Us Tiarsa dan Memoar tentang Bandung

Memoar Us Tiarsa dalam bahasa Sunda
Memoar Us Tiarsa dalam bahasa Sunda

 

Oleh: Irfan Teguh (@Irfanteguh)

Ketika pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) tengah berkecamuk di Jawa Barat, banyak penduduk yang mengungsi ke tempat yang lebih aman, salah satunya ke Kota Bandung. Mereka yang mengungsi ke Kota Bandung itu mayoritas datang dari Tasikmalaya terutama dari Ciawi dan Garut. Bahkan ada juga yang datang dari daerah-daerah dekat seperti Ciparay, Manggahang, dan Dayeuhkolot.

Tahun 1952 seorang bocah melihat banyak tamu datang ke rumah orang tuanya. Ia bertanya kepada bapaknya ihwal siapa tamu-tamu tersebut. Bapaknya menjelaskan bahwa mereka adalah para pengungsi yang menghindari gerombolan DI/TII. Us Tiarsa nama anak tersebut. Ia baru kelas tiga sekolah rakyat waktu itu, tapi sudah senang membaca koran Pikiran Rakyat dan Sipatahoenan.

Kebiasaan Us membaca dua koran itu mendorongnya untuk menulis saat satu peristiwa kedatangan para rombongan ke rumahnya. Ia lalu mengirimkan tulisannya ke redaksi Pikiran Rakyat tanpa memberitahu orang tuanya. Baca lebih lanjut

Iklan

Menghisap Candu di Bandung

Oleh: Irfan Teguh Pribadi (@irfanteguh)

    • Banyak teks fiksi dan memoar yang mengetengahkan fragmen tentang candu di Bandung.
    • Sebuah gang di Kampung Arab, persisnya Gang Aljabri, menjadi tempat madat di Kota Bandung.

Melacak keberadaan candu dan para pemadat di Kota Bandung.

tirto.id – Bandung tempo dulu tak hanya dibaluri julukan yang bertendensi pujian macam Parijs van Java, The Garden of Allah, Paradise in Exile, Europe in de Tropen, De Bloem der Indische Bergsteden, dll, namun juga menyisakan kisah tentang candu atau madat.

Seperti ditulis James R. Rush dalam Candu Tempo Doeloe, pemerintah kolonial Belanda pernah menjadikan candu sebagai pundi-pundi kas negara. Persebaran candu di Pulau Jawa ternyata masuk dan beredar di Bandung, kota pegunungan yang menjadi salah satu “anak emas” pemerintah kolonial.

Agak sulit sebetulnya mendapatkan catatan yang gamblang ihwal candu di Bandung, namun jika menilik beberapa teks fiksi dan memoar, akan banyak ditemukan fragmen-fragmen pendek yang setidaknya menjelaskan bahwa candu telah ada dan hidup dalam keseharian sebagian masyarakat Bandung. Baca lebih lanjut

Catatan Perjalanan: Basa Bandung Halimunan

Oleh: Chika Aldila (@chikaldila)

Mengenang masa lalu, terutama masa kecil, memang selalu menyenangkan. Banyak hal-hal yang dapat kita tertawakan di saat kita beranjak dewasa; kebanyakan mempertanyakan kebodohan-kebodohan yang telah diperbuat saat kita kecil dahulu. Membandingkan keadaan dahulu dan sekarang, dari mulai sifat perilaku sampai dengan lingkungan tempat tinggal. Pahit manisnya kenangan itu tentunya menjadi satu rasa tersendiri, yang akan semakin lengkap apabila dituangkan ke dalam satu tulisan.

Adalah H. Us Tiarsa, yang menuliskan pengalaman masa kecilnya di Kota Bandung pada tahun 50-60an dalam sebuah buku yang berjudul “Basa Bandung Halimunan”, atau dalam Bahasa Indonesia “Kala Bandung Berkabut”. Buku tersebut ditulis dalam Bahasa Sunda keseharian dan disajikan dengan gaya bahasa yang membawa pembacanya mengalir ke dalam penuturannya mengenai Bandung di masa lalu.

