Oleh: Ariono Wahyu (@A13xtriple)
Bagi seorang anak berusia dua belas tahun melihat orang-orang asing dari negara-negara yang jauh diseberang lautan hadir di kotanya adalah pengalaman yang luar biasa. Untuk Us Tiarsa dan mungkin banyak penghuni Kota Bandung saat itu, yang mereka sebut dengan orang asing adalah orang Belanda, orang India dan orang Tionghoa.
Sungguh merupakan suatu kebanggaan bagi dirinya dan seluruh penghuni Kota Bandung, bahwa republik yang baru saja merdeka selama sepuluh tahun, sudah mampu dan berani melaksanakan hajatan besar berupa konferensi internasional yang mampu mengundang banyak negara.
Menurutnya, penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika 1955 berlangsung dengan sederhana. Semua persiapan berlangsung apa adanya dan tidak mengada-ada. Mungkin dapat dikatakan Kota Bandung saat itu tak “berdandan”, namun tetap resik dan cantik, mungkin kata yang tepat untuk menggambarkannya adalah bersahaja.
Dalam ingatan Us Tiarsa yang kala itu masih duduk di kelas satu SMP, persiapan penyambutan hanya sebatas pemasangan bendera terutama bagi mereka yang tinggal di rumah-rumah yang terletak di pinggir jalan yang akan dilalui oleh rombongan delegasi peserta konferensi.
Penyambutan bagi tamu-tamu negara juga dilakukan dengan cara menghimbau masyarakat dan pelajar untuk menyambut disepanjang jalan yang dilalui dari Lapangan Andir hingga ke Gedung Pakuan. Us Tiarsa masih mengingat dirinya berdiri di pinggir jalan di depan Kerkhof Kebon Jahe untuk menyambut iring-iringan rombongan delegasi peserta KAA. Tempat di depan “Rumah Buta” itu yang dipilih karena lokasinya tak jauh dari rumah dimana ia tinggal, Rozenlann/Jl. H. Mesrie.
Namun dari semua kenangan, yang paling membekas menurut Us Tiarsa adalah dapat melihat dari dekat pemimpin-pemimpin negara asing, saat melakukan peristiwa bersejarah yang kemudian dikenal sebagai “Bandung Walks”. Bisa melihat dari dekat busana khas yang dikenakan, perawakan serta bahasa yang digunakan. Presiden dari negara Burma menjadi bintang, karena busana nasional yang dikenakannya justru tak jauh beda dengan busana tradisional lokal seperti kampret, serta menggunakan penutup kepala yang mirip dengan topi haji dan menggunakan kain. Dari segi nama pun hampir sama dengan nama urang Sunda: U Nu. Begitu juga dalam hal perawakannya.
Bila tak sedang melihat-lihat keramaian di seputar tempat penyelenggaran konferensi di Gedung Merdeka, Us Tiarsa akan berada di rumah dan mendengarkan siaran radio mengenai jalannya konferensi. Radio yang saat itu sebagai satu-satunya media elektronik menjadi primadona bagi masyarakat untuk mengikuti berlangsungnya konferensi. Banyak penduduk Bandung saat itu mengadakan acara mendengarkan bersama melalui radio pidato pembukaan konferensi yang disampaikan oleh Presiden Sukarno.
Melalui siaran radio juga timbul kekaguman rakyat akan penguasaan bahasa asing para pemimpin bangsa. Bahasa asing yang diterima luas di kalangan rakyat kebanyakan saat itu adalah Bahasa Belanda. Jadi, ketika Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo berpidato dalam bahasa Inggris saat memimpin Konferensi Asia-Afrika, rakyat yang mendengarkan melalui radio sempat dibuat terkaget-kaget sekaligus mejadi kagum. Dalam pemikiran mereka, para pemimpin yang rata-rata mengenyam pendidikan di luar negeri khususnya Belanda, hanya menguasai satu bahasa asing yaitu Bahasa Belanda.
Kisah di atas merupakan hasil dari wawancara dengan Us Tiarsa di kantornya Bandung TV (15/04/2015), seputar kenangannya pada saat Bandung melaksanakan Konferensi Asia-Afrika 1955. Sebagian besar dari cerita di atas sebenarnya hampir sama dengan apa yang ditulisnya dalam buku “Basa Bandung Halimunan” yang isinya merupakan kenangan masa kecil Us Tiarsa. Mungkin beberapa hal menarik yang tak dijumpai di bukunya adalah mengenai persiapaan Kota Bandung dalam menyambut KAA 1955 yang apa adanya, serta cerita mengenai kekaguman rakyat akan penguasaan bahasa asing para pemimpin bangsa.
Us Tiarsa juga bercerita mengenai rumah makan “Madrawi” yang terletak di sudut Jl. Dalem Kaum. Rumah makan yang terkenal menjual sate dan telah berjualan sejak tahun 1920-an tersebut menjadi tempat berkumpulnya aktivis pergerakan seperti Bung Karno. Karena letaknya yang berdekatan dengan Mesjid Agung Bandung, Rumah Makan Madrawi selalu dipenuhi oleh mereka yang pulang melaksanakan sholat, terutama saat bubaran sholat Jum’at. Namun, Us Tiarsa belum pernah mengalami bersantap di rumah makan legendaris tersebut karena dulu ada anggapan di kalangan orang Sunda bahwa memperjualbelikan nasi adalah hal yang tabu/pamali. Lebih baik memberikan nasi daripada memperjualbelikannya.
Ketika dimintai tanggapannya mengenai persiapaan pelaksanaan puncak Peringatan Konferensi Asia-Afrika 2015, menurut Us Tiarsa ada baiknya juga untuk Kota Bandung bahwa setiap sepuluh tahun sekali Bandung akan berbenah tanpa mengeluarkan biaya dari pemerintah kota, karena seluruh biaya ditanggung oleh pemerintah pusat. Lekker zonder ongkos.