Sekitar Bandung Lautan Api: “MMR Kartakusuma” Bagian 3

Oleh Komunitas Aleut

Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan Sekitar Bandung Lautan Api: “MMR Kartakusuma”

Tulisan Bagian 1 bisa dibaca di sini, dan Bagian 2 di sini.

AGRESI MILITER II DAN GERILYA

Sebenarnya sejak bulan September 1948 sudah datang ke Sumatra Kol AE Kawilarang dan Ibrahim Ajie, namun tidak diperhatikan oleh Panglima Suharjo. Dalam keadaan menganggur, Kol Kawilarang turut andil mengantarkan surat-surat dari Kartakusumah kepada seorang gadis Minang bernama Nursyah yang kelak dipersunting sebagai istri oleh Kartakusumah.

Setelah Kolonel Hidayat memimpin, barulah Kol Kawilarang menjadi Komandan Sub Territorium VII Sumatra dan Ibrahim Ajie menjadi Kepala Stafnya. Ketika terjadi Agresi Militer Belanda kedua yang menyerang ibu kota RI di Yogyakarta, pada hari yang sama sebuah pesawat terbang berputar-putar di atas Bukittinggi dan menyebarkan pamflet yang berisi pernyataan bahwa Belanda membatalkan Perjanjian Renville dan akan melancarkan agresinya.

Keesokan harinya beberapa pesawat terbang Belanda muncul dan melakukan penembakan dan pemboman terhadap beberapa gedung seperti RRI dan asrama tentara di Bukittinggi. Salah satu bangunan yang terkena bom adalah Markas Komando T&T Sumatra tempat Kartakusuma bertugas. Mayor Yacub Lubis yang terkena serpihan bom gugur seketika.

Kolonel Hidayat segera mengeluarkan perintah untuk melawan dengan perang gerilya, setelah itu berangkat jalan darat ke Aceh bersama Kapten Islam Salim, putera Agus Salim, dan beberapa pengawal. Kartakusuma tetap berada di Sumatra Barat dengan basis Bonjol. Dalam gerilyanya Kartakusuma bergerak ke beberapa daerah lain, seperti Suliki, Kototinggi, dan Rao. Kartakusuma bertahan terus di wilayah ini sampai perang gerilya berakhir dan Belanda mengakui kedaulatan Indonesia.

GADIS MINANG

Suatu hari di tahun 1948, dalam rangka mobilisasi pemuda dan pelajar untuk ikut mempertahankan kemerdekaan, diadakan apel yang dihadiri oleh pemuda pelajar, siswi-siswi Sekolah Kepandaian Puteri, polisi, dan tentara. Yang menjadi komandan upacaranya adalah Kartakusuma. Pada saat itulah seorang gadis yang hadir menjadi pusat perhatian Kartakusuma. Untuk mencari tahu tentang gadis itu, Kartakusuma minta tolong seorang Letnan dan mempersilakan dia untuk memacari sang gadis.

Didapatlah informasi nama gadis itu, Nursyah binti Bustaman, siswi kelas 3 SKP Bukittinggi dan tinggal di atas ngarai. Asalnya dari Sungayang, Batusangkar. Dalam sebuah pesta perwira bersama tokoh-tokoh sipil, Kartakusumah meminta agar Letnan itu mengajak Nursyah, dan dalam acara itulah mereka pertama kali saling berkenalan. Usai acara Kartakusuma mengantar Nursyah pulang dengan berjalan kaki. Tentu saja orang tua Nurysah terkejut karena yang mengantarkan putri mereka pulang adalah seorang perwira.

Setelah pertemuan kedua, Kartakusuma menyampaikan keinginannya untuk melamar Nursyah dan diterima oleh orang tuanya, tinggal menunggu waktu yang tepat untuk melangsungkan pernikahan. Namun karena adanya Agresi Militer II Belanda, semuanya harus ditunda. Kartakusuma melakukan gerilya, sedangkan Nursyah dan keluarganya mengungsi dengan menggunakan truk ke Batusangkar.

Usai perang gerilya, Kartakusuma kembali ke Bukittinggi sedangkan Nursyah masih di Batusangkar. Dengan bantuan seorang teman, Nursyah dapat dapat datang ke Bukitting dan bertemu Kartakusuma. Melalui paman Nursyah, kembali Kartakusuma melamar dan meminta agar diteruskan ke orang tuanya. Pada saat ini pula Kartakusuma justru disibukkan oleh urusan srah terima pemerintahan dari Belanda ke Indonesia, sehingga akad nikah di Batusangkar tanggal 24 Oktober 1949 terpaksa dilangsungkan dengan perwakilan.