Bersama dengan Komunitas Aleut, saya dan teman-teman menelusuri beberapa titik di Kota Bandung yang ada di dalam buku Basa Bandung Halimunan hari Minggu (3/4/2016) kemarin. Hari itu kami fokus di kawasan Kebon Kawung, menyusuri wilayah Jl. H. Mesri, Cicendo, dan Kebon Sirih. Rasanya lucu, ngaleut di kawasan yang notabene hanya berjarak beberapa ratus kilometer dari rumah, dan tentunya setiap hari saya lewati. Tapi di sinilah letak keseruan ngaleut, dari rute yang saya biasa sambangi sehari-hari selalu ada hal baru yang saya ketahui. Contohnya adalah rumah Alm. Haryoto Kunto yang berada di Jl. H. Mesri. Ternyata rumah dari “Bapak-nya Bandung” ini berjarak sangat dekat dari rumah saya. For all this time, I just realized it. What a shame.

Kumpul di depan rumah Alm. Haryoto Kunto

Kami berjalan sedikit menuju belakang GOR Pajajaran, dan melihat sebuah pohon yang menjadi saksi sejarah penamaan daerah Kebon Kawung. Ya, pohon kawung. Mungkin ini pertama kalinya saya melihat pohon kawung dari dekat, tepat di lokasi yang dulunya memang merupakan kebun kawung. Tidak lupa sebuah kolam di sebelah pohon tersebut yang jaman baheula biasa digunakan untuk merendam anak-anak laki-laki yang mau disunat sampai bagian bawah tubuh mereka baal (mati rasa). Tidak terbayangkan oleh saya, para anak lelaki yang sedari subuh sudah disuruh berendam selama berjam-jam sampai mereka mati rasa sebelum akhirnya disunat dengan cara yang masih sangat tradisional. Euh, menuliskannya saja sudah membuat saya ngilu, padahal saya perempuan.

Pohon Kawung

Hal menarik lainnya yang saya rasakan adalah pengalaman menelusuri gang-gang yang sangat amat sempit di daerah Cicendo. Bukannya saya tidak pernah menelusuri gang, hanya saja ini kali pertama saya ngaleut melintasi perumahan padat warga di gang yang amat sangat sempit seperti itu. Sempat muncul rasa khawatir akan terganggunya para warga ketika rombongan Aleut melintas, tapi untungnya warga tidak terlihat terganggu ataupun sebagainya.

Saya terkagum-kagum melihat kehidupan warga yang tinggal di gang seperti itu; kegiatannya, interaksinya, perilakunya. Sebagai seseorang yang semenjak lahir tinggal di daerah individualis dengan rumah yang berlokasi di pinggir jalan besar, jarang sekali saya berinteraksi dengan tetangga seperti halnya masyarakat di gang seperti itu. Rasa iri sempat terbesit di dalam hati saya kian makin membesar ketika mendengar pengalaman masa kecil teman-teman saya yang sangat menyenangkan.

Di sesi sharing banyak teman yang bercerita mengenai pengalaman masa kecilnya yang beragam, dan juga menyenangkan. Apalagi mereka yang menghabiskan masa kecilnya di luar kota Bandung, atau mereka yang berusia lebih tua dari saya, yang sempat menikmati indahnya Bandung ketika masih berkabut di pagi hari. Sedangkan saya? Sedari kecil sudah dihadapkan pada sumpeknya kota Bandung—tentunya belum sesumpek saat ini—dan interaksi sosial antara tetangga yang individualis. Masa kecil saya habiskan dengan membaca buku di dalam rumah, jarang bermain dengan teman sebaya. Karena itu, hari Lebaran, dimana saya dan keluarga pergi ke rumah kerabat di Sumedang, merupakan saat yang paling saya tunggu, semata-mata hanya untuk memandang indahnya pegunungan dan hamparan ladang sawah sepanjang jalan.

