Penulis: Wikayatul Kamila
Aku jarang bepergian, dan tak pernah menggunakan motor untuk perjalanan yang cukup jauh. Momotoran dari Bandung ke Ciwidey adalah pengalaman pertamaku. Sebelum pergi, Teh Rani memberiku beberapa link tulisan catatan perjalanan berjudul Dewata, katanya kita akan ke sana. Aku membaca tulisan itu sambil mengemasi barang bawaan.
Sebelum berangkat Teh Rani memberiku pesan “Lamun cape atau cangkeul bebeja we nya,” begitu katanya. Kami tiba di Ciwidey sekitar pukul 7 malam, dan menginap di rumah A Eza. Begitu sampai, aku langsung memijat kakiku yang terasa pegal. Di sini kami merayakan tahun baru dengan acara bakar-bakar dan memasak tomyam, lalu setelahnya jalan-jalan ke Alun-alun Ciwidey yang dipadati pedagang dan pengunjung. Saat pergantian tahun, suasana ramai dan banyak kembang api dinyalakan.
Pagi hari di tahun baru, kami segera bersiap untuk berangkat momotoran ke Dewata. Menikmati suasana pagi di atas motor tidaklah buruk, aku menikmati pemandangan sekitar, namun keadaan pagi itu jangan ditanya seberapa dinginnya, tangan serta kaki rasanya seperti membeku.

Kami beristirahat di salah satu warung di Kampung Camara, jajan gorengan dan cuanki. Selagi menunggu cuanki yang sedang dimasak, kami mengobrol dengan ibu penjaga warung. Ibu warung bercerita kalau malam tahun baru di sana sangatlah sepi karena warga di sana banyak yang pulang kampung, ia juga mengatakan hidup di sana seperti hidup di zaman batu, kami semua tertawa dan bertanya alasanya. Katanya, bukan hanya jauh dari perkotaan, tapi di sana juga susah sinyal, sehingga untuk menghubungi keluaga jauh atau sekedar bermain tik-tok saja susah.

Setelah selesai sarapan, kami melanjutkan perjalanan menuju Dewata. Sebelum berangkat aku diberi tahu kalau kondisi jalan di depan adalah jalan batuan khas perkebunan. Jalan batuan yang kami lewati kondisinya lebih buruk dari apa yang aku pikirkan. Aku terus memperhatikan setiap kali ada papan penanda jarak di pinggir jalan yang bertulisan km … Dew, pertama aku lihat km 14 Dew, dan seterusnya. Aku terus menjaga keseimbangan dengan perasaan was-was kala motor yang aku tumpangi melewati batu yang cukup besar. Kadang aku menatap horor kala melihat jalan yang akan kami lalui kondisinya jauh lebih parah dari apa yang kami lewati sebelumnya, namun pada akhirnya tetap bisa dilewati. Sepertinya rekan-rekan seperjalanan ini sudah terbiasa melewati jalan batuan seperti ini.

Beberapa lubang penuh air memaksa menghentikan motor yang aku tumpangi, aku turun dan berjalan kaki. Entah sial atau bagaimana, kakiku terjebak di genangan lumpur, padahal baru beberapa kali saja kaki ini melangkah. Tanpa pikir panjang aku pun membasuh kakiku di genangan air, akibatnya aku merasakan gatal di sepanjang perjalanan. Kedua motor berhenti ketika melihat curug, tentu saja hal pertama yang aku lakukan ketika melihat air bersih yang mengalir adalah membasuh kakiku yang sedari tadi gatal namun susah untuk digaruk.

Setelah momotoran kurang lebih dua jam, kami tiba di Kampung Dewata. Di sini kami mengobrol dengan beberapa ibu-ibu yang sedang berada di luar rumah. Banyak hal seputar Kampung Dewata diceritakan si ibu, termasuk bencana longsor yang pernah terjadi beberapa tahun silam. Sayangnya, kami tidak bisa berlama-lama di Dewata karena harus melanjutkan perjalanan yang tidak bisa kami pastikan akan berlangsung seberapa lama. Kami berangkat pukul 13:30 dari Dewata menuju Karang Tengah, dan melewati hutan sampai tembus ke Pangalengan.

Setelah melewati Perkebunan Teh Dewata, kami mulai perjalanan melewati hutan. Kami harus melewati tanah berlumpur sisa hujan kemarin, tanahnya licin dan agak menjorok ke dalam hingga motor kami cukup sulit melewatinya. Aku dan Teh Rani berjalan kaki karena sangat tidak mungkin bila motor terus berboncengan sampai akhir. Motor yang kami tumpangi beberapa kali terjebak dan tak bisa melaju, hal ini membuat kami terpisah. A Adit dan A Eza harus berusaha mengendarai motor melewati berbagai rintangan, sementara kami harus terus berjalan.
Beberapa kali aku berhenti untuk beristirahat sejenak. Badan yang biasa aku ajak rebahan ini sekarang harus bekerja ekstra keras. Setelah melewati tanjakan yang tak terhitung jumlahnya, akhirnya kami melihat jalanan yang perlahan menurun. Pertanda kalau kami mulai menuruni hutan, mungkin sebentar lagi sampai.

Aku dan Teh Rani berhenti saat menyadari bahwa kami berpisah cukup jauh dari A Eza dan A Adit, sepertinya lumpur itu sangat menyusahkan mereka. Setelah 20 menit menunggu, kami putuskan untuk kembali ke belakang untuk menjemput mereka. Tak jauh kaki melangkah, kami bertemu, dan kembali melanjutkan perjalanan melewati lumpur yang semakin menyusahkan langkah ini. Waktu menunjukan pukul 17:15, kami masih berada di hutan. Syukurlah cuaca hari ini tidak hujan, langit sore ini masih cerah.

Setelah berjalan selama kurang lebih empat jam, akhirnya kami sampai di Kampung Wates, Sukaluyu, Pangalengan. Lega sekali rasanya telah melewati hutan sebelum gelap. Warga yang melihat kondisi motor dan kaki kami seperti keheranan dan bertanya-tanya habis dari mana atau sudah ngapain.
Kami berhenti di salah satu warung, tak jauh dari sana ada toilet umum, aku dan Teh Rani membersihkan sandal dan kaki. Sementara A Adit dan A Eza harus ke bengkel karena ban motornya kempes. Kami mengobrol dengan seorang penjual bakso, dia tersenyum tak menyangka kalau kami baru saja dari Dewata, melewai hutan hingga sampai ke sini. Kami berpamitan, dan melanjutkan perjalanan menuju Bandung.
Langit perlahan berubah gelap, udara semakin dingin. Situ Cileunca tidak begitu jelas terlihat karena aku mengantuk. Setelah beberapa jam di motor, akhirnya kami tiba di Sekretariat Komunitas Aleut pada pukul sembilan malam. Hari yang panjang, dan takkan pernah terlupakan.