Permainan Mafia Ala Raden Naranata

Oleh: Arya Vidya Utama

Perkembangan mafia mulai dikenal di dunia pada sekitar pertengahan abad ke-19 di Italia dan akhir abad ke-19 di Amerika Serikat. Namun tak banyak yang tahu bahwa pada tahun 1845 di Indonesia sudah ada seorang jaksa yang berperan layaknya sebagai seorang mafia kelas kakap. Ia adalah Raden Naranata.

Raden Naranata adalah seorang jaksa Kabupaten Bandung yang bertugas di awal kepindahan ibukota Kabupaten Bandung dari Karapyak (Dayeuh Kolot) ke daerah Alun-alun Bandung saat ini. Pada masa itu, peran jaksa adalah peran sentral selain bupati dan asisten residen (setara dengan gubernur).

Sayang, hubungan Naranata dengan kedua peran sentral lainnya itu tidak berjalan dengan baik. Asisten residen saat itu, Nagel, pernah bersitegang dengannya. Naranata juga menaruh dendam kepada R.A.A. Wiranatakoesemah karena Wiranatakoesemah menolak lamaran Naranata untuk mempersunting putrinya.

Rasa dendam dan benci yang sudah lama terpendam di dalam hati Naranata ini akhirnya ia tuangkan dalam sebuah rencana besar: Pembunuhan Asisten Residen C.W.A. Nagel. Ia tak bergerak sendiri, tercatat ada 6 orang yang hampir di setiap malam pada bulan Desember 1845 selalu berkumpul di kediaman Naranata untuk mempermulus rencana pembunuhan besar ini. Salah satu dari 6 orang tersebut adalah Moenada, seorang pedagang keturunan Tionghoa yang memeluk agama Islam. (Jika kawan pernah membaca tulisan saya mengenai pasar baru sebelumnya, walaupun mirip namun pasti alur ceritanya akan berbeda karena tulisan ini lebih berdasarkan data faktual)

Pertemuan ini akhirnya berakhir pada tanggal 25 Desember 1845. Pada hari itu, rancangan mengenai rencana pembunuhan telah tersusun dengan rapi. Moenada akan bertindak sebagai eskekutor pembunuhan, ditemani oleh Raden Wirakoesoemah, dan akan langsung bergerak menuju kediaman Nagel. Penunjukan Moenada sebagai eskekutor juga bukannya tanpa alasan, karena Moenada pernah disiksa oleh Nagel dan tentu ia menaruh dendam atas perlakuan Nagel. Sedangkan sisanya ditunjuk untuk membuat keonaran dengan membakar Pasar Ciguriang yang berada tidak jauh dari kediaman Bupati Bandung dan kediaman Nagel. Raden Naranata sendiri tetap tinggal di kediamannya.

Pada tanggal 26 Desember 1845, sekitar pukul 2-3 dini hari pasar akhirnya sukses dibakar. Mendengar kabar kebakaran tersebut, Nagel yang sedang berdiam di rumahnya segera bergerak menuju pasar untuk meninjau keadaan. Di tengah perjalanan menuju kediaman Nagel, Moenada dan Wirakoesoemah melihat pergerakan sang Asisten Residen yang meninggalkan kediamannya. Tak pelak kemudian kedua orang ini segera mengikuti Nagel menuju pasar yang sedang terbakar hebat.

Pada saat Nagel sedang berada di tengah lokasi kebakaran, Moenada memanfaatkan momen ini untuk segera membunuh Nagel dengan keris yang ia pegang dan Nagel akhirnya tewas di tangannya. Saat akan melarikan diri, beberapa lurah pasar rupanya melihat perbuatan Moenada dan segera menghadangnya. Ditengah usaha Moenada melarikan diri, sebuah tusukan mendarat di tubuh Moenada. Beruntung ia masih bisa melarikan diri dalam keadaan yang parah akibat tusukan tersebut.

Pada sekitar pukul 5 di pagi harinya Wirakoesoemah yang terus menerus mengikuti pergerakan Moenada akhirnya membopongnya menuju ke kediaman Naranata. Setibanya di sana, Moenada dibawa ke sebuah kamar. Tak lama Naranata mendatangi Wirakoesoemah, dan menerima kabar dari Wirakoesoemah bahwa Nagel telah ditusuk oleh Moenada. Naranata yang pada saat itu belum mengetahui bahwa Nagel telah terbunuh menyayangkan bahwa Nagel tidak langsung mati. Ia juga menyayangkan bahwa Wiranatakoesoemah tidak terbunuh sekaligus.

Masih di hari yang sama, Raden Naranata meminta isterinya untuk menyiapkan makanan dan kopi sebagai suguhan dalam sebuah syukuran untuk merayakan kematian Asisten Residen Nagel. Acara itu dihadiri oleh semua dalang pembunuhan Nagel, kecuali Moenada yang masih terbaring akibat luka parah yang ia terima pada dini hari.

Moenada yang terluka parah akhirnya dijemput untuk dibawa ke rumah Raden Wirakoesoemah. Untuk menghindari kecurigaan, Moenada dibawa dengan cara dimasukkan ke dalam sebuah peti dan dibopong hingga tiba ke rumah Wirakoesoemah.

Sekitar tanggal 27-28 Desember 1845 , keadaan Moenada yang semakin parah akhirnya membuat Raden Naranata mengambil keputusan untuk menghabisi nyawa Moenada sebagai salah satu cara untuk menghilangkan jejak pembunuhan. Di tangan Rana Djibja, salah satu dalang pembunuhan Nagel, Moenada akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya dengan cara dipenggal kepalanya. Kemudian kepala Moenada ditanam di kebun bambu yang terletak di bagian timur rumah Wirakoesoemah. Sedangkan badannya dibalut dengan tikar dan kemudian ditenggelamkan dan ditindih dengan batu besar. Sayang, banjir hebat yang terjadi pada 1 Januari 1846 menghanyutkan tubuh tanpa kepala Moenada sehingga beberapa orang melihatnya.

Sebagai cara lain untuk menghilangkan jejak atas pembubuhan ini, Raden Naranata menyuruh juru tulisnya, Raden Wiria, untuk mengaku sebagai Moenada dan memerintahkannya untuk keluar-masuk kampung agar masyarakat meyakini bahwa Moenada masih hidup. Selain itu, Naranata juga melakukan tindakan terhadap mereka yang melihat mayat Moenada, yaitu dengan memaksanya untuk mengaku bahwa orang-orang tersebut melihat Moenada masih hidup. Jika orang-orang tersebut bersikukuh untuk tidak mengikuti perintah Naranata, maka orang tersebut akan disiksa. Jika masih tidak mempan juga, maka orang tersebut akan diberikan sejumlah uang.

Referensi:

Hilman, Iman. (1981). Peristiwa Pembunuhan Asisten Residen Nagel Tahun 1845. Jakarta: Seminar Sejarah Nasional Ke III Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan

Ditulis juga di http://aryawasho.wordpress.com/2013/01/22/permainan-mafia-ala-raden-naranata/

Iklan

3 pemikiran pada “Permainan Mafia Ala Raden Naranata

  1. “Jika orang-orang tersebut bersikukuh untuk tidak mengikuti perintah Naranata, maka orang tersebut akan disiksa. Jika masih tidak mempan juga, maka orang tersebut akan diberikan sejumlah uang.”

    kok rada aneh? kalo bersikukuh disiksa… kalo tidak mempan dikasih uang. apa gak terbalik?

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s