
Dari kanan ke kiri : Gunung Windu, Gunung Wayang, Gunung Bedil |Foto Ariyono Wahyu Widjajadi
Oleh: Ariyono Wahyu Widjajadi (@A13xtriple)
Saat itu hari mendung, kabut menyelimuti Gunung Wayang menambah kental aura misteri yang meliputi gunung ini. Ini kali kedua bagi saya mengunjungi Situ Cisanti, mata air Sungai Citarum yang berada di kaki Gunung Wayang. Setiap kali Komunitas Aleut menyambangi kawasan Pangalengan, Gunung Wayang selalu jadi pusat perhatian saya. Terkadang memandang dari kejauhan gunung ini tampak bersanding dengan dua gunung lainnya yaitu Gunung Windu dan Gunung Bedil.
Dalam halaman-halaman awal buku “Semerbak Bunga di Bandung Raya” karya Haryoto Kunto, terdapat sebuah foto yang memperlihatkan seorang juru kunci yang sedang duduk bersimpuh dengan takzim di depan sebuah arca begaya Polinesia. Keterangan pada foto tadi menyebutkan bahwa arca tersebut berada di Gunung Wayang.
Ketika pertama kali saya mengunjungi Situ Cisanti bersama dengan kawan-kawan pegiat Aleut di tahun 2013. Perihal arca di Gunung Wayang ini sempat saya tanyakan pada seorang juru kunci Cisanti yang mengantarkan kami. Jawabannya sangat mengecewakan. Menurutnya arca-arca di Gunung Wayang itu masih ada dan terkadang bisa dilihat namun harus dengan mata batin. “Waduh!” kata saya dalam hati. Ini sama saja artinya arcanya sudah hilang. Sayang saya tak punya kemampuan “linuwih” yang mampu melihat dengan mata batin.
Tāmu: a New Zealand family in Java
Informasi selanjutnya mengenai arca-arca di Gunung Wayang kemudian saya temukan pada sebuah buku milik seorang kawan di Aleut. Judul bukunya “Tāmu: a New Zealand family in Java” karya Marie Gray. Sesuai dengan judulnya buku ini adalah kumpulan kisah pengalaman Keluarga Gray yang merupakan pasangan dari Selandia Baru dan bekerja memberikan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit “Situ Saeur”/Immanuel, Bandung pada sekitar tahun 1960-an. Selain memberikan bantuan medis, keluarga ini kerap berpesiar ke berbagai tempat wisata tak hanya di Bandung namun juga di daerah lain di Pulau Jawa.
Tentu saja yang menarik adalah pengalaman Marie Gray mendaki Gunung Wayang dan menemukan tak hanya satu tapi enam arca tipe Polinesia di puncaknya. Saat itu sekitar tahun 1967 ketika Marie berkunjung ke Situ Cileunca dilanjutkan dengan perjalanan mendaki Gunung Wayang. Menurut Marie, ia diantar oleh seorang juru kunci Gunung Wayang. Seorang bapak tua bernama Uhi yang tinggal di Kampung Cibeureum di dekat Perkebunan Kertamanah, sekitar 15 menit dari Gunung Wayang dan Cisanti. Dalam bukunya bahkan Marie membuat sketsa arca-arca di Pucak Gunung Wayang yang disertai dengan nama dan letak lokasinya. Nama-nama arca tersebut adalah Hyang Pameget, Hyang Istri, Nyi Mas Dewi Kaja, Patih Sembah Dalem Mangku Jagat, Singa dan Patih Sembah Singa Raksa.

Sketsa arca-arca oleh Marie Gray pada buku “Tāmu: a New Zealand family in Java”
Masih menurut buku yang ditulis pasangan bidan dan dokter dari Selandia Baru ini, di Puncak Gunung Wayang terdapat sebuah gubuk/saung yang terbuat dari bambu tampat bermalam mereka yang mendaki. Namun kebanyakan dari mereka bermalam untuk melakukan semedi karena memiliki permintaan khusus. Hal ini dibuktikan pula dengan banyaknya sesaji yang berserakan di depan arca-arca di Puncak Gunung Wayang. Untuk mendaki ke puncak Gunung Wayang Marie saat itu harus membawa sesaji berupa cerutu, dawegan/kelapa muda, jeruk, pisang dan gula merah, masing-masing dua buah.Persembahan ini diperuntukan bagi penghuni arca-arca di Puncak Gunung Wayang. Menurut Gray arca-arca ini mirip patung suku Maori penduduk asli Selandia Baru. Tak mengherankan karena gugusan Kepulauan Polinesia mencakup pula Selandia Baru.