Meskipun tidak memiliki banyak pengalaman masa kecil yang bersinggungan dengan keadaan kota Bandung masa lalu yang indah, saya cukup senang mendengar penuturan mengenai kisah-kisah masa kecil dari teman-teman Aleut yang lain. Nah, inilah hal menyenangkan lainnya dari ngaleut, bercerita dan mendengarkan cerita, terlebih lagi apabila kisah-kisah perjalanan dan kenangan itu dapat dituliskan dan dibagikan.

 

Tautan asli: http://coretankoenangkoenang.blogspot.co.id/2016/04/catatan-perjalanan-basa-bandung.html

#PojokKAA2015: Ulin Jarambah

Oleh: Arif Abdurahman (@yeaharip)

ulin jarambah

“Omat ulah ulin di ranjěng, aya jurig samak!”

Aya wěh kolot baheula mah, nyaram barudakna těh jeung mamawa lelembut sagala. Tapi da ari budak mah nya langsung ngabuligirkeun maneh tinggal salěmpak pas nempo ranjěng těh. Paduli teuing rěk diculik ku jurig samak ge, nu penting mah bisa guyang jeung munding.

Ah asa resep ngabayangkeun pas masih lehoan keneh těh, kasusah hirup sigana ngan ukur pelajaran Matěmatika. Masih bisa ngalaman ulin jarambah sapertos nu dicaritakeun Us Tiarsa dina “Basa Bandung Halimun”. Pedah ari kuring mah ulin jarambahna di lembur, lain orang Kota. Kuring jadi mikir ari barudak zaman kiwari masih ngalaman teu nya? Baca lebih lanjut

#PojokKAA2015: Ajengan Idi jeung Bangsa Hianat

Oleh: Irfan Teguh Pribadi (@irfanteguh)

Kantor BandungTV tempat kuring nepungan Pa Us Tiarsa

Kantor BandungTV tempat kuring nepungan Pa Us Tiarsa

Hiji kajadian ahěng sok resep mun ditingali tina paněnjo budak leutik. Atuhda alam maraněhna mahěstuning masih kěněh beresih, can ka keunaan ku itu ieu. Hajat gedě nagara nyak tangtu wae kaasup ahěng.

Anyeuna di Bandung těh keur meujeuhna ramě dina raraga miěling Konpěrěnsi Asia Afrika nu ka-60. Kota digeugeulis, pangpangna nu aya di lelewek Gedong Merděka jeung sabudeureunna. Trotoar jeung lampu jalan diganti ku nu alanyar. Atuh bangku gě teu katinggaleun, ti parapatan Jl. Asia Afrika-Lěngkong Besar nepika alun-alun ngajajar dina trotoar nu anyar tur aralus pisan.

Baheula basa KAA taun 1955, aya hiji budak leutik nu pangalamanna dituliskeun jeung dikumpulkeun dina hiji buku nu medal kira taun 1980-an ahir. Tapi lain tulisan basa kajadian, ngan panineungan hungkul. Nu nulis ěta buku těh nyaěta Us Tiarsa. Anjeunna mimitina mah nulisna di koran Galura, ngan bisi bacacar tuluy dibukukeun ku Galura. Baca lebih lanjut

#PojokKAA2015: Us Tiarsa dan KAA

Oleh: Ariono Wahyu (@A13xtriple)

Bagi seorang anak berusia dua belas tahun melihat orang-orang asing dari negara-negara yang jauh diseberang lautan hadir di kotanya adalah pengalaman yang luar biasa. Untuk Us Tiarsa dan mungkin banyak penghuni Kota Bandung saat itu, yang mereka sebut dengan orang asing adalah orang Belanda, orang India dan orang Tionghoa.

