Ngaleut Ngabaraga Cikapundung (Bagian Akhir)

Oleh : Atria Sartika (@atriasartika)

Setelah singgah sebentar di Masjid Mungsolkanas rombongan Ngaleut Komunitas Aleut kembali menyusuri pemukiman penduduk menuju Pemandian Cihampelas. Namun ternyat saya tidak memperhatikan kata “BEKAS” yang disebutkan sebelum kata “Pemandian”. Karena pembaca, TERNYATA pemandian itu sudah tidak ada dan digantikan dengan pembangunan sebuah apartemen. ARGH kesal rasanya, karena jika mendengar cerita orang-orang yang sempat mengunjungi pemandian atau kolam renang ini, ada sebuah patung Neptunus di pemandian tersebut.  Bahkan kabarnya tahun 1960an kolam renang ini amat terkenal.

 
jalan setapak di samping ex-kolam renang

                                                                                                                                                           Kami sempat berhenti di jalan setapak yang tepat berada di sisi daerah konstruksi bangunan apartemen yang mengambil tempat di bekas tempat Pemandian Cihampelas. Diceritakan bahwa daerah ini disebut Cimaung karena dulu kabarnya di daerah ini banyak Maung atau Harimau. Sedangkan ada juga cerita dari Pak Edi bahwa daerah ini disebut Cimaung karena dulunya daerah ini dipenuhi Bambu dan kabarnya nampang kepala Maung tergantung di bambu. Selain itu diceritakan pula bahwa massive-nya pembangunan di daerah sekitar menyebabkan tertutupnya sejumlah mata air yang dulu ada di sekitar Cihampelas.

Kami kemudian melanjtkan perjalanan. Sepanjang perjalan saya melihat bahwa di sisi kanan saya adalah semacam tanggul benteng yang sering kita temukan yang dibangun permanen untuk mencegah erosi. Namun ternya di sisi kiri saya berjejer rumah-rumah penduduk. Saya memperhatikan rumah-rumah penduduk ini berada di tempat yang illegal sebab seharusnya di bantaran kali dan sungai harus berupa lahan kosong. Akhirnya setelah berjalan cukup lama kami singgah di sebuah lahan kosong di sisi aliran sungai yang lantainya di beton dan sisi pinggirnya dipasangi semacam rang nyamuk. Kami kemudian beristirahat sambil mendengar Om Ridwan bercerita.

Ia bercerita bahwa kini telah dilakukan upaya revitalisasi Sungai Cikapundung. Dibangunnya semacam tebing tanggul di sisi bawah rumah penduduk yang berada tepat dipinggir Sungai Cikapundung. Selain itu dengan mulainya rekreasi air di CIkapundung ikut meningkatkan kepedulian pemerintah untuk menjaga kebersihan Cikapundung dengan mulai merevitalisasinya. Namun sangat disayangkan karena revitalisasi tidak dilakukan dari hulu Cikapundung melainkan hanya disekitar pertengahan sungai Cikapundung, padahal tidak ada gunanya terus menerus menjaga kebersihan di daerah tengah sungai jika sampah, lumpur dan limbah ternak dan manusia terus mengalir dari hulu sungai. Selain itu terlihat juga bahwa tebing bendungan  yang saya sebutkan tadi, kondisinya sebenarnya sudah perlu diwaspadai karena tampaknya air yang terjebak di bawah tanah namun tidak memiliki saluran air kembali ke arah Cikapundung mulai merembet keluar melalui celah-celah tebing tersebut. Hal ini bisa menyebabkan longsor atau bahkan tebing tersebut ambruk.

 
Batu tulis yang diragukan “ketuaannya”

                                                                                                                                                       Setelah istirahat dengan berbelanja berbagai jajanan berakhir, kami pun melanjutkan perjalanan. Setelah menyusuri kembali jalur-jalur rumah penduduk yang padat kami sampai ke sebuah tempat. Awalnya saya bingung, apa yang ingin kami lihat di sana karena saya tidak melihat hal special apa pun. Memang bunyi arus sungai terdengar dan sungai Cikapundung itu sendiri dapat terlihat tapi tetap saja menurut saya tidak ada yang special. Namun ternyata di sana terdapat batu tulis. Menurut masyarakat sekitar batu tulis ini adalah peninggal bersejarah dari zaman dulu. Namun menurut Om Ridwan, berdasarkan upaya perifikasinya melalui tulisan-tulisan yanga ada, batu tulis itu masih tergolong baru. Masih buatan 1900-an karena tulisan bahasa kunonya jelek (ha..ha..alasan yang aneh).