Dengan masih diantar oleh Pak Uhi, Keluarga Gray juga mengunjungi Situ Cisanti ketika turun dari puncak Gunung Wayang.
Arca Gunung Wayang Dalam Catatan Ahli Purbakala Belanda
Di lain waktu dan kesempatan saya memperoleh dokumen hasil penerjemahan dan pengetikan ulang dari laporan ahli arkeologi Belanda, N.J. Krom yang berjudul “Rapporten Oudeheidkundige Dienst 1914”. Laporan yang berisi daftar inventarisasi temuan artefak purbakala dari seluruh kawasan mencakup Priangan serta Banten dan dikumpulkan oleh beberapa arkeolog Belanda ini juga dikutip oleh Haryoto Kunto dalam bukunya “Semerbak Bunga di Bandung Raya”.
Dalam laporannya, N.J. Krom menuliskan tentang keadaan di puncak Gunung Wayang, kurang lebih ditemukan 40 arca dan sebuah kuburan kuno yang didalamnya ditemukan pula pecahan tembikar, “afge stampte” kapak batu dan tulang-belulang. Arca bermahkota dengan bentuk mirip meriam dan guci juga ditemukan di dekat mata air Citarum di Situ Cisanti.
Bila membandingkan jumlah arca di puncak Gunung Wayang tentu jauh lebih banyak yang ditemukan oleh para ahli purbakala N.J. Krom di awal abad XX dengan yang dijumpai Marie Gray ketika mendaki ke puncak Gunung Wayang di akhir tahun 1960-an. Sayang dalam laporan N.J. Krom tak dijelaskan apakah sebagian arca-arca tadi di simpan di tempat tertentu seperti museum misalnya.
Dokumen hasil pengetikan yang dibuat pada tahun 1970 ini saya peroleh dari Nanang Saptono, arkeolog dari Balai Arkeologi Bandung. Mang Nanang begitu panggilan akrabnya sering pula mengikuti kegiatan ngaleut bersama Komunitas Aleut. Dalam salah satu kesempatan ketika beristirahat makan siang saat ngaleut mengunjungi petilasan Dipati Ukur di Ciparay. Mang Nanang dan istrinya, Bu Endang yang juga arkeolog di Balar, sempat menjelaskan mengenai arca tipe Polinesia. Menurutnya arca tipe Polinesia adalah arca dengan bentuk yang sederhana dan kasar mirip dengan patung yang banyak ditemukan di gugusan kepulaun Polinesia di Samudera Hindia sebelah Selatan. Dalam kasus arca tipe Polinesia yang ditemukan di daerah Priangan tidak dapat selalu dipastikan bahwa umur arca tersebut sudah tua, bila menilai dari bentuknya yang primitif dan sederhana. Namun bisa saja arca dalam bentuk yang sederhana dan miskin corak hias ini dibuat oleh masyarakat yang tidak menetap. Jadi tidak ada kebutuhan untuk membuat arca yang rumit dan indah seperti di daerah Jawa misalnya. Karena masyarakat Priangan dulu dikenal sebagai masyarakat huma yang berpindah-pindah tempat tinggal sehingga tidak tinggal menetap dalam kurun waktu yang lama di satu daerah.
Minggu-minggu di akhir bulan lalu saya memperoleh satu buku yang dapat dijadikan pembanding bagi tulisan Marie Gray dan laporan N.J. Krom mengenai nasib arca di puncak Gunung Wayang. Buku yang ditulis oleh salah satu kelompok pencinta alam dari sebuah perguruan tinggi negeri di Bandung ini menjelaskan mengenai kisah, cerita pendakian dan temuan-temuan di gunung-gunung di sekitar Bandung.
Pada bagian tulisan mengenai Gunung Wayang dijelaskan bahwa di puncaknya hanya ditemukan sebuah makam dengan panjang 3 meter. Tak ada tulisan mengenai penemuan arca di puncak Gunung Wayang. Jadi kemana perginya arca-arca yang berjumlah 40 buah menurut Krom dan setidaknya masih ada 6 buah arca menurut Marie Gray ? Mungkin hanya bisa dilihat dengan menggunakan mata batin tadi.

Pada buku “Semerbak Bunga di Bandung Raya” terdapat foto yang memperlihatkan seorang juru kunci yang sedang duduk bersimpuh dengan takzim di depan sebuah arca begaya Polinesia.
