
Momotoran Komunitas Aleut/komunitasaleut.com
Oleh: Mey Saprida (@meysaprida)
Memilukan, seseorang harus menjatuhkan hukuman mati kepada temannya sendiri, lantaran temannya itu melakukan pemberontakan. Berawal dari sana, saya penasaran bagaimana pemberontakan itu berakhir? Akhirnya dia yang memboncengku bercerita. Dulu Sukarno berteman dengan Kartosoewirjo di Surabaya, mereka ngekos di tempat yang sama yaitu di rumah Tjokroaminoto. Tjokroaminoto tidak lain merupakan guru mereka.
Kartosoewirjo menjadi pimpinan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yaitu suatu gerakan yang ingin mendirikan Negara Islam. Sementara Sukarno dipercaya oleh rakyat untuk menjadi Presiden Republik Indonesia. Mereka berbeda pandangan soal bentuk dari negara yang belum lama ini merdeka. Kartosoewirjo melakukan pemberontakan. 10 tahun setelah penyerangan ke Masjid Cipari, Kartosoewirjo berhasil ditangkap. Akibat pemberontakannya, Kartoesowirjo harus dijatuhi hukuman mati. Sambil menangis Sukarno menandatangani lembar keputusan tersebut.
Minggu 3 Maret lalu, saya dan Komunitas Aleut tengah melakukan perjalanan dari Bandung menuju Cipari, Garut. Perjalanan itu bagian dari acara “Ngaleut Bagendit”. Saat itu kami masih di Sapan menuju Cijapati. Kami terdiri dari 9 orang dan 5 motor, satu teman tadinya akan bertemu dengan kami di Cijapati, tapi tidak jadi ikut.
Teman kami itu bernama Hepipa, tadinya dia yang akan memimpin perjalanan kami dari Cijapati menuju Garut. Dia juga yang akan menjelaskan mengenai sejarah kereta api di daerah Garut. Karena Hepipa batal ikut, maka rombongan motoris ini dipimpin oleh Bang Ridwan, penasehat Komunitas Aleut. Rute yang kami lalui mengikuti rute yang telah ditentukan sebelumnya pada hari kamis di rapat pegiat Aleut bernama Kamisan.

Warung Cijapati/komunitasaleut.com
Sebelum masuk Garut, kami istirahat sebentar di warung yang ada di Cijapati, menikmati pemandangan alam dengan gunung berlapis kabut, dan cuaca yang sangat bersahabat: tidak mendung dan tidak panas menyengat, sekitar jam 11 kami lanjutkan perjalanan.
Karena Pahepipa tidak ikut, maka saat melewati Stasiun Leuwigoong kami hanya numpang lewat dan foto saja. Begitu pula dengan Stasiun Cibatu. Beberapa informasi yang saya tangkap, Stasiun Leuwigoong lebih berupa halte karena hanya buka pada saat melayani kedatangan dan keberangkatan penumpang kereta api lokal saja, dan hanya terdiri dari satu jalur kereta.
Sementara Stasiun Cibatu merupakan stasiun aktif terbesar yang ada di Garut. Pada masa Kolonial, Stasiun Cibatu menjadi tempat pemberhentian bagi wisatawan Eropa yang akan berlibur ke Garut. Tak heran jika dulu setiap hari di Stasiun Cibatu terdapat banyak taksi yang terparkir. Taksi-taksi tersebut nantinya akan mengantar para wisatawan Eropa ke Hotel yang ada di Garut.
Salah dua wisatawan yang berkunjung ke Garut adalah komedian terkenal Charlie Chaplin pada tahun 1927 serta diplomat yang nantinya dikenal juga sebagai penulis yakni, Pablo Neruda. Neruda beserta istrinya berencana berbulan madu di Ngamplang.
Akhirnya kami sampai di Cipari, tujuan kami adalah masjid Cipari, sebuah masjid di tengah sawah. Dalam ekspektasi saya masjid itu benar-benar berada di tengah sawah, tapi itu dulu. Saat ini telah dibangun rumah-rumah, madrasah juga asrama untuk para santri. Tak jauh dari masjid ada rumah bergaya jadul di pinggir sawah, belum tau ada cerita apa disitu. Saat pertama datang, saya sempat bingung, kenapa banyak anak sekolah di hari minggu, awalnya saya kira sedang ada ekskul pramuka gitu, eh ternyata anak-anak pesantren sekolahnya libur di hari jumat.
