Oleh: Komunitas Aleut
Dalam tulisan sebelumnya tentang pembentukan organisasi militer di Indonesia sudah diceritakan bagaimana operasi militer di Pulau Jawa dibagi ke dalam 7 divisi. Mulanya dinamai dengan sistem nomor, mulai dari Divisi I di Jawa Barat sampai Divisi VII di Jawa Timur. Berikutnya, divisi-divisi tersebut menggunakan nama-nama yang mewakili sejarah kepahlawanan lokal masing-masing seperti dalam kutipan berikut ini:
“Ketujuh divisi di atas kemudian menggunakan nama masing-masing sebagai berikut: Divisi I Siliwangi, Divisi II Sunan Gunung Jati, Divisi III Diponegoro, Divisi IV Panembahan Senopati, Divisi V Ronggo Lawe, Divisi VI Norottama, dan Divisi VII Surapati.” (Letjen TNI MMR Kartakusuma; Sosok Prajurit dan Pemikir” karangan Hikmat Israr. Budaya Media, Bandung, 2012)
Walaupun cukup banyak informasi yang bisa didapatkan seputar nama-nama divisi tersebut, namun dalam tulisan ini yang khusus tentang Divisi Siliwangi, ternyata tidak mudah mencari kronologi yang lengkap, beberapa buku yang mention proses pembetukannya kadang tidak bersesuaian cerita detailnya.
DIVISI I SILIWANGI
Umumnya tulisan-tulisan seputar Divisi Siliwangi menyebutkan asal-usul Divisi Siliwangi merupakan perubahan langsung dari peleburan 3 divisi di bawah Komandemen I Jawa Barat. Ketiga divisi itu adalah: Divisi I (Banten-Bogor) dipimpin Kolonel KH Sam’un, Divisi II (Cirebon-Jakarta) dipimpin Kolonel Asikin, dan Divisi III (Priangan) dipimpin Kolonel Aruji Kartawinata. Maksudnya, ketika tiga divisi di atas digabung pada 20 Mei 1946 menjadi hanya satu divisi dengan wilayah operasional seluruh Jawa Barat, namanya sudah langsung Divisi Siliwangi.
Buku “Bandung Awal Revolusi 1945-1946” karangan John RW Smail (Kabandung, Jakarta, 2011) menuliskan kalimat berikut ini: “Pada awal 1946, divisi ini telah menjadi organisasi yang fungsional. Hal ini salahsatunya terlihat dari keberhasilannya menarik dan menguasai dua resimen badan perjuangan. Pada Mei, Divisi Siliwangi, menggantikan Komandemen Jawa Barat yang sudah hampir mati sebagai unit badan militer yang meliputi seluruh Jawa Barat”.
Begitu juga dengan kedua buku berikut ini: “Risalah Perjuangan Kemerdekaan di Daerah Bandung Utara-Karawang Timur dalam Perang Kemerdekaan Indonesia 1945-1949” karangan Maman Sumantri (Yayasan Pembina Lembaga Pendidikan PGRI daerah Tingkat I Jawa Barat, 1995) tertulis kalimat berikut: “Dalam rangka pelaksanaan Reorganisasi Tentara sebagai tindak lanjut dari Maklumat Pemerintah tertanggal 25 Januari 1946, Komandemen I Jawa Barat dengan 15 Resimennya dan 3 Divisinya ( Divisi I, II , dan Ill ) pada tanggal 20 Mei 1946 dilebur menjadi satu Divisi dengan nama Divisi I Siliwangi”.
Lalu buku “Letjen TNI MMR Kartakusuma; Sosok Prajurit dan Pemikir” karangan Hikmat Israr (Budaya Media, Bandung, 2012) memuat tulisan berikut: “Kemudian hari, bertepatan dengan hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1946, ketiga divisi dimana Kartakusuma sempat menjadi formatur dan Kepala Staf tersebut, dilebur menjadi Divisi ‘Siliwangi’, yang membawahi lima brigade, yaitu: Brigade I/Tirtayasa di Banten, Brigade II/Suryakencana di Sukabumi, Brigade III/Kian Santang di Purwakarta, Brigade IV/Guntur di Priangan (Pada saat itu masih dalam taraf persiapan, kelak terselenggara menjadi Guntur I dan Guntur II), dan Brigade V/Sunan Gunung Jati di Cirebon.”

