
Toko Sidodadi | Photo by Gifar Ramzani
Oleh : Gifar Ramzani (@gifarramzani)
Ngaleut adalah kegiatan rutin dari Komunitas Aleut yang dilaksanakan setiap hari minggu. Kegiatannya berupa tur dengan berjalan kaki, menyusuri beragam bangunan dan lokasi yang bersejarah di Kota Bandung yang tiap minggunya tersebut memiliki tema yang berbeda-beda. Dan foto di atas adalah titik terakhir yang kami kunjungi dari kegiatan ngaleut dengan tema kuliner hari minggu kemarin.
Seperti yang terlihat dalam gambar, Toko Sidodadi terletak di Jalan Otista nomor 255 dan merupakan toko kue dan roti yang juga menyediakan beragam camilan-camilan tradisional. Katanya, toko ini telah ada sejak tahun 1960-an. Harganya murah. Dari yang saya lihat di etalase kaca, satu potong roti berkisar antara Rp. 4.000. – Rp. 7.000. Rasanya enak dan cukup tebal sehingga cukup mengenyangkan. Saya mencoba masing-masing satu yang isinya coklat dan vla. Dan apa yang membuat unik lagi salah satunya adalah karena kemasan bungkusnya yang menyertakan himbauan KB (Keluarga Berencana) dan untuk membuang sampah pada tempatnya. Dalam sesi sharing setelah kegiatan ngaleut selesai, salah satu perserta menyampaikan bahwa keunikan dalam bungkus tersebut kemungkinan berkaitan dengan sebuah pepatah dalam bahasa sunda, yaitu “Bandung heurin ku tangtung” yang jika saya artikan secara umum adalah “Bandung sesak oleh manusia”. Maka dari itu, dalam bungkus terdapat himbauan untuk ber-KB agar populasi terjaga dan tidak terlalu banyak manusia sehingga Bandung tidak akan se-heurin yang dikira dalam pepatah tadi. Sedangkan himbauan untuk membuang sampah pada tempatnya adalah antisipasi jika pada akhirnya “Bandung heurin ku tangtung” tadi terjadi, terbayang akan berapa banyak sampah yang tercipta dibanding populasi yang mungkin terjaga jika himbauan KB ditaati. Meski sebenarnya, toh, baik heurin ku tangtung dan penuh sampah itu, akhirnya, terjadi juga di Bandung kini.
Foto diambil dari https://myeatandtravelstory.wordpress.com/2016/04/24/toko-roti-sidodadi-yang-legendaris-dan-laris-manis-bandung/
Apa yang istimewa lainnya dari Sidodadi ini adalah meski sudah buka lebih dari 50 tahun, Sidodadi tetap ramai dikunjungi. Ini terbukti dari ketika kami datang pun sebenarnya Sidodadi belum buka. Itu terlihat dari pintu yang masih ditutup. Namun pembeli tetap diperbolehkan masuk dengan jumlahnya yang dibatasi. Sampai akhirnya, toko pun di buka dan membludak seperti terlihat dalam gambar di atas tadi.
Nah, apa yang menarik dan ingin coba saya sampaikan adalah, setibanya saya di Sidodadi yang masih tutup tadi tersebut, seketika, saat itu juga, saya langsung teringat sebuah thread tweet dari @yoyen sekitar bulan Mei tahun lalu yang membahas mengenai banyaknya “kue orang terkenal” (begitu beliau menyebutnya dibanding menggunakan kata “kue artis”) di banyak daerah yang jadi fenomena. Bagaimana mereka ingin membuat citra agar produk mereka menjadi oleh-oleh khas dari sebuah daerah dengan membubuhkan nama daerah tersebut di dalamnya. Padahal, saya setuju seperti yang @yoyen bilang, “Mbok ya respek dikit ke kuliner orang, bukan cuma makanan doang ini. Ada sejarahnya dan sebabnya.” Ini yang kemudian membuat saya membanding-bandingkan antara Sidodadi dan kue-kue artis yang dimaksud.
Seperti kue Napoleon Medan, misalnya. Menurut @yoyen di dalam kicauannya, kue ini berasal dari Perancis dan memiliki nama asli Mille-feuille. Resep pertamanya dibuat oleh seseorang dengan nama François Pierre de La Varenne pada tahun 1651. (Ini sedikit agak teknis sehingga saya pun tidak terlalu begitu mengerti) Arti dari Mille-Feuille sendiri adalah ribuan lapis. Jenis pastry dan bukan gabungan dengan cake seperti yang ada pada Napoleon Medan. Ada perbedaan mendasar antara pastry dan cake. Dan Napoleon Medan malah justru menggabungkan keduanya. Sehingga, “Gw ngga tahu kalo perhimpunan patissier Perancis denger tentang cake Napoleon khas Medan, mungkin mereka ngamuk kali. Waktu Cronutnya Dominique Ansel keluar, perhimpunan pastissier dan baker Perancis ngamuk loh. Penistaan kultur mereka bilang.” Begitu kata @yoyen.