Sungguh merupakan suatu kebanggaan bagi dirinya dan seluruh penghuni Kota Bandung, bahwa republik yang baru saja merdeka selama sepuluh tahun, sudah mampu dan berani melaksanakan hajatan besar berupa konferensi internasional yang mampu mengundang banyak negara.

Menurutnya, penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika 1955 berlangsung dengan sederhana. Semua persiapan berlangsung apa adanya dan tidak mengada-ada. Mungkin dapat dikatakan Kota Bandung saat itu tak “berdandan”, namun tetap resik dan cantik, mungkin kata yang tepat untuk menggambarkannya adalah bersahaja.

Dalam ingatan Us Tiarsa yang kala itu masih duduk di kelas satu SMP, persiapan penyambutan hanya sebatas pemasangan bendera terutama bagi mereka yang tinggal di rumah-rumah yang terletak di pinggir jalan yang akan dilalui oleh rombongan delegasi peserta konferensi. Baca lebih lanjut

Leuleumpangan di Wewengkon Kiaracondong

Oleh: Irfan Teguh Pribadi (@irfanteguh)

Megat kareta di stasiun Kircon

Megat kareta di stasiun Kircon

“Dulur maněh těh di Bandungna di mana?”

“Di Kiaracondong, di Jl. Lebak”

Jaman SD, ngan samet ěta kanyaho kuring ngeunaan Bandung. Ĕta gě pědah babaturan bogaeun dulur nu cenah nganjrekna di wewengkon Kiaracondong (Kircon). Jadi Kircon těh ěstuning kecap mimiti nu napel dina ingetan kuring, mun seug kabeneran aya nu ngomongkeun Bandung. Ari katompěrnakeun mah, basa kuring kuliah di Bandung belah kalěr–nu asupna ti Jl. Gegerkalong Hilir, nya Kircon těh loba kapopohokeun. Najan enya gě aya babaturan, tapi asa ku horěam rek ulin atawa ngalanto ka běh dinya těh. Lain nanaon, saliwat ge Kircon mah katempona sareukseuk, macět, jeung rarujit deuih. Kungsi hiji mangsa ulin ka Jl. Lebak, leuh da ěta mah di gang těh enyaan heureut pisan, got barau, jeung loba nonoman ditarato nu nalongkrong. Atuh kecap “punten” těh geus jadi kawajiban di dinya mah.

Cenah Mang Ridwan Kamil basa can jadi Walikota kungsi gawě rancagě di wewengkon Cidurian nu masih kěněh asup Kircon, sabilulungan jeung warga nyieun lingkungan jeung walungan jadi beresih. Tapi meureun ngan lelewek ěta hungkul nu genah merenah těh, da basa kamari kuring jeung sababaraha babaturan ngaleut ka Babakansari jeung Kebon Jayanti mah kaayaanna teu pati hěgar. Runtah ting rungkunuk ampir di unggal juru gang, aya ogě nu ngagunuk di deukeut stasiun Kircon.

Tapi cag, urang tunda heula ngeunaan runtah mah, anyeuna kuring rěk nyaritakeun ngeunaan Stasiun Kircon, erěl karěta, Pasar Kircon,  urut jeung pabrik bedil katut pělor.

***

Erel urut dipake parkir beca

Erel urut dipake parkir beca

Ngaleut těh dimimitianna mah ti stasiun Bandung belah kidul, tegesna nu aya di Jl. Stasiun Barat. Pědah rada langka meureun tarumpak karěta ti belah dinya mah, barudak těh sawarěh mah rada tunyu-tanya sagala. Da měmang anu kawěntar mah stasiun Bandung těh ěta nu di Jl. Kebon Kawung. Sanggeus ngumpul kaběh, nyak bral wě indit make karěta nu ka arah Cicalěngka nu karcisna ngan ukur dua rěbu rupia. Atuhda deukeut, ngan ukur ngaliwatan stasiun Cikudapateuh hungkul, teu lila ti dinya karěta geus nepi deui di stasiun Kircon.

