Ngaleut Pacet, Sekali Peristiwa di Bandung Selatan

Ngaleut Pacet

Ngaleut Pacet/Foto: Komunitas Aleut

Oleh : Ervan Masoem (@Ervan)

Jika Pram menulis sebuah Novel yang berjudul Sekali Peristiwa di Banten Selatan, saya di sini akan menulis sebuah catatan perjalanan yang berjudul Ngaleut Pacet, Sekali Peristiwa di Bandung Selatan. Mengubah Banten menjadi Bandung dan ceritanya yang jelas berbeda.

Perjalanan diawali dari Sekretariat Komunitas Aleut di Jalan Pasir Jaya XIII No 3 Kota Bandung. Pagi yang sudah lebih hangat, lima motor berangkat menuju Majalaya, Kabupaten Bandung. Majalaya menjadi salah satu akses menuju kawasan Pacet. Sepanjang perjalanan kami tidak menemui kemacetan atau pun banjir. Padahal beberapa hari yang lalu, kami mendapatkan informasi bahwa jalanan yang hendak dilalui terkena banjir.

Pacet merupakan salah satu kecamatan yang masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Bandung. Pacet mewadahi 13 kelurahan atau desa, letaknya di sebelah Selatan Majalaya dan Ciparay. Sebuah kecamatan yang saya kira amat luas.

Untuk ngaleut momotoran kali ini kami akan berkeliling di sekitar kawasan Pacet. Mencoba menggali beberapa cerita rakyat menyangkut gerombolan. Lebih jelasnya apa itu gerombolan, akan saya sampaikan dalam beberapa paragraf berikutnya.

Kami tiba di Kampung Nagrak, Desa Cikawao, Kecamatan Pacet. Kami menepi ke sebuah warung. Warung yang nampak sangat sederhana, dijaga oleh seorang wanita paruh baya. Lantas kami memesan beberapa gelas kopi, bala-bala yang nangkring langsung saja dihajar. Sembari si ibu membuat kopi, kami mengobrol mengenai beberapa hal, lalu obrolan kami mulai mengarah ke peristiwa pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Satu peristiwa pemberontakan yang terjadi di Jawa Barat diprakarsai oleh Kartosuwiryo.

Pemberontakan ini terjadi ketika tentara Siliwangi memutuskan hijrah ke Yogyakarta karena keputusan dari perjanjian Renville. Sedangkan Kartosuwiryo dan sebagian laskar-laskar yang berada di Jawa Barat salah satunya Hizbullah tidak setuju dengan keputusan hijrah tersebut. Mereka menetap di Jawa Barat lalu membentuk tentara-tentara yang kelak dikenal sebagai pasukan DI/TII. Sebuah pasukan yang mencoba memproklamirkan negara Islam. Ibu warung dan warga di sini lebih sering menyebut pasukan pemberontak itu dengan sebutan gerombolan.

Baca juga: Melewati Puncak Cae

Setelah mengobrol beberapa saat. kami baru tahu bahwa ibu yang kami ajak ngobrol itu bernama ibu Wawan. Namanya seperti nama laki-laki, memang. Ibu Wawan menjelaskan pada saat masih kecil ia tidak bisa melafalkan Wawat. Berkali-kali dicoba yang keluar malah Wawan. Hingga akhirnya ibu satu ini lebih dikenal sebagai Wawan.

Berdasarkan penuturan ibu Wawan, dulu ketika malam tiba warga sudah harus pergi meninggalkan rumah masing-masing dan mengungsi ke tempat yang dirasa aman. Salah satu tempat aman itu, yaitu rumpun bambu. Jika siang hari sudah tiba warga akan kembali ke rumah masing-masing. Sebelum pergi mengungsi biasanya para warga akan menyediakan makanan di pelataran rumah. Makanan itu diperuntukan untuk para gerombolan karena jika warga tidak menyediakannya, mereka tidak segan untuk membunuh atau merusak rumah. Bu Wawan juga bercerita bahwa rumahnya dulu pernah dibakar oleh para gerombolan. Ia pun sempat mengungsi ke Kota Bandung yaitu di Gang Halte (Ciroyom). Lalu bu Wawan memberitahu jika ingin mengetahui cerita lebih banyak tentang gerombolan sebaiknya menemui suaminya, kebetulan dia sedang memperbaiki jalan di depan warung milik anaknya.

pak adang

Pak Adang dan Mang Irfan/Foto: Ervan

Beberapa puluh meter dari tempat sebelumnya, kami menepi kembali untuk menemui Pak Adang. Saat itu Pak Adang sedang beristirahat di depan warung. Ketika kami menemuinya, Pak Adang sedikit terkejut ketika kami tahu namanya. Kami menjawab bahwa sebelumnya sudah mampir terlebih dahulu di warung milik istrinya. Untuk kedua kalinya saya kembali jajan, trik ini sangat menunjang untuk mengakrabkan dengan warga lokasi guna mencari informasi yang diinginkan.