Buku “Siliwangi dari Masa ke Masa” menulis: “Setelah terbentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR ) di Jawa Barat berdasarkan dekrit Presiden tanggal 5 Oktober 1945 yang merubah Badan Keamanan Rakyat (BKR) menjadi TKR , maka berdirilah Komandemen I Jawa Barat yang terdiri dari 3 (tiga) Divisi . Kemudian ketiga Divisi ini disatukan menjadi satu Komando Divisi.
Dan pada pertengahan bulan Mei 1946 para Panglima Divisi di Yogyakarta mengadakan rapat untuk menetapkan nama Divisi , akhirnya nama Siliwangi ditetapkan untuk Divisi Jawa Barat . Maka pada tanggal 20 Mei 1946 Komandemen I Jawa Barat diresmikan menjadi Divisi Siliwangi dengan Panglima pertamanya ditetapkan Jenderal Mayor AH Nasution dan markasnya berkedudukan di Tasikmalaya.”
Pada bagian lain buku “Siliwangi dari Masa ke Masa” tertulis: “Dalam Sejarah Militer KODAM VI / Siliwangi hingga saat ini mengenai susunan dan personalia pimpinan Komandemen I Jawa Barat sampai dengan tanggal 20 Mei 1946 , yakni tanggal mulai dipergunakannya nama SILIWANGI …”
Kemudian, “Sebagaimana telah disebutkan di atas , pada tanggal 20 Mei 1946 , Komandemen 1 Jawa Barat meresmikan nama ” SILIWANGI” menjadi tanda pengenalnya , menjadi nama kebesarannya. Pada hakekatnya langkah itu mencerminkan usaha- usaha konsolidasi daripada daya- mampu militer Indonesia di Jawa Barat . Paling tidak , langkah itu berarti secara diam -diam telah menuju kepada peleburan ketiga divisi dari Komandemen 1 Jawa Barat ke dalam satu pimpinan menjadi satu komando.”

KETERANGAN YANG BERBEDA
Keterangan yang agak berbeda kami temukan dalam buku Djen Amar, “Bandung Lautan Api” (Penerbit Dhiwantara, 1963) yang menyebutkan bahwa Resimen Perjuangan (di Jawa Barat) difusikan menjadi Divisi Siliwangi di Tasikmalaya pada tahun 1947. Kalimat persisnya: “Kemudian, setelah mundur 11 km dari kota Bandung, Soetoko mendjadi Kornandan dari Resirnen Tentara Perdjoangan, jang terdiri dari Pasukan2 dan Lasjkar2 jang administratip dibawah Biro Perdjoangan MBT, tetapi taktis berada dibawah Divisi III. Tahun 1947, dikota Tasikmalaja, barulah Resimen Perdjoangan ini difusikan kepada Divisi “Siliwangi”.
Dalam buku biografis “AE Kawilarang; Untuk Sang Merah Putih” yang ditulis oleh Ramadhan KH (Sinar Harapan, Jakarta, 1988), tertulis seperti ini:
“Tercatat, bahwa pada tanggal 20 Mei 1946 mulai dipergunakannya nama ‘Siliwangi’, nama resmi untuk organisasi atau susunan militer buat Jawa Barat. Katanya, pemberian nama itu diilhami oleh kebesaran Jawa Barat di masa lampau, di mana Prabu dan keprabuan Siliwangi beroleh ketenaran.
Seingat saya nama Divisi Siliwangi baru diberikan pada permulaan tahun 1947. Sebelumnya masih disebut Divisi-I. Demikian pula baru kira-kira di bulan Maret 1947 ada kawat dari Divisi yang menyebutkan supaya Brigade II mencari nama yang pantas untuk brigade itu. Dan kemudian nama “Suryakancana” (Raja Sunda terakhir di abad ke-16) pun kami tetapkan.” Alex Evert Kawilarang adalah Panglima Tentara dan Territorium III Jawa Barat (sering ditulis juga sebagai Panglima Divisi Siliwangi ke-5) dalam periode November 1951-Augustus 1956.
