Mengenal peran wanita di ruang privat dalam pendampingan perjuangan pergerakan kemerdekaan Republik Indonesia
Oleh: Puspita Putri (@Puspitampuss)
Minggu, 17 Februari 2019, pagi-pagi sekali aku bangun lalu mandi, sarapan dan melakukan kegiatan persiapan lainnya. Aku bersiap untuk pergi ke pelataran Gedung Merdeka, memenuhi janji kepada salah satu temanku dari Jakarta untuk menemaninya mem-Bandung hari itu. Satu kegiatan yang kami pilih kala itu berkaitan dengan hal yang sama-sama menarik perhatian kami, mencari inspirasi.
Dua hari sebelumnya, aku tanpa sengaja menemukan suatu poster online di media sosial, kegiatan sebuah komunitas yang sebetulnya sudah pernah aku dengar namanya sejak sekitar 4 tahun yang lalu, Komunitas Aleut, komunitas wisata sejarah yang ada di kota Bandung, setidaknya itu yang aku tau. Di poster tersebut tampak wajah seorang tokoh beserta namanya, seorang wanita sunda yang tak begitu asing lagi di telinga, Inggit Garnasih, istri kedua bapak bangsa Indonesia.

Perjalanan kami diawali dengan perkenalan setiap anggota, yang baru maupun yang lama. Yang ku ingat hanya nama pembicaranya, Teh Audi, lalu Kang Anggi, sisanya, aku lupa. Cukup banyak juga ternyata peminat kegiatan ini, dari berbagai usia, anak-anak, pemuda hingga ibu-ibu dan bapak-bapak yang sudah mulai agak berubah warna rambutnya.
Pemberhentian pertama, di jalan Ir. Soekarno, sebelah Gedung Merdeka. Disana, Teh Audi bercerita bagaimana Soekarno menjadi suami ketiga dari Inggit dan Inggit menjadi istri kedua dari Soekarno. Disana juga diceritakan bagaimana pertemuan antara Inggit dan Soekarno terjadi, kedekatan mereka hingga akhirnya pernikahan, seolah semua sudah ditakdirkan.
Aku terlarut dalam cerita sejak cerita pertama, hingga tak banyak gambar yang aku ambil dalam perjalanan ini. Setelah titik pertama, kemudian kami berjalan ke titik kedua, penjara Banceuy. Aku, orang Bandung yang hidup di kota ini sekitar 24 tahun saja belum pernah masuk kesana, merasa tidak tahu apa-apa tentang tempat yang aku tinggali. Tapi sedikit demi sedikit hal itu berubah, sejak hari itu Bandung bagiku menjadi lebih hidup. Meski telah banyak berubah, namun setiap tempat benar-benar seperti menjadi saksi sejarah, bahwa Bandung bukan hanya kota besar, tapi juga punya peran besar dalam hal-hal besar yang terjadi di negeri ini.
Baca juga: Inggit Garnasih dalam Foto Bersejarah
Di bekas penjara Banceuy diceritakan kembali bagaimana Soekarno, sosok yang tak bisa lepas dari Inggit Garnasih sebagai tokoh utama ngaleut hari itu, mulai membentuk PNI, di penjara, membuat Pledoi Indonesia Menggugat serta bagaimana Inggit dengan setia mengantar setiap perjuangannya.
Beranjak ke titik ketiga, Pendopo Walikota. Salah satu bangunan karya Soekarno sebagai seorang insinyur dari THS (sekarang ITB) dengan ciri khas palu gada di atapnya. Disana diceritakan tentang karir Soekarno serta bagaimana ia belajar, berjuang, bagaimana pergerakan perjuangan di Indonesia mulai bergejolak dengan munculnya berbagai perseteruan, juga persatuan.
