“Saya lahir di Sinumbra, ditolong bidan dari Ciwidey.”
Johana Ellisye Salhuteru atau yang lebih akrab disapa dengan Bu Lisye memulai kisahnya. Melanjutkan beberapa cerita tentang Max Salhuteru terdahulu, kali ini bukan lagi Bu Lia (Camellia Salhuteru) tapi Kakaknya, Ibu Lisye, anak kedua Max Izaak Salhuteru, yang menuturkan pengalamannya.
Tanggal 6 Maret 2020 lalu, siang hari selepas shalat Jum’at, Komunitas Aleut kembali ziarah ke makam Max Salhuteru di Rancabali, Ciwidey. Hari itu Keluarga Salhuteru membuat kenduri kecil pendirian patung Max Salhuteru di pusaranya. Sehari sebelumnya Fitri Salhuteru, salah satu cucu Pak Max yang terkenal sebagai figur sosialita di Jakarta, sudah mendahului datang ziarah sekaligus shooting untuk sebuah acara reality show. Semoga akan banyak lagi orang yang mengenal dan mengetahui sepak terjang Max Salhuteru di bidang perkebunan.
Kesempatan seperti ini tentu saja dipergunakan oleh Komunitas Aleut untuk kembali menggali kisah Keluarga dari Sinumbra ini.

Max Salhuteru di Tjagar Alam Telaga Patengan (Foto: Keluarga Max Salhuteru)
Max Salhuteru dan Akar Sundanya
Salhuteru adalah salah satu nama keluarga Maluku yang berasal dari Pulau Bacan. Namun seorang Max Salhuteru adalah orang Maluku yang dituturkan sangat nyunda. Max Salhuteru sangat fasih bercakap dalam bahasa Sunda, mampu membuat alat musik kecapi, dan menguasai beberapa kesenian Sunda.
Tentu hal tadi memunculkan sebuah pertanyaan apa yang menjadi latar belakang seorang Max Izaak Salhuteru, mengidentifikasi dirinya sebagai orang Sunda dengan tidak melupakan akar Malukunya?
Bila mencermati kisah bangsa lain yang kemudian mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Sunda dalam lintasan sejarah, kita kemudian diingatkan pada sosok seperti Karel Frederik Holle, yang menemukan akar Sunda-nya ketika menjadi pegawai tingkat menengah di ibu kota Karesidenan Priangan saat itu, yaitu Cianjur. Obsesi akan Kesundaan terus dikejar Holle ketika memutuskan untuk menjadi pengelola perkebunan di Garut. Minat Holle pada segala hal berbau kebudayaan, terutama budaya Sunda, kemudian mengantarkannya menjadi penasihat kehormatan Hindia Belanda untuk urusan pribumi.
Artikel Populer: Satu Klan Ambon di Perkebunan Priangan
Lalu bagaimana dengan Max Salhuteru? Semuanya dimulai dengan sebuah tragedi, Max kecil harus kehilangan Ibu tercintanya, seorang perempuan Belanda, yang meninggal usai melahirkan Adik perempuannya. Saat Max Salhuteru berusia sekitar 7-8 tahun, ayahnya, Carel Willem Salhuteru menikah kembali dengan seorang perempuan Sunda bernama Rasmaya. Keluarga Salhuteru lalu pindah dari Batavia ke kampung asal Rasmaya di Babakan Pari daerah Cicurug, Sukabumi. Dari Sukabumi inilah perkenalan Max Salhuteru dengan kebudayaan Sunda dimulai dengan sangat intens.
Ibu Lisye bercerita ketika ia masih kecil sempat menyaksikan bagaimana ayahnya belajar segala hal tentang Sunda di Sukabumi, seperti belajar meniup suling Sunda, menari, hingga fasih berbahasa Sunda. Hidup ditengah-tengah orang Sunda inilah yang kemudian selalu membekas dalam ingatan seorang Max Salhuteru, saat-saat mandi di mata air Ciburial, saat belajar meniup seruling pada kawan sebayanya yang kemudian menjadikan seorang dengan latar belakang Maluku menjadi orang Sunda.

Max Salhuteru ketika berpidato di Sinumbra (Foto: Keluarga Max Salhuteru)
Suka Duka di Sinumbra
Setelah menyelesaikan pendidikan hingga tingkat menengah di Sukabumi, Max Salhuteru melanjutkan sekolah ke HBS Santa Angela, Bandung. Selanjutnya, kehidupan seorang Max Salhuteru tak pernah jauh dari Bandung.