Sangat sebentar kami di batu tulis itu, dan kemudian memutuskan melanjutkan perjalanan hingga kami tiba di bawah jalan layang. Awalnya saya terpana karena pertamakalinya saya benar-benar berada di bawah jalan layang. Mata saya langsung menangkap pemandangan sejumlah mobil yang terparkir rapi di tanah terbuka di bawah jalan layang. Baru kemudian saya menyadari bahwa saya mendengar bunyi aliran air dan merasakan ada angin yang berhembus. Saat melihat orang berdiri kea rah tepi sungai barulah saya melihat bahwa kali ini kami kembali berada di tepi sungai Cikapundung. Kami kembali beristirahat sejenak sambil menikmati angin yang membuai nyaman.

 
istirahat di bawah jalan layang di tepi Cikapundung

Kemudian diceritakan bahwa dua kali daerah ini pernah digusur, terakhir pada saat pembangunan jalan layang ini. Selain itu daerah ini pernah terendam banjir bah yang besar. Yakni sekitar tahun 1945 sebelum peristiea Bandung Lautan Api.  Hal itu karena pihak Belanda membuka semua pintu air sehingga meluaplah sungai CIkapundung. Hal ini dilakukan untuk mengacaukan gerakan laskar lokal yang berusaha merebut kekuasaan dari tentara sekutu.

 
makam Iboe Idjah

                                                                                                                                                              Setelah itu tanpa sengaja rombongan terpisah menjadi dua karena jaraknya cukup jauh. Saya dan sejumlah rombongan kecil mampir sebentar di makam Iboe Idjah yang berada sendirian di pondasi rumah seseorang. Menurut warga sekitar, kuburan tersebut tidak dapat dipindahkan. Selain itu tidak jauh dari lokasi makam Iboe Idjha ada juga perkuburan keluarga yang terletak di dekat masjid dan perkuburan itu dipagari.

Tidak banyak waktu yang kami habiskan di sana. Kami kembali menyusuri pemukiman penduduk dan cukup terkesima setelah melewati kawasan padat penduduk tidak lama kami menemukan sebuah kost yang menurut kami tergolong elit dari segi tampilannya. Sambil berjalan saya berusaha memperhatikan sekitar karena saya pada dasarnya memiliki kemampuan navigasi yang lemah. Setelah sampai di jalan raya barulah saya sadar bahwa kami telah sampai di wilayah Wastu Kencana. Kami kemudian berkumpul di depan Pasar Bunga Wastu Kencana. Saat itu kembali diceritakan kepada kami bahwa sekitar tahun 40’an daerah menjadi salah satu tempat perkuburan di Bandung. Wilayah UNISBA saat ini dulunya merupakan wilayah perkuburan. Selain itu disebutkan pula bahwa di tengah pertigaan jalan dekat Pasar Bunga Wastu Kencana bediri sebuah patung. Patung Engelbert Van Bavervoorde yang awalnya diletakkan di tengah pertigaan jalan itu, namun karena ada seorang anak yang sempat meninggal karena bersepeda dan menabrak patung tersebut, akhirnya dipindahkanlah patung tersebut ke pinggir jalan.