Titik berikutnya Gereja Rehobot, wilayah yang pernah menjadi lokasi rumah Inggit dan Soekarno yang berpindah-pindah beberapa kali, kami hanya lewat, begitupula dengan jalan Jaksa, tempat salah satu rumah yang pernah ditinggali oleh Inggit, lalu ke jalan Pungkur, daerah dimana Inggit dan Soekarno pernah tinggal juga hingga terakhir ke rumah tinggal terakhir Ibu Inggit di jalan Ciateul (sekarang Jalan Inggit Garnasih). Dari titik ke titik diceritakan bagaimana Soekarno dan Inggit berjuang, termasuk berpindah-pindah karena Soekarno di asingkan, mulai dari Ende hingga ke Bengkulu. Di rumah terakhir pula dilengkapkan cerita yang dimulai sejak awal pertemuan yang diceritakan di titik pertama hingga akhirnya berpisah karena keteguhan hati seorang Inggit Garnasih serta beberapa kejadian setelahnya sebelum Ibu Inggit wafat.
Baca juga: Cinta dan Inggit
Sepulang dari kegiatan tersebut, banyak sekali hal-hal yang muncul di pikiranku, termasuk semakin penasarannya aku akan literatur-literatur mengenai Inggit Garnasih. Salah satu yang aku dapatkan adalah video monolog Inggit Granasih yang diperankan oleh salah satu aktris yang aku kagumi secara pribadi, Happy Salma. Dialog tersebut seolah merangkum secara garis besar cerita yang sedari pagi hingga tengah hari tadi aku dan teman-teman komunitas Aleut telusuri.
Salah satu kata-kata Inggit dalam monolog yang diperankan oleh Happy Salma tersebut yang membekas di pikiranku, “Aku adalah perempuan yang tidak memiliki peranan apapun, tapi aku ada di dalam lahirnya sejarah paling penting tanah air.” Inggit memang, tidak berperan secara langsung dalam politik dan pergerakan perjuangan Indonesia, namun tanpa Inggit maka Soekarno tak akan menjadi Soekarno yang kita kenal saat ini.
Dua puluh tahun menjadi support system untuk seorang Singa Podium bukan perjuangan yang mudah. Bukankah katanya dibalik seorang laki-laki hebat ada wanita hebat di belakangnya. Iya, dibelakang layar, mungkin samar-samar terlihat mata namun bukan berarti tidak ada. Inggit tahu, betapa Kusno (panggilan Inggit untuk Soekarno) memiliki cita-cita yang tinggi untuk memerdekakan bangsa Indonesia. Maka Inggit terlarut dalam semangatnya, terlibat di dalam perjuangannya, mendengar setiap ide dan cerita hingga keluh kesahnya, bahkan hingga menjadi penopang perekonomian keluarganya di saat-saat tertentu. Inggit, dengan tegar dan hati yang tangguh sering kali diceritakan menyembunyikan kesulitan yang dialaminya dari suaminya yang sibuk berjuang memerdekakan bangsa, menjadi sosok yang tidak ingin membebani dan merepotkan.
Dalam monolog yang diperankan Happy Salma pula, Inggit beberapa kali mengatakan “…maka aku harus pandai-pandai mengalihkan perhatiannya.” Disisi lain, Inggit juga yang melihat dan mengenal Kusno sebagai manusia yang bisa lelah dan ingin menyerah, lalu Inggit pula yang mengingatkan suaminya untuk berkata tidak, dan kembali membakar semangat yang sempat meredup di dadanya. Distraktor dan pengingat, dua peran yang harus diperankan satu orang, seorang istri, berhasil diperankan oleh Ibu Inggit dalam kehidupan Soekarno.
Seorang istri, memiliki peran yang sering kali dilupakan atau bahkan dihapuskan dalam sejarah. Padahal, bukannya para wanita yang mungkin dipandang sebelah mata hanya karena mereka berperan di ranah privasi ini lah yang terkadang menjadi pemicu semangat, pelepas lelah dan penat, pendidik anak-anak, pendukung serta pendamping setiap orang-orang hebat dalam melakukan hal-hal besar.
