Oleh: Komunitas Aleut
Tulisan ini mencoba meringkas sejarah terbentuknya organisasi milter di Indonesia, dimulai dengan pembentukan Heiho dan PETA pada maja Jepang hingga lahirnya TNI (Tentara Nasional Indonesia). Bahan utama kami ambil dari buku “Mari Bung, Rebut Kembali” karangan R.H.A. Saleh (Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2000) dan sebagian lainnya dari buku “Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI; Zaman Jepang dan Zaman Republik” (Tim Penulisan Sejarah Indonesia, Balai Pustaka, Cet. 7, 2017) dan buku “Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 1; Kenangan Masa Muda” karangan A.H. Nasution (P.T. Gunung Agung, Jakarta, 1982).
Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) mengadakan sidangnya yang pertama dan secara aklamasi memilih Sukarno dan Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI. Selain itu juga ditetapkan Undang-Undang Dasar RI dan membentuk lembaga-lembaga pemerintahan. Yang masih belum ditetapkan dalam sidang ini adalah soal pertahanan negara.
Pada sidang PPKI tanggal 19 Agustus 1945 keluar ketetapan pembentukan 12 departemen, pembentukan 8 provinsi, dan pembentukan kabinet presidensial yang pertama. Salah satu departemen itu adalah Departemen Keamanan Rakyat, namun Menteri Kemanan Rakyat-nya belum diangkat. Salah seorang anggota PPKI, Oto Iskandar di Nata, mengusulkan agar organisasi militer pada masa Jepang, Heiho dan PETA, dihapus saja, untuk menghindari tuduhan bahwa Indonesia akan melaksanakan konsep Jepang untuk melawan Sekutu. Sidang PPKI menyetujui usulan ini dan meminta Jepang untuk membubarkan kedua organisasi itu pada hari itu juga.

Sebetulnya pada hari itu juga di asrama Mahasiswa Sekolah Tinggi Kedokteran (Ika Kaidahu) di Jalan Prapatan 10 meminta kepada Sukarno agar PETA dan Heiho dijadikan sebagai tentara nasional. Sukarno menyetujuinya, namun terlambat, karena sidang PPKI sudah membuat keputusan dan memang hari itu juga Jepang mulai melakukan perlucutan terhadap semua kesatuan PETA dan Heiho.
Saat itu banyak anggota PETA yang tidak menyadari perkembangan keadaan, sehingga ketika dilucuti, mereka pikir sedang mendapatkan cuti panjang dan kembali ke kampungnya masing-masing. Jepang memang dengan sengaja menjauhkan anggota PETA dan Heiho dari lingkungan masyarakat, sehingga tidak banyak mengetahui keadaan di luar. Hanya sedikit saja anggota PETA dan Heiho yang punya akses informasi ke dunia luar.
PEMBENTUKAN BKR
Tanggal 22 Agustus 1945 pemerintah RI mengumumkan pembentukan Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP) yang memiliki satu bagian yang disebut Badan Keamanan Rakyat (BKR). Ada maksud terselubung dalam BKR yang disamarkan sebagai bagian dari badan sosial BPKKP, tertutama terhadap pihak Sekutu agar tidak dianggap sebagai pelaksana konsep Jepang dibanding dengan bila secara jelas membentuk tentara nasional.
Dalam pidatonya pada 23 Agustus 1945, Sukarno meminta agar eks anggota-anggota PETA dan Heiho bergabung ke dalam BKR. Mereka inilah yang kemudian akan menjadi penggerak-penggerak utama pembentukan dan pembinaan BKR di daerah. Walaupun resminya BKR adalah badan sosial biasa, namun dalam pelaksanaannya memiliki struktur organisasi dan fungsi seperti tentara. Eks PETA dan Heiho yang masih kuat dipengaruhi pelatihan kemiliteran pada masa Jepang berusaha keras mempersenjatai diri.
Di daerah, kelompok-kelompok BKR dikelola oleh KNI (Komite Nasional Indonesia) masing-masing yang umumnya terdiri dari para tokoh masyarakat. Praktis tidak ada garis komando dari Kepala BKR Pusat, Kasman Singodimejo, tidak pula dari BPKKP, atau KNI yang menjadi induknya, bahkan tidak juga di dalam lingkungan organisasi BKR sendiri. Selain itu, BKR juga tidak mendapatkan dukungan logistik, keuangan, atau administrasi, sehingga setiap kesatuan bersifat mandiri, dan lebih seperti pusat perkumpulan pemuda bersenjata yang berjuang.
Di Bandung ada tiga KNI, masing-masing KNI Jawa Barat yang dipimpin oleh Oto Iskandar di Nata, KNI Priangan dipimpin Hamdani, dan KNI Kota Bandung dipimpin oleh Syamsurizal. Tanggal 27 Agustus 1945 dalam pertemuan antara Residen Priangan R. Puradireja dengan BPKKP yang diketuai oleh Sanusi Harjadinata berhasil membentuk BKR Priangan dengan pemimpinnya Aruji Kartawinata, eks Daidancho PETA, dan sebagai wakilnya adalah Omon Abdurachman, eks perwira PETA.
Selanjutnya, dalam pertemuan di Gedung Sirnagalih di Jalan Pasirkaliki yang dihadiri oleh hampir seluruh eks PETA Priangan, Heiho, dan KNIL, disepakati pembentukan BKR Kabupaten Bandung yang dipimpin oleh Sukanda Bratamanggala, eks Chudancho PETA, lalu BKR Kota Bandung yang dipimpin oleh Suhari, dan BKR Cimahi yang dipimpin oleh Gandawijaya. AH Nasution, eks pemimpin 200 anggota Seinendan di Cigereleng, datang dan menggabungkan diri dalam BKR. Nasution sendiri menjadi penasihat BKR Priangan.
Persenjataan BKR waktu itu masih sangat minim, banyak yang masih menggunakan bambu runcing atau senjata tajam tradisional saja. Penggunaan bambu runcing sebagai senjata mulai dikembangkan pada masa Jepang, sebutannya takeyari. Tentara Jepang memberikan latihan-latihan penggunaan takeyari yang mengharuskan orang berhadapan dengan musuh dalam jarak dekat. Takeyari membangun keberanian dan semangat yang agresif dalam menyerbu dan membunuh.
Sampai bulan September 1945, kekuasaan sipil masih berada di tangan Jepang dan pemerintah RI belum juga mengambil alih secara nyata. Hal ini membuat para pejuang berinisiatif merebut dan mengambil alih kekuasaan Jepang, terutama dari kantor-kantor layanan umum. Upaya pengambilalihan ini tidak selalu berjalan damai, tak jarang terjadi kekerasan fisik sampai menimbulkan korban. Di kalangan kepolisian juga terjadi hal yang sama. Semua orang Jepang yang bekerja di kepolisian dilucuti dan diusir, lalu diganti oleh orang Indonesia.

