Aleut Jelajah Kamp Konsentrasi dan Kompleks Kawasan Pegunungan Bandung

Oleh : Hani Septia Rahmi (@tiarahmi)

13 Januari 2013

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”

Pramoedya Ananta Toer

Kata-kata inilah yang mendorong saya untuk menuliskan kisah perjalanan saya bersama teman-teman dari Komunitas Aleut menjelajahi kawasan kamp konsentrasi dan komplek nama jalan pegunungan.

Kegiatan aleut kali ini diawali dengan berkumpul di startpoint di Sumur Bandung no 4, sekretariat aleut. Setelah semua Aleutian berkumpul, perjalanan aleutpun dimulai. Dengan menggunakan angkot (karena titik awalnya lumayan jauh dari startpoint), rombongan aleut menuju SMIP Shandy Putra di Jalan Palasari no 1.

Bangunan ini diresmikan menjadi sekolah pada 3 Januari 1990 oleh Mentri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi saat itu Soesilo Soedarman. Awalnya sekolah ini dikhususkan untuk pendidikan dan pengajaran bagi anak-anak pegawai Telkom atau PT Pos dan Giro yang tertarik dalam bidang Industri Pariwisata kemudian terbuka untuk masyarakat umum yang tertarik dibidang tersebut . Dari penjelasan salah satu teman Aleut, Fitria Qodriani, sekolah ini memiliki tiga spesifikasi jurusan yaitu Usaha Perjalanan Wisata, Akomodasi Perhotelan dan Jasa Boga yang dapat dibedakan dari pakaian yang dikenakannya.

Kemungkinan besar banguann SMK Sandhy Putra ini dahulunya merupakan bekas rumah dari kalangan menengah. Memang daerah Karees dan Cikudapateuh merupakan wilayah perumahan untuk kalangan menengah. Sedangkan kawasan dago untuk warga menengah ke atas dan wilayah Jl. Sabang, Jl. Pulolaut, Jl. Cihapit untuk warga menengah ke bawah.

Dari SMK Sandhy Putra, rombongan Aleut bergerak menuju jalan yang sekarang dikenal dengan nama Jalan Gatot Subroto. Dahulu jalan ini Jl. Papandayan. Di Pertigaan Jl. Gatot Subroto dan Jl. Malabar terdapat dua rumah identik yang terletak bersebrangan. Satu bercat abu-abu dan satu lagi putih. Kedua rumah ini merupakan hasil karya calon presiden Indonesia pertama di kemudian hari, Ir. Soekarno. Mengikuti kebiasaan biro arsitektur pada zaman itu, pada setiap karya, Soekarno menyertakan sebuah plakat yang biasa terletak pada bagian bawah dari nomor rumah. Namun disayangkan, plakat-plakat tersebut telah raib dicopot. Kedua bangunan ini sekarang ada yang berfungsi sebagai sekretariat FORMI (Federasi Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia)  dan dipakai sebagai kost-kostan untuk mahasiswa dan pegawai.

Perjalanan kami belum berakhir, setelah jajan di circle k dan jajan bakso, rombongan menyusuri gang dan menemukan sungai Cikapundung buatan. Sepanjang sungai dapat disaksikan hitamnya air sungai bercampur dengan sampah-sampah yang dibuang secara sembangan diselingi di beberapa gorong-gorong.

Gorong-gorong mengingatkan saya pada salah satu section  film  “Batman, Dark Knight Risses” ketika Gordon mengejar pria Stryver ke dalam selokan. Saya mulai berpikir jangan-jangan ada sesuatu di gorong-gorong kota Bandung.  Dan ternyata si gorong-gorong punya cerita yang berhubungan dengan Kamp konsentrasi dan pelarian interniran.

Kamp Konsentrasi, suatu tempat untuk mengumpulkan dan menahan lawan politik, tahanan atau tawanan yang biasanya didirikan pada saat perang atau masa krisis disuatu negara. Tak kecuali Indonesia (khususnya Kota Bandung), pernah memiliki beberapa kamp konsentrasi pada masa perang dunia II. Beberapa wilayah yang pernah dijadikan kamp konsentrasi seperti Cimahi, Bangka, Cihapit, Cikudapateuh, dan Karaes.

Kamp konsentrasi Karaes dibatasi oleh Jalan Papandayan (Jl. Gatot Subroto), Tangkubanperahu (Jl. Pelajar Pejuang 45), Halimun, Wayang, Burangrang. Kamp ini digunakan muali desember 1942 hingga desember 1944. Menampung kurang lebih 6000 orang wanita/ anak-anak. Sekitar November-Desember 1944 5500 wanita/anak-anak dipindahkan ke Batavia, Bogor, Ambarawa sementara 500 orang lainnya dipindahkan ke Cihapit.

Keadaan kamp interniran laki-laki dan remaja bisa dikatakan cukup memprihatikan karena para tahanan harus bekerja keras dan melelahkan tanpa cukup asupan makanan yang bergizi ataupun bervitamin. Badan mereka menjadi kurus, lemah, dan sering sakit. Izin sakitpun sulit suit diberikan. Dalam sakitnya para makanan  harus tetap bekerja. Bila sudah tidak berdaya atau hampir mati, barulah mereka diobati atau dibawa ke rumah sakit. Namun nasib yang lebih baik berada di dalam kamp interniran wanita dan anak-anak. Para tahanan wanita tidak harus selalu bekerja dan masih dapat berkumpul antar sesama. untuk memperoleh jatah makan lebih, para wanita baru bekerja mengosogkan rumah-rumah diluar kamp yang akan digunakan tentara Jepang atau berusaha mendapat pekerjaan di dapur. Anak-anak masih bisa bermain ke sana-kesini di dalam kamp tanpa ada batasan. Persediaan obat-obatanpun masih dapat dibilang cukup memadai dibandingkan dalam kamp konsentrasi laki-laki dan remaja. Terkadang ada beberapa orang dari kamp konsentrasi laki-laki dan remaja mencoba peruntungan untuk mendapatkan obat-obat ataupun tambahan makanan dari kamp wanita dan anak-anak. Salah satu dengan melalui riol/ gorong-gorong saluran air.