Dina majalah Ujung Galuh kuring kungsi manggihan yěn stasiun Kircon těh cenah ngahaja dijieun ku Walanda pikeun ngangkut urang Jawa nu rěk digawěkeun dina pabrik bedil jeung pělor. Měměh pindah ka Bandung, ěta pabrik těh mimitina mah aya di Ngawi—tapi ceuk sawarěh mah cenah di Surabaya (matak di Kircon aya ngaran Babakan Surabaya), tah ku sabab pabrikna dipindahkeun, nya pagawěna gě kapaksa kudu milu pindah. Matak teu aněh ti baheula gě di Kircon mah geus remen urang Jawa.

Beh dituna deui, ngeunaan urang Jawa nu nganjrek di Kircon bisa dipapay tina carita Ki Jalaludin nu dikirim ku Mataram pikeun ngagempur Walanda di Ujungberung. Tapi basa harita anjeunna diparengkeun ělěh, sanggeus perang anjeunna teu balik deui ka Jawa, malah mah nyieun pakampungan di Ujungberung. Ki jalaludin ku anjeun teras ngagaduhan putra nu jenenganna Ki Malim, tah Ki Malim ieu cenah nu mawa urang Jawa ti lemburna pikeun arindit ka Bandung, jang digawě dina raraga mindahkeun puseur dayeuh ti Dayeuh Kolot ka wewengkon di sabudeureun Jl. Asia Afrika anyeuna. Ki Malim ngantunkeun dina taun 1850, makamna tepi ka anyeuna aya di Kircon.

Saměměh caritana dituluykeun, urang bahas heula saeutik ngeunaan ngaran patempatan. Naha cenah ěta wewengkon těh dingaranan Kiaracondong? Us Tiarsa dina buku Basa Bandung Halimunan kungsi ngajelaskan, kieu unggelna:

Urut erel ka Pindad di hareupeun imah

Urut erel ka Pindad di hareupeun imah

“Ongkoh anyeuna mah měrě ngaran patempatan těh sasat dialus-alus tepi ka matak hěsě nyebutna. Běda pisan jeung baheula. Ngaran tempat těh asa sahinasna pisan. Kawasna těh sakur nu katěmbong mimiti wě. Pědah aya garduh tukang mariksa jalan, disebut wěh kampung Andir. Nyeueung aya kiara nu doyong, nelah wěh Kiaracondong. Aya dungus nu loba cariangna, disebut wěh Dunguscariang. Lembur nu aya di sabudeureun kabupatěn, pasti ngaranna těh Rěgol. Aya warung handapeun tangkal muncang, nelah wěh Warungmuncang. Lebah patok jalan, disebut wěh Paltilu, Palgenep.”

Tah, kurang leuwih kitu mimitina dingaranan Kircon těh. Tapi nepika anyeuna kuring teu apal lebah mana na ěta tangkal kiara nu doyong těh, da basa kamari leuleumpangan ka dinya mah teu manggihan, teuing geus euweuh meureun ěta tangkal těh. Hanjakal kamari teu nanyakan ka warga di dinya.

Anyeuna urang balik deui. Basa geus turun tina karěta, tuluy kuring jeung babaturan mapay raratan erěl urut nu manjang tepi ka PINDAD (pabrik bedil jeung těng waja anyeuna mah). Eta erěl těh cenah dijieun pikeun ngangkut sagala rupa kaperluan nu dibutuhkeun ku PINDAD. Teuing ti iraha dijieunna, ngan nu pasti kira taun 60-an ěta erěl těh geus aya.

Ngaran PINDAD sorangan sabenerna kaasup anyar, da baheula mah keur jawan Walanda ngaran ěta pabrik tě nyaěta ACW (Artillerie Construstie Winkel)—matak pabeulit lětah!, tuluy basa Indonesia geus merděka, dina taun 50-an ěta pabrik těh dinasionalisasi, ngaranna diganti jadi PSM (Pabrik Senjata dan Munisi). Tuluy katompěrnakeun diganti deui ngarannna jadi PINDAD (Pabrik Industri Angkatan Darat).