Masjid Cipari yang saya kunjungi ini juga dikenal bernama masjid As-Syuro. Masjid As-Syuro ini unik karena design bangunannya yang bergaya Art deco. Sebagian orang juga mengenalnya sebagai mesjid gereja karena bentuk bangunannya yang menyerupai gereja. Banyak yang menyangka bahwa bangunan ini dibangun oleh arsitek Belanda. Nyatanya diarsiteki pribumi yakni oleh Abikusno Cokrosuryo. Abikusno tercatat sebagai anggota Sarekat Islam. Masjid ini dibangun dari tahun 1933 hingga 1936.
Pada masa pemberontakan DI/TII masjid ini sempat diserang. Kyai Yusuf Tauziri selaku ketua pesantren beserta santri menjadikan masjid ini sebagai benteng pertahanan. Diketahui penyebab terjadinya penyerangan itu karena Kyai Yusuf Tauziri menolak untuk bergabung dengan DI/TII. Bekas peluru di beberapa bagian, kubah, tembok masjid jadi saksi terjadinya penyerangan tersebut. Tapi saat kami naik ke atas menara, kami tidak menjumpai bekas peluru tersebut, mungkin karena memang kami tidak ngeh atau memang bekas peluru itu sudah ada perbaikan.
Beralih ke cerita Charlie Chaplin, Chaplin turun di Stasiun Cibatu dia lanjut kemana sih? Biar saya kasih bocoran, dia menuju tempat yang sesuai dengan judul ngaleut kami. Yap bener, Bagendit. Bagendit merupakan situ atau danau yang terletak di Garut. Chaplin berkunjung ke sini saat dia menginap di Ngamplang. Selain itu Gubernur Jendral De Fock pun pernah mengunjungi Bagendit.
Berlatar informasi itu, kami pun penasaran dengan Situ Bagendit. Namun sepertinya kami salah memasuki pintu, karena di foto jadul yang ditunjukkan oleh teman di Whatapps Grup (WAG) terdapat latar gunung, dan belum ada saung. Sementara Situ Bagendit yang kami kunjungi sudah diolah layaknya tempat wisata, saung dan beberapa warung, spot foto payung mengambang, hanya kurang hiasan love. Di situ ada banyak teratai dan eceng gondok. Wisatawan pun bisa naik perahu, atau rakit, atau dayung ikan untuk berkeliling situ.
Menikmati Situ Bagendit kami duduk di saung dengan harga sewa Rp. 10.000/jam. Sambil menunggu makanan yang telah kami pesan, Puspita berdongeng mengenai Situ Bagendit yang dia ketahui. Hampir sama dengan dongeng-dongeng mengenai danau pada umumnya yaitu orang kikir yang mendapat azab. Dialah Nyi Enggit yang berarti hemat, saking hematnya dia menjadi pelit. Suatu hari ada seorang pengemis yang datang ke desa tempat Nyi Enggit, tapi tak ada satupun yang mengasihaninya. Maka si Pengemis menancapkan tongkatnya ke tanah dan tak ada yang bisa mengangkatnya. Ternyata yang bisa mengangkat tongkat itu hanyalah Nyi Enggit, maka setelah tongkat terangkat, muncullah mata air yang tiada berhenti hingga menenggelamkan seluruh desa.
Saat kami pulang si ibu warung berpesan agar kami tidak kapok main ke Bagendit. Kalau saya sih gak kapok, karena harga yang mereka berikan cukup wajar. Tiket masuk Rp. 5.000/orang, parkir motor Rp. 3.000/motor, indomie Rp. 9.000/porsi + tambah nasi. Beli dawegan satunya Rp. 10.000, rujak seporsi Rp. 5.000 yah pokonya rata-rata harga wajar lah. Bahkan sepertinya saung yang kami tempati lebih dari satu jam, tapi tidak ada penagihan kembali.
Sepulang dari Situ Bagendit seharusnya kami mampir ke stasiun Kamojang, dan pulang melewati Kamojang Bridge. Dikarena beberapa kondisi motor kurang fit, kami mengurungkan niat itu. Akhirnya kami pulang melalui jalur Cijapati kembali. Tapi kami sekarang tidak memakai jalur Sapan, dikarenakan khawatir adanya begal, mengingat hari sudah magrib, dan biasanya Begal beraksi setelah magrib. Maka dari itu kami pilih jalur Majalaya, lalu Ciparay, Baleendah, Bojongsoang, dan Buah Batu.
Kami sampai kembali di Pasir Jaya sekitar jam tujuh lewat, beristirahat sejenak sebelum pulang ke kediaman masing-masing. Bercengkrama sejenak, menikmati oleh-oleh dari Garut yaitu dodol sambil cerita soal perjalanan tadi.
Baca juga artikel catatan perjalanan lainnya
(komunitasaleut.com – mey/upi)