Saat kami bertanya tentang pengalaman zaman DI/TII, Pak Adang bercerita bahwa dahulu ia pergi mengungsi ke daerah Wangisagara, Majalaya. Kemudian karena merasa kurang aman ia bersama orang tuanya kembali mengungsi ke Kota Bandung. Mula-mula di daerah Paledang kemudian membeli rumah di Jalan Sawah Kurung. Saat sudah dirasa aman Pak Adang kembali ke kampung Wadat untuk menempati kembali rumah orang tuanya. Rumah orang tuanya saat itu sempat dijadikan markas tentara dari Batalyon 328. Rumah bergaya Jengki ini sampai saat ini masih tegak berdiri. Pak Adang saat ini berusia 72 tahun juga bercerita ihwal pengalaman masa remajanya ketika mengikuti operasi pagar betis di Cililin.

rumah pak adang

Rumah Milik Pak Adang/Foto: Komunitas Aleut

Saat ditanya dari mana datangnya para gerombolan, Pak Adang mengatakan dari arah perkampungan Gunung Manik dan Péréng yang berada dibawah pegunungan Gunung Rakutak, Gunung Dano, serta Gunung Geber.  Pak Adang juga memberitahu kami bahwa di kampung Cikawao pernah ada satu korban keganasan gerombolan, yakni seorang anggota Organisasi Keamanan Desa (OKD) yang terbunuh dirumahnya sendiri. Ketika kami bertanya dibunuh dengan cara apa? Pak Adang dengan cara seperti ini (sembari memperagakan gerakan tangannya ke leher).

Dari informasi yang kami dapat dari Pak Adang, kami melanjutkan perjalanan menuju Péréng, kampung terakhir sebelum Gunung Dano. Jalanan yang kami tempuh menanjak, sebuah medan yang memerlukan motor prima untuk melewatinya. Di tengah perjalanan tepatnya di perkebunan yang tak jauh dari sana berada lapangan sepak bola, kami bertemu dengan salah satu warga Péréng bernama Kang Ibay. Kang Ibay saat itu tengah sibuk bergelut dengan hasil ladangnya. Hasil ladang yang dibungkus dengan karung goni. Kami lalu bertanya mengenai nama-nama gunung yang tepat berada di pelupuk mata, sambil menunjuk, Kang Ibay memberitahukan bahwa itu adalah Rakutak, Dano dan Geber.

deretan gunung rakutak

Pak Adang dan Mang Irfan/Foto: Ervan

Kami sampai di Kampung Péréng kala adzan Dzuhur sudah berkumandang. Sesampainya di sana kami diberitahu warga bahwa jalanan tidak bisa dilalui oleh motor, karena hanya menyisakan jalan setapak untuk ke Gunung Dano. Kami memutuskan kembali dan mampir terlebih dahulu ke warung ke tiga. Sembari beristirahat, yang shalat pergi ke masjid dan yang lapar memesan mie instan. Setelah mie tandas dan yang dari masjid kembali, kami melanjutkan perjalanan.

Baca juga: Ulang Tahun Bandung yang Syahdu, di Gunung Sadu

Bertemu Pak Suhana

Saat turun dari kampung Péréng cuaca sudah gelap pertanda hujan akan turun. Benar saja hujan pun turun, memaksa kami harus berhenti dan memakai jas hujan. Setelah memakai jas hujan kami melanjutkan perjalanan menuju Lembur Awi.

Tibalah kami di sebuah desa yang bernama Lembur Awi, lagi-lagi kami berhenti di sebuah warung. Warung yang keempat yang kami singgahi. Kami memesan makanan berat, tak perlu waktu lama untuk kami menghabiskannya.

Di sini kami bertemu dengan Pak Suhana, suami dari Ibu pemilik warung. Ibu warung sebelumnya telah kami tanyai juga pengalamannya ketika zaman gerombolan. Namun ia tidak terlalu ingat akan peristiwa tersebut karena waktu itu masih sangat kecil. Sementara itu, Suhana banyak mengingat peristiwa menyangkut gerombolan. “Gerombolan, nyak ngalaman atuh Cep,” ujarnya. Suhana yang lahir tahun 1939 masih ingat ketika rumahnya pernah dibakar oleh para gerombolan hingga terpaksa harus mengungsi ke Rumah Sakit Magung. Ada kejadian yang membuat Suhana sakit hati, ketika para gerombolan datang ke rumahnya, ia yang sedang duduk diambang pintu ditalapung (ditendang) sampai terlempar ke halaman rumah.