Kembali ke sosok Ibu Inggit sebagai contohnya, seorang istri yang mungkin tidak berpendidikan tinggi, tapi mampu mengerti apa yang harus dilakukannya dalam setiap situasi. Seorang wanita, yang mungkin tidak menguasai isi buku-buku yang ia berpuasa agar bisa ia selipkan di perutnya untuk diantar ke penjara, tapi kemudian membantu suaminya melahirkan pledoi yang mengguncang dunia. Seorang wanita yang tidak menghasilkan karya-karya besar, hanya rajutan, jamu, bedak dan rokok buatan tangan, tapi mampu membantu suaminya menyelesaikan pendidikannya.
Baca juga: Inggit Garnasih Kekasih Yang Tersisih?
Menemani, melayani, mendampingi, mencintai, menyayangi, mengasihi, mengingatkan, mendistraksi, menyemangati, berkorban, berusaha memenuhi semua kebutuhan seolah-olah hanya hal yang wajar yang tak perlu diukir dalam sejarah. Hal-hal kecil yang dilakukan wanita terkadang dianggap biasa saja, meski sebenarnya berefek sangat besar dalam perjalanannya. Ibu Inggit termasuk yang beruntung, masih bisa kita putar ulang kisahnya, namun banyak sekali wanita-wanita hebat lainnya yang luput dari pandangan sejarah. Tak apa, karena salah satu hal yang aku percaya menjadi kekuatan para wanita dalah ketulusan, berkorban tanpa pernah mengharapkan balasan.
Disamping semua inspirasi yang aku dapatkan dari seorang Inggit Garnasih yang berperan di ranah yang mungkin banyak luput dari perhatian orang, ada satu hal lain yang kisah Inggit Garnasih ajarkan kepadaku hari itu, keteguhan hati, kejujuran perasaan dan harga diri yang tinggi. “Oh candung? Ai dicandung mah, cadu,” tutur Inggit dalam salah satu literatur yang aku baca. Meski dengan penuh ketulusan dan kesulitan Inggit setia mendampingi dan mengantarkan Kusno hingga menjadi pemimpin bangsa sebelum merdeka, namun, dua tahun sebelum menjadi ibu negara, tetap saja, harga dirinya tidak bisa dibeli walau dengan istana, ia berani menerima kelemahannya dengan kejujuran atas hatinya, menolak dimadu olah suami yang 20 tahun didampinginya.
Lalu kisah Inggit mungkin memang berakhir dengan tragis, semua perjuangannya mendampingi Soekarno diakhiri sakit hati dengan dimulainya kisah cinta Soekarno dan Fatmawati, lalu Inggit berlalu, seolah tidak berarti. Namun bukan berarti tak ada yang bisa dipelajari, tak bisa jadi inspirasi.
Pada dasarnya, manusia, apapun yang dilakukannya, terkadang butuh ruang untuk melepas penat dan lelah dari tuntutan yang mengikatnya. Disadari atau tidak, terkadang ruang untuk rehat itulah yang pula melindungi mereka dari berbagai mara bahaya. Banyak yang menyebut ruang tersebut sebagai rumah dan pasangan sangat bisa menjadi tempat untuk kembali, pulang. Seperti Inggit bagi Soekarno, yang kemudian terkenal dengan quotenya “Hanya ke Bandung lah aku kembali, kepada cintaku yang sesungguhnya.”
Disclaimer: Tulisan ini hanya sebuah media berbagi pengalaman atas apa yang dialami, didengarkan, dilihat, dibaca dan terfikir oleh penulis, bukan untuk mempelajari fakta sejarah atau menghakimi peristiwa ataupun tokoh sejarah. Hanya sebuah pandangan dari pengalaman dan informasi yang diterima oleh penulis. Ditulis hanya supaya tidak lupa. Semoga ada manfaatnya.
p.s.
Bandung, 18 Februari 2019
Tautan Asli puspitaputri.tumblr.com/