Ditulis oleh: Aditya Wijaya
Beberapa bulan lalu Komunitas Aleut mengadakan Momotoran dengan tema mencari jejak Dipati Ukur. Momotoran ini mengunjungi beberapa tempat yang berkaitan dengan Dipati Ukur seperti Pabuntelan dan Gunung Lumbung. Tulisan Momotorannya dapat teman-teman lihat di website Komunitas Aleut.
Mencari sumber tertulis mengenai Dipati Ukur cukup sulit, salah satu sumber yang kami akses mengenai Dipati Ukur adalah catatan perjalanannya Van Oort dan Muller yang diterbitkan tahun 1833. Selain pencarian tulisan di catatan perjalanan Van Oort dan Muller mengenai Dipati Ukur kami juga menemukan tulisan sebuah makam keramat yang berada di ketinggian ditanami pohon hanjuang dan dikelilingi parit. Warga sekitar menyebut tempat ini sebagai sisa peninggalan Negara Dalem Djamboe Diepa.

Momotoran kali ini kami bermaksud mencari lokasi makam yang disebutkan dalam catatan perjalanan Van Oort dan Muller. Mereka di dalam catatannya menyebut beberapa nama tempat seperti Djamboe Diepa, Burangrang dan Tjielokotot. Ini bisa menjadi petunjuk awal mencari lokasi yang mereka maksud. Langkah pertama ialah mencari lokasi Djamboe Diepa di peta. Nama Jambu Dipa masih menjadi nama sebuah kampung dekat Perkebunan Teh Pangheotan. Langkah selanjutnya ialah melihat peta lama dan mencari tanda makam di sekitar Jambu Dipa atau Perkebunan Teh Pangheotan. Dalam peta lama ditemukan adanya tanda makam di suatu elevasi atau ketinggian. Rasanya cocok dengan apa yang ditulis Van Oort dan Muller.


Lembah-lembah di bawah Gunung Burangrang dan hamparan perkebunan teh menjadi pemandangan selama perjalanan. Tempat yang menjadi patokan untuk mencapai lokasi makam yang dimaksud adalah Sendang Geulis Kahuripan. Tempat ini merupakan lokasi wisata yang sering dikunjungi oleh masyarakat sekitar. Setelah cukup lama bermotor dan hampir tiba di lokasi, kami istirahat sejenak di sebuah warung dekat Sendang.
Sembari istirahat kami pun mencoba mengobrol dengan Ibu pemilik warung dan seorang pemuda mengenai kebun teh, lokasi sekitar dan tentunya mencari informasi mengenai makam. Obrolan siang itu berlangsung seru. Ibu Ade pemilik warung bercerita pengalamannya menjadi pemetik dan buruh di Kebun Teh Pangheotan dengan penuh semangat sementara pemuda bernama Kang Wawan dengan gaya bicaranya yang khas dan halus bercerita mengenai lokasi makam dan sebuah batu dekat makam yang memiliki beberapa gambar panah dan aksara Belanda, sebuah peta katanya.

Setelah mengobrol cukup lama dan membicarakan maksud dan tujuan kami, Kang Wawan berniat untuk mengantarkan ke lokasi makam dengan berjalan kaki. Katanya kalau musim hujan akses jalan menuju ke makam cukup sulit dilalui motor. Tapi akhirnya kami lanjutkan menuju makam dengan motor, dengan harapan dan semangat.
Lokasi ini menurut Pak Wawan adalah Legok Beunghar. Beunghar dalam Bahasa Sunda adalah kaya. Jalanan menuju makam melewati hutan selama kurang lebih sepuluh menit dengan tanah merah bercampur batu. Meski dengan melihat peta, kami cukup sulit untuk menemukan lokasi makam, harus bertanya kembali ke warga yang ada di sana. Berbekal petunjuk warga, akhirnya sampai juga.

Makam ini berada di puncak bukit dan dikelilingi kebun teh. Panjang makam sekitar dua meter, dikelilingi oleh pohon hanjuang yang tinggi. Di tengah makam terdapat batu panjang yang menancap mungkin sebagai penanda nisan. Tak jauh dari makam ada saung sebagai tempat istirahat, mungkin ada beberapa orang yang melakukan ziarah hingga menginap di sini. Sayang tak ada yang bisa ditanya mengenai makam ini.


Berikut penggalan tulisan dari Van Oort dan Muller yang telah diterjemahkan terkait makam “Dengan diperkenalkannya ajaran Islam, banyak penduduk tempat-tempat ini yang masih menganut kepercayaan Brahmana, tampaknya telah pindah ke hutan terpencil Boeranggrang. Setidaknya kuburan yang sangat tua dapat ditemukan di sini dan dekat dengan kebun kopi Djamboe Diepa, sebuah dataran luas yang dikelilingi oleh beberapa parit yang dalam. Penduduk asli mengatakan itu adalah sisa dari kota zaman kuno, yang mereka sebut Nagara Dalam Djamboe Diepa. Di tengah elevasi ini terdapat sebuah makam tua (karahmat), yang dibalik dengan batu-batu panjang dan telah ditanami pohon handjoewang berdaun merah, yang masih dipuja oleh penduduk Tjielokotot yang sederhana sampai hari ini.”

Oo iya untuk mencapai lokasi makam tidak bisa menggunakan motor karena jalan yang terjal dan licin, motor bisa diparkir sedikit di bawah lokasi makam. Perjalanan pulang sama sulitnya, masih harus bertemu lumpur dan tanah merah. Ternyata lokasi makam tak begitu jauh dari jalan utama Cikalong – Padalarang. Sebelum balik kanan ke Sekre Aleut kami mampir sebentar ke Terowongan Sasaksaat.
Itulah pengalaman hari ini yang terasa luar biasa. Jadi tak sabar berencana lagi, kira-kira Momotoran selanjutnya ke mana yaa?
***