Setelah itu kami melanjutkan perjalanan ke daerah Merdeka Liau. Tempat ini dinamai Merdeka Liau karena dulunya di daerah ini dijadikan pusat pembuatan genteng yang dilakukan oleh budak-budak yang di merdekakan oleh Belanda sehingga mereka pun kadang disebut sebagai Belanda kulit hitam. Mereka juga disebut kaum Mardik. Produksi genteng semakin besar ketika Bupati RAA Martanagara membuat kebijakan bahwa atap rumbai harus diganti menjadi atap genteng.

 
ini Plakat di SMPN 40

                                                                                                                                                                    Di daerah ini kami masuk ke wilayah Kawasan SMPN 40 yang termasuk sebagai salah satu cagar budaya. Tahun 1931 bangunan sekolah ini sudah ada. Awalnya sekolah ini bangun sebagia sekolah praktik bagi Kweekschool yakni sekolah keguruan. Sekolah ini sempat menjadi Sekolah Wanita atau SKP (Sekolah Kepandaian Putri). Beruntung saat kami ke SMP ini adalah Abah Landung yang menjelaskan perihal sejarah sekolah itu. Ia bahkan mengantarkan kami ke bagian yang paling tua di areal sekolah. Yaitu sebuah ruangan yang dulunya berfungsi sebagai ruang arsip.  Akhirnya setelah bercerita sebentar dengan Abah Landung kami kembali melanjutkan perjalanan hingga sampailah kami di jalan Cicendo. Kami ditunjukkan wilayah yang dulunya adalah kompleks pabrik Cina. Hanya sebentar kami di daerah ini. Kami pun segera melangkahkan kaki semakin dekat ke Gedung Indonesia Menggugat. Ada hal yang menarik yakni bahwa sekolah ini memiliki plakat yang isinya menjelaskan tentang jumlah sumbangan yang diterima sekolah ini.

 
Plakat Gedung Indonesia Menggugat

                                                                                                                                                             Inilah finish kami kali ini yakni di Gedung Indonesia Menggugat. Finally setelah cukup lama saya penasaran dengan Gedung Indonesia Menggugat, saya pun bisa menginjakkan kaki ke dalam gedung itu. Gedung ini menjadi saksi ketika Soekarno dan kawan-kawannya di sidangkan dan Soekarno membuat petisi yang berjudul “Indonesia Mengggat” padahal pada tahun itu, tahun 1930, Indonesia sendiri belum ada. Gedung ini sendiri sudah ada sejak 1910, namun baru terkenal pada 1930 yang bersejarah itu.

Akhirnya seperti biasa, sesi ngaleuet Komunitas Aleut hari ini diakhiri dengan sesi sharing. Sharing kali ini hampir semuanya menemukan kesadaran yang sama yakni bahwa kita harus peduli tentang sampah. Sepanjang ngaleut seharian tak henti kami melihat sampah-sampah di sunga Cikapundung dan di daerah pemukiman warga. Hingga akhirnya sebagian besar merasa bahwa kita harus memulai perubahan terkait sampah ini dari diri kita sendiri. Bahkan diusulkan agar Ngaleut nanti bisa sambil mengumpulkan sampah-sampah yang berserakan yang dilewati di jalan. Selain itu sesi sharing mengingatkan kita untuk melakukan perubahan dengan diri kita sendiri dan jangan berharap dan menyerahkan tanggung jawab kepada orang lain terlebih dahulu. Karena kitalah yang pertama kali mengetahui dan menyadari fenomena tersebut sehingga kita jugalah yang harus pertama kali mengambil aksi.

Ah, baiklah mulai hari ini saya harus bertanggung jawab pada pengetahuan saya. Yakni dengan melakukan sesuatu, mungkin bisa dimulai dengan selalu menyediakan kantong kresek khusus untuk sampah di tas guna menampung sampah pribadi saat tidak menemukan tempat sampah. Dan bisa sambil sesekali mengumpulkan sampah di jalan yang ditemukan.
Ya, mari berubah dan melakukan perubahan dengan tangan kita sendiri.

Catatan:
foto-foto dalam tulisan ini adalah dokumentasi pribadi dan foto-foto yang saya ambil dari akun twitter @KomunitasAleut dan @edisetiadi6

Iklan

2 pemikiran pada “Ngaleut Ngabaraga Cikapundung (Bagian Akhir)

  1. Assalamualaikum Wr. Wb.
    Perkenalkan nama saya Fitri.
    Saya mahasiswa S2 ITB.
    Akang sareng Teteh jika saya mau bergabung dengan komunitas ini bagaimana ya?
    Saya tertarik untuk menjelajah kota di mana saya berada.
    Pasti ada makna buat saya dan sekitar di balik sebuah perjalanan.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s