Setelah beberapa bulan dan sudah bertugas di Medan, Kartakusumah masih tidak punya waktu untuk menjemput istrinya di Batusangkar, sehingga akhirnya mengirim temannya, Kapten Sofyan Juned, untuk datang ke Batusangkar menjemput Nursyah. Dalam perjalanan ke Medan, mereka sempat menginap di rumah Mayor Ibrahim Ajie yang saat itu menjadi Komandan Resimen Tapanuli di Sibolga. Di Medan Kartakusuma dan istrinya mengadakan acara resepsi sederhana sebagai wujud rasa syukur karena telah resmi berstatus suami-istri. Pada tanggal 4 Mei 1951 lahir anak pertama mereka yang diberi nama Tisnaya Irawan Kartakusuma.

PEMERINTAH DARURAT REPUBLIK INDONESIA

Sebelum pasukan Belanda memasuki Istana Negara  tempat kabinet sedang melakukan sidang darurat, Wakil II KSAP Kolonel TB Simatupang mengajukan usula kepada Perdana Menteri Moh. Hatta agar mengirim radiogram kepada Menteri Syafrudin Prawiranegara di Bukittinggi untuk membentuk suatu pemerintahan darurat. Radio Republik Indonesia di Yogyakarta  terus menerus menyiarkan sandi “Ibu Pertiwi Memanggil. Ibu Pertiwi Memanggil” yang menandakan bahwa Agresi Militer II Belanda telah dimulai.

 Atas desakan Kolonel Hidayat, maka pada 22 Desember 1948 di daerah gerilya di Halaban, Syafrudin Prawiranegara membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia lengkap dengan menteri-menterinya yang akan memimpin perjuangan di forum internasional untuk mempertahankan kedaulatan NKRI. Beberapa hari kemudian, Panglima Besar Sudirman mengirim radiogram  yang menyatakan bahwa seluruh jajaran TNI berdiri di belakang Pemerintah Darurat Republik Indonesia dan akan melaksanakan Perang Rakyat Semesta.

Selama memimpin Perang Rakyat Semesta di Sumatra, Kolonel Hidayat berjuang tangguh tanpa lelah. Perjalanan inspeksi berjalan kaki keliling mengikuti operasi pasukan dengan hanya ditemani oleh Kapten Islam Salim dan Kapten Yusuf Ramli, berjalan sepanjang 3000 kilometer, dari Bukittinggi hingga ke Kotaraja (Banda Aceh). Menerobos garis-garis pertahanan Belanda di lereng pergunungan Bukit Barisan melalui jalan-jalan desa di Sumatra Barat, Riau, Padang Lawas, Tapanuli, dan Aceh.

Belanda mencatat ada sekitar 800 kali kontak senjata antara TNI dan Belanda selama Agresi Militer II 1948-1949, tetapi Kolonel Surbakti dalam bukunya tentang Perang Gerilya mencatat ada sekitar 2000 kali kontak senjata. Setelah perundingan Roem-Royen tanggal 7 Mei 1949 yang salah satu keputusannya adalah pengembalian Pemerintah RI ke Yogyakarta dan pasukan Belanda ditarik mundur dari Yogyakarta.

Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta mengutus satu delegasi untuk menjemput  Syafrudin Prawiranegara dari daerah gerilya di Kenagarian VII Koto Talago, Kabupaten 50 Kota. Selain Syafrudin ada juga Moh. Natsir, dr. Leimenda, dan dr. Halim. Pada tanggal 10 Juli 1949 rombongan Syafrudin tiba di Yogyakarta dan pada 13 Juli 1949 menyerahkan mandatnya kembali kepada Sukarno dan Hatta.

Ketika AH Nasution menjabat sebagai KSAD menggantikan GPH Jatikusumo, ia berusaha menyempurnakan struktur organisasi MBAD dan mengubahnya menurut organisasi militer Amerika. Nasution mempercayakan posisi Staf Umum Angakatan Darat (SUAD) VI kepada Letkol Kartakusuma. Dengan menggunakan kapal laut Willem Ruys, Kartakusuma dengan istri dan anaknya berangkat dari Medan menuju Jakarta dan untuk sementara tinggal di Hotel Des Indes.***

Iklan

2 pemikiran pada “Sekitar Bandung Lautan Api: “MMR Kartakusuma” Bagian 3

  1. Ping balik: Sekitar Bandung Lautan Api: “MMR Kartakusuma” Bagian 1 | Dunia Aleut!

  2. Ping balik: Sekitar Bandung Lautan Api: “MMR Kartakusuma” Bagian 2 | Dunia Aleut!

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s