Sejalan dengan Kawilarang, AH Nasution dalam memoarnya “Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 1; Kenangan Masa Muda” (PT Gunung Agung, Jakarta, 1984) ada informasi sebagai berikut: “Putusan Presiden untuk memberikan panji dan nama kepada tiap divisi, amat membantu kepentingan rasa serumpun ini. Satu peleton Siliwangi pergi ke Yogya untuk menerima Panji Siliwangi dari tangan Presiden. Pada tanggal 20 Mei 1947 Panji Siliwangi diperkenalkan secara resmi kepada umum dalam suatu parade perayaan ulang tahun Siliwangi di Alun-alun Tasikmalaya.
Diciptakanlah emblim Siliwangi, untuk tiap seragam prajurit, yang berpusat kepada kepala macan di atas dasar putih, sehingga di waktu-waktu itu ada yang menyebutnya “macan putih”. Di tahun 50-an dasar putih itu diganti menjadi hijau.”
Tentang emblem yang disebut di atas dan tentang penamaan “Siliwangi” untuk Divisi I ada informasi menarik yang sampai saat ini belum kami temukan lagi di buku-buku lainnya selain dalam buku yang akan diceitakan di bawah ini.
EMBLEM SILIWANGI
Buku yang dimaksud di atas berjudul “ Kehidupanku Bersama Barli” karangan Nakisbandiah dengan editor Ramadhan KH (Bale Seni Barli Kota Baru Parahyangan, Padalarang, 2004). Pada subjudul “Barli Membuat Lambang Macan Siliwangi” disebutkan juga bagaimana nama “Siliwangi” diusulkan untuk nama Divisi I.
“Suatu saat setibanya Kolonel AH Nasution dari Yogyakarta dalam rangka pembentukan Divisi I, diadakan rapat staf untuk menentukan nama untuk Divisi I, cerita Pak Daddy (S. Wirakusumah, Kom. Pol. Purn.). Dalam rapat staf tersebut Letkol Doejeh Soeharsa (alm) mengusulkan agar Divisi I diberi nama “Siliwangi.” Karena berdasarkan hikayat ada kaitannya antara Prabu Siliwangi dengan Sancang/Maung Lodaya (harimau dari Lodaya), maka lambang Siliwangi ditetapkan gambar “Macan Lodaya.”
Setelah usulan itu diterima dan menjadi keputusan rapat staf, beberapa bulan sebelum HUT Divisi I yang pertama pada 20 Mei 1947, Panglima Divisi I Kol. AH Nasution mengutus seorang perwira untuk menemui pelukis Barli yang waktu itu menjadi anggota Himpunan Pelukis Perang di Jalan Tawangsari, Tasikmalaya, dengan maksud merencanakan pembuatan lambang/emblem untuk Prajurit Divisi I Siliwangi. Kemudian Barli membuat dua konsep gambar Macan Lodaya, satu dilihat dari depan dan satu dilihat dari samping, di bagian bawah ada singkatan “SLW”.
Nasution menyetujui rancangan dan usulan Barli untuk memilih gambar yang tampak depan. Lalu dibuatlah Surat Perintah Panglima yang ditandatangani oleh Nasuiton yang berisi agar Barli membuat emblem untuk keperluan seluruh prajurit Divisi I Siliwangi.
Pembuatan emblem dikerjakan oleh Pak Emay, pemilik Emay Taylor di Jalan Stasion No.29 Tasikmalaya. Sementara bahannya menggunakan kain biasa. Kebetulan Pak Emay juga sedang mengerjakan pesanan membuat pakaian seragam untuk prajurit Siliwangi.
Emblem kain berhasil diselesaikan dan dapat dipakai dalam acara HUT Divisi I Siliwangi pada 20 Mei 1947 di Alun-alun Tasikmalaya. Panglima Nasution tak ketinggalan ikut memakainya.
Jadi, menurut Daddy S. Wirakusumah yang ceritanya dikutip dalam buku Nakisbandiah ini, pada saat pembentukan Divisi I di Yogyakarta itu, belum disematkan nama “Siliwangi” karena nama itu baru diajukan oleh Letkol Doejeh Soeharsa setelah Nasution kembali ke Tasikmalaya dari Yogyakarta. Alur ini lebih kurang sejalan dengan yang diceritakan oleh AE Kawilarang dan AH Nasution yang sudah disampaikan di atas.***
