“Spirit” Max I. Salhuteru dari Sinumbra-Sperata

“Spirit” Max Salhuteru dari Sinumbra-Sperata

Max I. Salhuteru | Photo Komunitas Aleut

Oleh: Ariyono Wahyu Widjajadi (@alexxxari)

Seperti sudah jadi sebuah kewajiban atau fardhu setiap rombongan khafilah musyafir Komunitas Aleut berkelana ke Sperata-Sinumbra, Ciwidey, selalu singgah ke kue balok Bah Ason. Nama lengkapnya Sonbahsuni, letaknya jongkonya di pinggir pasar dekat perempatan Pabrik Sinumbra dengan jalan ke arah Perkebunan Nagara Kana’an. Jadi bukanlah fardhu ain atau fardhu kifayah tapi fadhu Bahsuni lebih tepatnya.

Di sebrang jongko kue balok Bah Ason terdapat sebuah mesjid yang pada dindingnya terpasang dua prasasti. Prasasti yang paling besar merupakan prasasti pendirian mesjid. Di sana tertulis beberapa nama yang telah berjasa dalam pendirian Mesjid. Namun yang paling menarik adalah terdapat satu nama yang rasanya bukan nama orang sunda, yakni Max I. Salhuteru.

“Spirit” Max Salhuteru dari Sinumbra-Sperata

Plakat di Mesjid Sinumbra | Photo Komunitas Aleut

Selain namanya tertulis pada prasasti di dinding Masjid. Nama Max I. Salhuteru tertulis dan digambarkan dalam sebuah patung dada yang terletak di sebuah rumah yang dulunya merupakan R.S. Perkapen. Bekas rumah sakit ini sekarang digunakan untuk Sekolah Menengah Pertama Perkapen dan Pusat kesehatan.

Terletak di halaman samping bangunan, patung dada Max I. Salhuteru dengan kondisi yang memprihatinkan, terkadang ditemui dengan warna yang berganti-ganti, kadang warnanya norak, kadang hanya warna hitam saja. Tangan-tangan jahil sering kali iseng menumpahkan cat ke badan patung ini. Lain waktu, bahkan pagarnya jatuh menimpa patung malang ini. Sungguh sangat disayangkan.

“Spirit” Max Salhuteru dari Sinumbra-Sperata

Patung Dada Max I. Salhuteru | Photo Komunitas Aleut

Melihat nama keluarganya tentu saja Max I. Salhuteru bukan berasal dari suku Sunda. Menurut penduduk sekitar, Max Salhuteru adalah seorang Indo, dan bangunan itu adalah rumah kediamannya dahulu. Sangat sedikit kisah mengenai sosok ini, bila mencari di mesin pencari informasi, yang muncul adalah sebuah kutipan dari Majalah Sunda Mangle mengenai sosok seorang administratur yang sangat memperhatikan budaya di tanah perkebunannya. Ia tak jarang memanggil seniman Sunda untuk memaparkan kisah dalam karya seni seperti lagu yang sangat terkenal di lingkungan perkebunan yaitu, “Deungkleuk Dengdek” buah kopi raranggeuyan.

Orang-orang yang bukan suku Sunda tapi jatuh hati dan menaruh perhatian besar pada budaya Sunda mengingatkan pada kisah-kisah para juragan kebun yang melegenda di Priangan pada era kolonial. Holle bersaudara contohnya, Adriaan Walraven Holle adalah administratur di Perkebunan  Parakan Salak, Sukabumi, yang piawai menggesek rebab dan memiliki perangkat gamelan lengkap dengan para pemain/nayaga yang merupakan buruh dikebunnya. Kelak gemelan Sari Oneng miliknya mengharumkan nama perkebunannya di pameran-pameran mancanegara, mulai dari Paris, Perancis, Amseterdam, Belanda hingga Chicago, Amerika.

Anak tertua keluarga Holle, Karel Frederik, sang pemilik Perkebunan Waspada di Selatan Garut, sangat memperhatikan segala aspek adat istiadat setempat, mulai dari bahasa, dokumentasi peninggalan sejarah, hingga budaya pertanian. Holle dikisahkan berlaku tak ubahnya sebagai seorang muslim, tak minum minuman keras, tak makan daging babi. Pendek kata mereka berlaku layaknya orang setempat, yang membuat mereka dekat tak berjarak dengan penduduk pribumi. Sama seperti Max I. Salhuteru, administratur Kebun Rancabali yang dikisahkan pandai memetik kecapi dan berbicara bahasa Sunda sehalus orang Sunda asli.