Hal ini kemudian juga mengingatkan saya pada satu kalimat dari tulisan milik A. Kurniawan Ulung di The Jakarta Post dalam reviewnya tentang buku Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia karya Fadly Rahman (saya pun menemukan tulisan A. Kurniawan Ulung tersebut dari web beliau -Fadly Rahman bukan A. Kurniawan Ulung- http://www.sejarahmakanan.com). Kata Kurniawan, “It seems that Indonesian people react emotionally when it comes to claims over the origins of food.” Kalimat ini muncul sebagai kesimpulannya dari dua kejadian yang ia paparkan lebih awal dalam tulisannya tersebut ketika sebagian orang Indonesia “marah-marah” karena tidak terima ketika makanan yang mereka anggap asli Indonesia malah dianggap dan diklaim sebagai makanan asli dari negara lain baik oleh orang asing atau orang dari negara yang mengklaim makanan tersebut.
Kejadian pertama yang dicontohkan Kurniawan adalah kicauan Rio Ferdinand pada bulan Juni tahun 2016 ketika ia mengunggah foto dirinya yang sedang memamerkan sepiring nasi goreng dan seolah mengatakan bahwa nasi goreng adalah makanan lokal Singapura. Kicauan ini pun menjadi viral dan mendapat respon negatif dari sebagian orang Indonesia seperti yang telah dijelaskan tadi.
Robe game is nice!! Nasi goreng lunch.. Keeping it local in #Singapore pic.twitter.com/qSs5tH3FMK
— Rio Ferdinand (@rioferdy5) September 17, 2016
Dan kejadian kedua yang dicontohkan Kurniawan adalah ketika terjadi unjuk rasa di Kedutaan Besar Malaysia sekitar bulan Februari tahun 2015 sebagai bentuk protes karena adanya klaim lumpia sebagai makanan dari Malaysia.

(Foto diambil dari https://food.detik.com/berita-boga/d-2838191/lunpia-semarang-akan-diklaim-sebagai-milik-malaysia)
Padahal, kembali ke tulisan di The Jakarta Post tadi, menurut Fadly, setidaknya untuk nasi goreng, “There is no historical evidence that proves that this [nasi goreng] is a native cuisine to Indonesia, like nasi goreng, risottoin Italy and paella in Spain are also modified forms of pilaf. It is believed that the dish was introduced by Arabic traders in the past.” Katanya. Begitupun lumpia sebagai makanan yang merupakan perpaduan dari Tionghoa dan bukan murni asli makanan Indonesia.
Sehingga kini, seolah menjadi terbalik posisinya. Mengapa kita menjadi marah ketika makanan yang tidak terbukti benar-benar asli dari negara kita, kemudian diklaim oleh negara lain di saat kita pun nyatanya melakukan hal yang serupa? Sikap seperti ini, menurut Fadly masih dalam tulisan di The Jakarta Post, merupakan dampak dari ketidaktahuan masyarakat kita mengenai sejarah dan budaya makanan Indonesia karena adanya lack of reference mengenai hal-hal tersebut. Padahal, banyak makanan maupun minuman yang kita konsumsi saat ini merupakan hasil persilangan dari adanya interaksi banyak bangsa beserta kebudayaannya di masa lalu.
Dan memang itulah yang terjadi di masyarakat kita kini. Adanya lack of reference atau kekurangan referensi tersebut mengenai mana produk yang jauh lebih “keren”, setidaknya dalam tulisan ini mengenai Sidodadi dan kue-kue artis tadi. Mengenai mana yang memiliki nilai sejarah, dengan rasa yang tak kalah saing, apalagi harganya. Dibanding dengan produk yang jelas-jelas bukan makanan khas dari daerah yang hanya karena namanya saja tertera dalam nama produk yang bukan berarti begitu saja menjadi makanan khas dari daerah tersebut. Dan yang lebih sayangnya lagi, sekaligus agak miris, mengherankan, dan aneh, lack of reference atau kekurangan referensi tersebut seringkali terjadi hanya karena masyarakat kita yang terbuai oleh embel-embel terminologi gengsi dan kekinian itu.
Tautan Asli powerrangerbirudongker.wordpress.com
Sumber
http://www.sejarahmakanan.com/single-post/2017/02/20/Tracing-history-of-Indonesian-culinary-fare
sejarah makanan suatu bangsa adalah sejalan dengan sejarah peradaban bangsa tersebut..
betul yang paling gampang untuk mengenali suatu budaya adalah dengan memakan makanannya
Ping balik: Pentingnya Mengenal Asal Mula Sebuah Makanan – Ibnu Gifar Ramzani