Seperti sepenggal kisah yang ditulis oleh Pans Schomper melewati sebagaian remajanya dalam Kamp. Konsentrasi yang tertuang dalam autobiografinya “Selamat tinggal Hindia, janjinya pedagang telur ” mungkin dapat menjadi gambaran keadaan.

“… Bersama-sama dengan seregu dari L.O.G. kami mendapatkan bahwa di belakang barak kami terletak riol dan hal itu membuka berbagai peluang. Setelah diselidiki lebih lanjut, ternyata riol itu bermuara disebelah luar pagar, di selokan yang dalam dan terbuka melalui padang rumput. Dengan membungkuk kami dapat berjalan melalui riol dan dengan demikian keluar dari kamp. Rupanya keadaan ini tidak tercantum dalam pola komplek kamp sehingga penguasa-penguasa  Jepang tidak mengetahuinya. Disamping itu kami menemukan bahwa, bila kami melintasi padang rumput kami dapat turun ke dalam riol berikutnya. Bila riol itu dilalui, akhirnya keluar di kamp perempuan Karaes…… Kami memutuskan untuk mengunjungi kamp perempuan dalam kelompok-kelompok kecil untuk mencoba memperoleh makanan dan obat-obatan dari Palang Merah, seperti tablet SG, diturunkan dari dari Dagenan, cikal bakal antiobitika.”

Puas bercerita tentang si gorong-gorong, kamp konsentrasi dan para interniran, para Aleutian melanjutkan perjalanan melewati komplek perumahan PJKA hingga kami menemukan SD Negeri 1,2,3,4,5,6 Centeh di jalan Centeh 5. Komplek SD ini merupakan salah satu bangunan peninggalan kolonial yang masih bertahan dikota Bandung. Anehnya, bangunan ini luput dari perhatian dua penulis buku tentang Bandung , Haryanto Kunto dan Sudarsono Katam. Minimnya informasi tentang sekolah ini menyebabkan minim pula cerita yang dapat diceritakan. Hanya dua plakat yang pada salah satu pintu gerbang yang meninggalkan jejak kisah masa lalu bangunan ini.

Arthur Chatelin, Kepala Departemen IEV Bandung bersama koleganya (O. Tissing dan Th. B. Th. Van de Laar) menggagas pembangunan kompleks “Kweekschool met Leerschool” pada  11 Mei 1922. Batu pertama bangunan ini diletakkan oleh anak perempuan France Jeanne Aloysa setahun setelahnya, 19 Mei 1923. Komplek bangunan ini dirancang oleh J. C. A.  Reuneker dan dibantu oleh Beck dan Van De Laar sebagai ahli konstruksinya. Selesai dikerjakan pada 1 Agustus 1923.

Tak Jauh dari SD Centeh terdapat Stasiun Cikudapateuh. Nama wilayah ini cukup unik dan membekas dalam pikiran saya karena saya sering salah dalam menyebutkan wilayah ini. Komunikasi dilakukan melalui perjalanan darat menggunakan kereta kuda. Si kuda-kuda tersebut akan diistirahatkan pada istal kuda (disebut “Banceuy” dalam bahasa Sunda) setelah menempuh jarak mil. Selain di wilayah banceuy, Bandung memiliki beberap wilayah istal kuda yaitu dibelakang hotel Grand Preanger dan Cikudapateuh. Cikudapateuh merupakan istal kuda khusus menampung kuda-kuda catat (“pateuh” dalam bahasa Sunda artinya catat yang biasanya diakibatkan patah tulang). Banceuy-banceuy itu biasanya dikelola oleh warga Tionghoa. Disekitaran Banceuy terdapat pesanggrahan untuk pengendara. Setelah beristirahat, pengendara tidak akan menggunakan kuda yang sama, oleh karena itu perlu dilakukan pemisahan antara kuda cacat dan kuda sehat. Daerah Cikudapateuh pernah juga dijadikan kamp konsentrasi yang menampung tahanan laki-laki dan remaja.

Berjalan menyusuri sebagian kecil Kota Bandung, menuliskan banyak cerita jika kita mau mengenal dan mencintainya

Catatan

Riol : saluran pembuangan air (di tepi jalan dsb)

L.O.G. : ‘sLands Opvoeding Gesticht – Lembaga Pendidikan Negara

Referensi :

–          Voskuil, Robert P.G.A. 1996. Bandung Citra Sebuah Kota.

–          Pans Schomper. 1996. Selamat Tinggal Hindia, Janjinya Pedagang Telur. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama

–          Buku Sudarsono Katam tapi lupa judulnya

NB : Fotonya nyusul

Iklan

Satu pemikiran pada “Aleut Jelajah Kamp Konsentrasi dan Kompleks Kawasan Pegunungan Bandung

  1. Ping balik: SDN Centeh Dulunya Tempat Praktik Lulusan Sekolah Radja | Serba Bandung

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s