PEMBENTUKAN TKR
Ketika itu juga di Jakarta, Didi Kartasasmita, eks tentara KNIL yang pernah sekolah militer di Breda, mendatangi Menteri Penerangan Amir Syarifuddin. Katanya, “Saya lulusan KMA Breda dan pernah jadi Letnan I KNIL. Saya merasa terpanggil membantu perjuangan Republik. Apa yang dapat saya kerjakan?” Amir Syarifuddin tertarik, dan setelah mendapat persetujuan presiden, Didi Kartasasmita mendapat tugas membuat maklumat yang isinya pernyataan bahwa para mantan opsir KNIL berdiri di belakang Republik. Maklumat itu harus ditandatangani dan diumumkan ke publik.
Dengan ditemani Rachmat Kartasasmita, seorang lulusan KMA Bandung seangkatan Nasution dan TB Simatupang, Didi Kartasasmita berkeliling menghubungi eks opsir-opsir KNIL yang tersebar di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, dan meminta mereka menandatangani maklumat tersebut. Didi berhasil mendapatkan 13 tanda tangan, termasuk dari senior pensiunan KNIL, Urip Sumoharjo, yang saat itu memilih tinggal di rumah saja.
Opsir-opsir lainnya di antaranya, AE Kawilarang yang sudah menjadi pegawai perkebunan di Sumatra, Hidayat Martaatmaja yang sudah menjadi pegawai sebuah perusahaan angkutan. Didi sendiri, yang sebelumnya pernah menjadi Komandan Detasemen Tempur KNIL di Ambon, saat itu sebenarnya sudah menjadi guru di sebuah sekolah teknik. Yang masih aktif dalam dunia kemiliteran adalah Jatikusumo yang menjadi Chudancho PETA di Yogyakarta, Kusno Utomo dan Suriadarma yang masuk dinas kepolisian, dan AH Nasution yang memasuki Seinendan.
Demikianlah, maklumat yang berisi pernyataan bahwa semua bekas opsir tentara Hindia Belanda sekarang berdiri di belakang Republik itu, kemudian diumumkan kepada publik melalui radio selama 10 hari berulang-ulang. Lalu tanggal 5 Oktober 1945, pemerintah mengeluarkan maklumat singkat tentang dibentuknya Tentara Keamanan Rakyat (TKR) sebagai tentara resmi negara Republik Indonesia. Demikian bunyinya:
Maklumat Pemerintah
Untuk memperkuat perasaan keamanan umum, maka diadakan satu Tentara Keamanan Rakyat.
Jakarta, 5 Oktober 1945
Presiden Republik Indonesia
Soekarno

Bersambung ke Bagian 2
Ping balik: Sekitar Bandung Lautan Api: “Pembentukan Organisasi Militer RI” Bagian 2 | Dunia Aleut!