Gunung Wayang Dalam Naskah Sunda Kuna dan Cerita Legenda
Sebenarnya naskah tertua mengenai Gunung Wayang berasal dari tulisan orang lokal. Saya sengaja menempatkannya diakhir tulisan ini. Tepatnya dalam naskah perjalanan Pangeran Jaya Pakuan dari kerajaan Pajajaran yang hidup pada abad ke-15 M. Memang dalam naskah yang ditulis oleh pangeran yang mempunya julukan Bujangga Manik dan Ameng Layaran ini tidak menyebukan mengenai keberadaan arca di Gunung Wayang.
Sang Bujangga Manik dalam naskahnya hanya mencatat, yang artinya dalam bahasa Indonesia di buku “Tiga Pesona Sunda Kuna” berbunyi :
Kuseberangi sungai Cicarencang,
aku menyeberang di sungai Cisanti,
Mendaki ke Gunung Wayang,
sekepergianku dari sana,
sampai ke Mandala Beutung
Tak dijelaskan dimanakah letak lokasi pertapaan Mandala Beutung tersebut apakah berada di puncak Gunung Wayang? Tak dijelaskan pula berapa lama Ameng Layaran berada di Gunung Wayang dan Cisanti. Hal ini berbeda dengan ketika Bujangga Manik datang dan tinggal selama satu tahun di Sanghiang Ranca Gonda yang terletak di Gunung Patuha.
Satu hal yang menarik pula adalah mengenai keberadaan sosok Nyi Kantri Manik dalam kisah legenda terjadinya Gunung Wayang. Disebutkan bahwa Nyi Kantri Manik adalah perempuan lain yang menarik hati Gagak Taruna, sosok pemuda yang merupakan calon besan penguasa Gunung Wayang yang bernama Pangeran Jaga Lawang. Menuruk sohibul hikyat Gagak Taruna tega melupakan kekasihnya Puteri Langka Ratnaningrum dan lebih memilih menenggelamkan diri mengikuti Nyi Kantri Manik yang merupakan penguasa Situ Cisanti.
Nama sosok perempuan dalam legenda Gunung Wayang tadi memliki kemiripan serta mengingatkan pada sosok yang biasanya dianggap sebagai penguasa dan penunggu mata air oleh orang Sunda dikenal dengan nama Nyi Kentring Manik Mayang Sunda. Konon Nyi Kentring Manik adalah salah satu istri dari Prabu Siliwangi, raja Pajajaran yang termahsyur dan memang dikenal cantik jelita. Tak heran jika Gagak Taruna sampai mabuk kepayang dibuatnya dan tega meninggalkan Puteri Langka Ratnaningrum tepat di hari perkawainannya.
Konon arca-arca di puncak Gunung Wayang merupakan jelmaan dari para pemain gamelan yang memainkan musik di hari pernikahan Gagak Taruna dengan Putri Langka Ratnaningrum. Namun karena mempelai pria tak kunjung datang dan kemudian ditemukan tewas mengambang di Situ Cisanti, murkalah Pangeran Jaga Lawang yang mengutuk para pemain gamelan menjadi arca, tungku-tungku yang sedang memasak hidangan pesta ditendangnya hingga menjadi kawah Cibolang. Sedangkan sang mempelai wanita yaitu Puteri Langka Ratnaningrum yang kecewa ditinggalkan di pelaminan lebih memilih melarikan diri dari puncak Gunung Wayang.
Kini nasib arca di Gunung Wayang sepilu kisah legendanya. Arca-arca di Gunung Wayang sekarang ini hanya menjadi cerita legenda dan catatan sejarah masa lalu. Untuk melihatnya di masa kini kita harus mempersiapkan ilmu untuk dapat melihat menggunakan mata batin. Waduh!
Baca juga artikel menarik lainnya
(komunitasaleut.com – ale/upi)
Dulu thn 80an saya pernah menugunjungi sepupu saya yg berdiam di kompleks PTP di Gambung. Saya ingat ada kolam renang air panas kecil – mungkin hanya utk keluarga pegawai? Yang saya ingat dan sangat berkesan saat itu, di pinggiri kolam ada semacam panel ukiran batu, seperti bagian dari candi dan terlihat sangat kuno. Apa mungkin ada peninggalan purbakala di Gambung? Sayangnya saya gak pernah dengar tentang ini dimana-mana pun.
Mungkin saja ada peninggalan yang tersisa kang. Perlu ditelaah lebih lanjut
Ping balik: Gunung Mandalawangi dan Pesona Tersembunyinya | Dunia Aleut!