasi publik mereka bangun sendiri dengan sistem patungan.

Elf milik koperasi warga Kampung Dewata. | © Komunitas Aleut
Di kampung ini ada truk dan elf milik koperasi yang menghubungkan warga dengan peradaban luar. Elf berwarna hijau terang dengan badan kendaraan yang dilukis pemandangan kampung halaman lengkap dengan gambar pergunungan yang disaput kabut serta Pabrik Teh Dewata ini saya saksikan ketika datang ke pos jaga pabrik untuk meminta pertolongan angkutan truk untuk mengangkut motormotor kami. Dengan tulus mereka memberikan uluran bantuan setelah kami jelaskan bahwa harus pulang malam itu juga dan dengan terpaksa melewatkan tawaran yang menarik untuk menginap di mess perusahaan.
Satu truk yang siap nyatanya tentu saja tak mampu menampung tiga belas motor berbagai merk. Terpaksalah dipilih hanya kendaraan roda dua ringkih yang naik ke bak belakang truk ditambah beberapa kawan perempuan dan yang terluka dalam perjalanan. Sisanya mendapat kehormatan untuk merasakan perjalanan malam menghajar jalanan berbatu yang menanjak. Saat seperti ini semua anggota rombongan dipaksa untuk bekerjasama, dan tanpa disadari kebersamaan yang kuat pun tercipta. Seperti saat menaikkan empat motor yang adegannya sudah mirip dengan ketika tentara Amerika mendirikan bendera mereka di puncak Gunung Suribachi di Pulau Iwo Jima pada PD II.
Dalam perjalanan pulang, saya memperoleh kepercayaan untuk membonceng seorang kawan yang baru kali ini ikut momotoran bersama Komunitas Aleut. Motor saya yang akan berusia satu dasawarsa bulan Juni nanti adalah salah satu yang berada dalam truk. Jadi untuk perjalanan malam melintasi hutan saya mengendarai motor milik kawan yang saya akan bonceng. Motor baru milik seorang kawan perempuan yang saya bonceng ini usianya terpaut sepuluh tahun dari tunggangan keseharian saya dan sangat memberikan kenyamanan karena ringan dan menggunakan teknologi terbaru. Namun karena masih anyar dan milik orang lain saya jadi sangat berhati-hati agar motor ini tak menghajar batuan yang ternyata sangat mustahil untuk dilakukan.
Sepanjang perjalanan saya membuka obrolan dengan kawan putri ini yang baru saja menyelesaikan pendidikannya dengan jurusan yang sama saat dulu saya kuliah. Dan ternyata kami tinggal masih dalam kawasan yang sama di Bandung Timur. Dialog tanya jawab saya lakukan untuk mengusir kantuk dan agar pikiran tak menciptakan bayangan ilusi yang akan bikin ngeri. Ini mengingatkan pada keadaan yang sama saat usaha mencapai Dewata yang pertama. Saya mencoba mengajak ngobrol kawan perempuan yang dibonceng. Dan ternyata obrolan ini sedikit mengusir sakit kepala yang dideritanya. Obrolan biasa ternyata bisa juga menyelamatkan.
Dalam perjalanan pulang dari antah berantah ini saya bertanya kepada tiga orang kawan perempuan yang bergantian mengisi jok belakang tentang keinginan mereka untuk menikah. Jawabannya berbeda-beda dan itu cukup saya saja yang mengetahuinya.
Pesan singkat dari Bapak masuk ketika rombongan suddah tiba di Panundaan. Isinya: “Aa ati-ati hujan. Di mana?” Seketika saya kembali jadi seorang anak. Sebelumnya, saya melihat Abang memberikan kabar ke orang tua seorang kawan arsitek cantik yang menanyakan kabar buah hatinya. Beberapa kawan lain juga sibuk memberikan penjelasan ke orang tua masingmasing. Tak peduli setua apapun usia biologis seseorang, bagi orang tua kalian tetap jadi anaknya sampai kapan pun. Perjalanan pulang dilanjutkan
dengan tujuan kembali ke pelukan orang-orang terkasih. Dalam basah dan ketabahan yang tinggal setengah semua pulang dengan membawa kisah perjalanan yang indah.
* * * * *
Baca juga artikel lainnya dari mengenai catatan perjalanan
(komunitasaleut.com – alx/upi)