Selepas menyelesaikan pendidikannya, Max Salhuteru merintis karir di bidang perkebunan dan memulai pekerjaannya sebagai pegawai biasa sampai akhirnya dapat mencapai posisi tertinggi di Perkebunan Sinumbra. Tentu saja perjalanan karir ini dibangunnya dengan penuh kerja keras dan perjuangan. Salah satu jasa Max Salhuteru yang akan selalu dikenang adalah keterlibatannya dalam merebut perkebunan dari tangan Para Tuan Kebun Belanda.
Tak cuma karir yang kemudian dibangun oleh seorang Max Salhuteru di tengah Perkebunan Teh Sinumbra-Sperata di Ciwidey, ia juga mulai membina keluarga di tempat itu. Maka tak terlalu mengejutkan jika kemudian Ibu Lisye, mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Sinumbra. Mungkin jika Max Salhuteru mengenang masa kecilnya di Sukabumi, maka bagi anak-anaknya, seperti Ibu Lisye, seluruh daerah di Perkebunan Sinumbra yang mengisi ingatan masa kecil mereka.
Artikel Populer: “Spirit” Max I. Salhuteru dari Sinumbra-Sperata
Kenangan akan kawan-kawan sepermainan Bu Lisye di lingkungan Perkebunan Sinumbra sama dengan ingatan karib Max Salhuteru di Babakan Pari, Sukabumi, yang mengajarkannya memainkan seruling dan berbahasa Sunda. Melalui penuturan Bu Lisye, setiap kali Max Salhuteru mudik ke Sukabumi ia akan mencari kawan sepermainannya dulu.
Kehidupan di perkebunan tak melulu tentang kenangan indah bagi Keluarga Salhuteru tetapi tentu ada pula masa-masa sulit, seperti ingatan akan masa rawan keamanan yang diakibatkan oleh pemberontakan DI/TII di Jawa Barat pada akhir tahun 1950-an. Masih tegas dalam ingatan Bu Lisye, bagaimana suasana mencekam dan kengerian yang muncul ketika hari sudah beranjak sore. Kesunyian segera menyergap seluruh perkebunan di daerah Ciwidey. Tak ada lagi yang berani berpergian karena gerombolan kerap menghadang di daerah Tarengtong. Warga Perkebunan Sinumbra akan berkumpul di satu tempat khusus yang telah dijaga oleh tentara. Perkebunan Sinumbra cukup beruntung tak pernah sampai habis dibakar seperti yang terjadi pada Perkebunan Nagara Kanaan.
Persahabatan dan Kekeluargaan di Sinumbra
Masa-masa sulit dan penuh perjuangan serta kerja keras membawa hikmah bagi Keluarga Salhuteru untuk bisa dekat dengan keluarga pegawai Perkebunan Sinumbra. Masa penuh kerja keras selepas nasionalisasi perkebunan menuntut seluruh pegawai bisa meneruskan usaha perkebunan selepas orang-orang Belanda pergi. Salah satu usaha yang dilakukan oleh Max Salhuteru adalah memberikan perhatian kepada buruh di Perkebunan Sinumbra.
Masih menurut penuturan Ibu Lisye, Papi-nya sering sekali memberikan perhatian kecil setiap kali berkunjung ke pelosok Perkebunan Sinumbra. Terkadang hanya dengan mengajak para buruh pemetik teh untuk menikmati jajanan seperti bajigur. Penjual bajigur secara sepontan dipanggil oleh Pak Max agar membuatkan bajigur untuk mereka yang sudah seharian bekerja keras memetik teh. Sering kali Pak Max mengajukan pertanyaan-pertanyaan sederhana, seperti: “Bagaimana penghasilan, cukup?” atau “Ada kesulitan apa?” bagi para pegawai yang tanpa disadari sebenarnya memberikan perhatian.
Berbagai bentuk perhatian Max Salhuteru kepada para pegawainya telah mendekatkan keluarganya dengan keluarga para pegawai perkebunan. Bahkan kemudian kedekatan tersebut melahirkan pertemanan layaknya persaudaraan yang berlanjut hingga ke generasi berikutnya. Hal ini dibuktikan dengan kehadiran anak-anak dari keluarga pegawai Perkebunan Sinumbra yang turut hadir dalam acara selamatan pendirian patungnya.
Salhuteru memang nama keluarga dari Kepulauan Maluku. Namun Keluarga Max Salhuteru mempunyai akar kesundaan yang kuat, dimulai dari Sukabumi dan kemudian larut menjadi orang Sinumbra.
Baca artikel lainnya dari Ariyono Wahyu Widjajadi (@A13xtriple) atau mengenai Perkebunan Priangan