Baca juga : Peran Karel Frederik Holle dalam perkembangan literasi sunda

Mungkin karena merasa dekat dan senasib sebagai sesama anak bangsa yang membuat Max I.  Salhuteru kemudian ikut dalam usaha mengambil alih aset-aset perkebunan milik asing, khususnya Belanda, pada tahun 1957. Saat itu konflik untuk merebut Papua Barat dari tangan Belanda sedang memuncak dan negara dinyatakan dalam keadaan darurat perang/SOB. Max I. Salhuteru yang saat itu menjabat sebagai Pengawas Penanaman dan administrasi di Perkebunan Sinumbra/Sperata bersama dengan 3 orang staf pribumi perkebunan lainnya ditunjuk oleh pejabat militer setempat untuk melakukan pengambilalihan.

“Spirit” Max Salhuteru dari Sinumbra-Sperata

Perkebunan Teh di Ciwidey | Photo Komunitas Aleut

Tanggal 10 Desember 1957, M.I. Salhuteru dari Sinumbra, H. A. Djuhana Sastrawinata dari Panglejar, Cikalong Wetan, R. H. Pandji Natadikara dari Dayeuhmanggung, Garut, dan H. Kurnadi Syarif Iskandar dari Malabar/Tanara dipanggil menghadap ke kantor Resimen Infanteri X Siliwangi yang bermarkas di Tegallega untuk menerima surat perintah yang ditandatangani oleh Letkol R. Umar Wirahadikusuma. Segera setelah menerima surat perintah tersebut, keempat orang ini melakukan pengambilalihan. Setiap tanggal 10 Desember kemudian diperingati sebagai hari perkebunan.

Tak mudah memang melakukan negosiasi dengan para atasan yang notabene adalah orang asing. Namun kemudian semua perkebunan di Priangan mampu diambil alih dan keempat orang tadi diberi kuasa untuk memimpin wilayah tugasnya masing-masing sesuai dengan asal perkebunan mereka masing-masing. Setelah proses nasionalisasi, kerja belumlah usai. Kebun yang terlantar karena gangguan kemanan dari gerombolan DI-TII, serta perebutan pengaruh antara serikat buruh Persatuan Karyawan Perkebunan dengan Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (Sarbupri) di bawah PKI sudah mulai terjadi. Max Salhuteru harus mengawal jalannya pengambilalihan dan operasional perkebunan di daerah Ciwidey dalam masa perubahan besar ini.

Mungkin kita lebih mengenal kisah para Preangerplanters yang menjadi mahsyur karena tanah perkebunannya di Priangan yang sering membuat lupa bahwa ada sesama anak bangsa yang memperjuangkan nasionalisasi perkebunan-perkebunan ini kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi seperti yang telah dilakukan oleh Max I. Salhuteru dkk. Jasanya mungkin hanya jadi bayang-bayang para tuan kebun Belanda.

“Spirit” Max Salhuteru dari Sinumbra-Sperata

Makam Max I. Salhuteru | Photo Komunitas Aleut

Max dimakamkan di kawasan perkebunan yang sepanjang hayat diperjuangkannya. Seperti R.E. Kerkhoven yang dimakamkan di bawah lebatnya hutan rasamala di Perkebunan Teh Gambung dan K.A.R. Bosscha “Sang Raja Teh” yang dipusarakan di “leuleuweungan” (hutan kecil buatan) Malabar. Max Salhuteru disemayamkan di bawah pohon besar di Perkebunan Rancabali yang merupakan bagian dari Perkebunan Sinumbra-Sperata.

Sebuah jalan masuk yang ramai ke tempat pelesir yang kekinian, berada tak jauh dari kuburan Max I. Salhuteru yang sepi. Sesepi perhatian pada jasanya mengIndonesiakan perkebunan teh di Priangan. (alx/upi)

Baca juga artikel menarik lainnya mengenai tokoh

Iklan

5 pemikiran pada ““Spirit” Max I. Salhuteru dari Sinumbra-Sperata

  1. Ping balik: Satu Klan Ambon di Perkebunan Priangan | Dunia Aleut!

  2. Ping balik: Kecintaan Max Salhuteru Terhadap Budaya Sunda & Keluarga Sinumbra | Dunia Aleut!

  3. Duh segitunya perhatian kepada Pejuang Perkebunan di Indonesia [Jawa Barat], semoga masih tersisa secelah kecil sekalipun untuk memperhatikan Perjuang perkebunan seperti Pak Max ini… dari pejabat-pejabat yang kini sedang menikmati hasil kerja keras Pak Max… semoga!

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s