Ada juga cerita yang menarik perhatian kami, yakni ketika Suhana menjadi Operasi Keamanan Desa (OKD) Suhana beserta rekan-rekannya sedang berpatroli di hutan Gunung Rakutak mendengar suara krasak-krusuk, curiga dengan suara tersebut, ia lantas menembak ke arah sumber suara dengan bedil él-é atau senapan Lee-enfield. Akan tetapi ternyata itu pasukan tentara dari Batalyon 301. Lantas pasukan Batalyon 301 menembakkan peluru sen-sen yang berwarna merah ke atas kemudian dibalas dengan warna yang oleh OKD. Jika dibalas dengan warna sama menandakan bahwa itu kawan.

pak suhana

Pak Suhana/Foto: Ervan

Cerita lainnya ketika menjadi anggota OKD, Suhana dan temannya sempat menemukan seorang gerombolan yang sudah terkena tembak. Merasa kesakitan si gerombolan terus meraung-raung, karena takut raungannya terdengar oleh gerombolan lainnya, Dodo teman Suhana menembak si gerombolan tersebut hingga tewas. Ketika ditanya oleh tentara, “kenapa dihabisi?” Dia menjawab “Lumpat Pak.” (lari Pak)

Setelah mengobrol banyak dengan Pak Suhana, kami kembali melanjutkan perjalanan. Kampung Cinanggela menjadi titik berikutnya. Di kampung ini konon terjadi banyak pembakaran rumah warga oleh para gerombolan. Kami tak bercengkrama lama dengan Cinanggela lantaran kami tidak menemukan sebuah warung dan tak menemukan warga yang bisa kami ajak ngobrol. Ditambah jalan yang akan kami lalui tertutup oleh pasar tumpah. Hingga akhirnya kami terpaksa putar arah.

Dari Cinanggela kami berencana menuju Jembatan Sayuran. Namun di tengah perjalanan kami menemukan sebuah penunjuk arah yang menunjukan lokasi Danau Alam Lestari. Lirik kanan-lirik kiri kami pun memutuskan untuk singgah ke danau itu. Letak danau berada di desa Pangauban. Danau Alam Lestari tak terlampau luas, airnya berwarna Biru. Sampai di Danau Alam Lestari kami lagi-lagi menepi di sebuah warung. Untuk menghangatkan diri karena kedinginan oleh hujan, kopi menjadi pilihan terbaik. Di warung ini kami tidak mendapatkan informasi seputar DI/TII disebakan pemilik warung mengaku tidak mengalaminya dan mereka pun hanya mengetahui sekilas saja dari cerita orang tuanya.

jembatan sayuran

Jembatan Sayuran/Foto: Ervan

Puas mengopi di tepi Danau Alam Lestari, kami melanjutkan perjalanan kembali menuju Jembatan Sayuran. Ada apa dengan Jembatan Sayuran? Jembatan Sayuran yang berada di atas sungai Ci Hejo menyimpan cerita kelam. Untuk sampai ke sini kami terlebih dahulu melewati pemakaman lalu berbelok ke kanan melalui jalanan yang menurun. Tak jauh dari jembatan terdapat spanduk milik Kodam Siliwangi. Isi spanduknya tentang imbauan tidak boleh membuang sampah ke sungai. Sungai ini termasuk ke dalam program bersih-bersih sungai yang bernama Ci tarum Harum. Saat saya dan teman-teman sampai di lokasi, suasana sepi, dingin, mencekam menyapa kami. Konon di jembatan Sayuran ini menjadi lokasi pembantaian warga oleh para gerombolan, mayat hasil pembantaian kemudian dihanyutkan di sungai Ci Hejo ini. Tidak lama kami di sini, perjalanan kembali dilanjutkan.

Baca juga: Sejarah Terbaginya Bandung dan Wacana Kab. Bandung Timur

Selama kegiatan momotoran yang saya ikuti selalu saja ada hal yang menarik dan tak terduga. Pada kesempatan kali ini karena salah belok kami kembali ke jalur yang sebelumnya dilewati, namun dengan kejadian ini kami mendapatkan informasi baru. Informasi yang kami dapat dari seorang penjaja baso tahu, ia menyebutkan bahwa di dekat jembatan Cihejo terdapat sebuah goa. Dengan bantuan warga yang kebetulan sedang melintas kami pun menemukan goa tersebut. Belum diketahui pasti juga goa tersebut dipakai untuk apa.

Karena hari sudah semakin sore kami pun memutuskan untuk segera kembali ke Kota Bandung. Sebelum itu kami kembali menepi di sebuah warung. Jika ditotalkan selama perjalanan kami telah menyinggahi warung sebanyak enam kali, mantappps. Hal tersebut memang sengaja kami lakukan, dengan membeli makanan yang dijajakan, kami bisa lebih mudah untuk mengakrabkan diri lalu mengobrol dan bertanya tentang informasi yang diinginkan.

Bapak warung saat kami tanyai tentang DI/TII ternyata cukup banyak tahu juga. dari cerita orang tuanyalah ia mengetahuinya, karena ketika itu ia masih kecil. Cukup lama kami berdiam di tempat yang bernama warung Abah ini. Tentu saja ada informasi baru lagi yang kami dapatkan di warung ini, mengenai Péréng lainnya dan sebuah makam keramat.

Selepas dari warung ini kami melanjutkan perjalanan ke Kota Bandung. Cukup menarik ternyata ngaleut Pacet ini. Menggali cerita dan mendengarkan kenangan yang pernah dialami menjadi hal tersendiri bagi saya. Dari ngaleut kali ini terbukti bahwa ingatan tentang peristiwa DI/TII ini ternyata masih sangat kuat di dalam ingatan para orang tua yang mengalaminya.

Baca juga artikel catatan perjalanan lainnya

(komunitasaleut.com – erv/upi)

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s