Erěl urut nu baheula jang ngangkut kaperluan pabrik anyeuna geus loba katutupan ku imah, garduh pos, warung, jeung sajabana. Atuhda lebah erěl těh anyeuna mah geus gegek pisan. Ceuk babaturan nu kabeneran maněhna ngiluan komunitas Railfan, cenah ěta taneuh nu dipakě erěl těh nu bogana mah PT. KAI, ngan teuing kunaon kalahka diparakě imah ku warga. Teu mustahil hiji mangsa mah lamun seug PT. KAI rěk makě ěta taneuh, tangtu baris aya kaributan jeung warga. Geus loba contona soalna kajadian kieu mah. Atuh aya ogě babaturan nu sejěn nu nyarita, yěn basa maněhna mapay erěl urut ka Sorěang jeung Ciwiděy, loba warga nu makě taneuh erěl nu tunya-tanya ka maněhna, jeung paromanna  bangun nu pati teu percaya, cenah bisi jelema PT. KAI nu rěk “ngusir” warga.

Kukucuprakan deukeut Bale Yasa

Kukucuprakan deukeut Bale Yasa

PINDAD sorangan mun katempo ti luar mah teu pati hěgar. Pager jeung garduh tentara geus loba nu lumutan. Naha cenah aya tentara sagala? Enya pan ěta těh pabrik bedil jeung těng waja anu aya patalina jeung pancěn nu jadi kawajiban tentera, nyaěta widang pertahanan. Basa kuring moto urut erěl nu deukeut panto pabrik, katempo aya dua urang tentara nu keur noong tina garduh, teuteupna ceuceub pisan, siga nu curiga tur waspada.

Bedil jeung těng waja ti pabrik ieu geus kakoncara tepika nagara deungeun. Jadi lain ngan sauukur nedunan kabutuh nagara sorangan. Hal ieu sakuduna bisa nyieun PINDAD jeung sabudeureuna bebenah, sangkan ieu pabrik anu geus kakoncarana těh němbongkeun kawibawaan. Tapi kanyaataanna sakumaha nu dipikanyaho ku urang sarěrěa, sabudeureun PINDAD hususna jeung Kircon umumna, masih kěněh loba lelewek nu kudu diropěa, contona waě pasar.

Ampir kaběh urang Bandung geus pada apal yěn Pasar Kircon nu handapan fly ověr těh tempatna rujit, barau, awut-awutan, pating solěngkrah, sarta macět. Angkot jeung běca loba pisan nu cicing di tengah jalan dina raraga nungguan panumpang nu baralik ti pasar, ditambah ku ayana erěl karěta nu motong jalan. Atuh hal ieu pisan nu ngajadikeun macět těh. Najan di gigireun pasar aya kantor pulisi, tapi angger we kayaan jalan mah matak sareukseuk panon jeung hatě. Komo lamun seug ditambahan ku hujan nu tuluy banjir mah, tangtu nu laleumpang jeung tarumpak kandaaran horěameun pisan ngaliwat ka běh dinya těh.

Belah kalěreun pasar, sebrangeun gapura stasiun Kircon, aya hiji taneuh kosong anu barala ku rungkun eurih, borang, babadotan, jeung tatangkalan nu sějěnna. Cileuncang nyalangkrung dina taneuh jeung jukut. Lebah dinya loba dipakě ku jelema nu teu barogaeun imah atawa nu katelah tuna wisma. Atuh trotoar gigireunna gě pinuh ku nu daragang; kayaning nu dagang hayam, VCD bajakan, jeung sajabana.

Di dinya aya hiji tugu nu tulisanna “Balai Yasa Jembatan KA I”. Di gigireunna aya sababaraha jambatan karěta nu katempona masih tohaga. Běh ditueun taneuh kosong těa (ka belah kulon) katempo aya wangunan gedě siga pabrik. Ĕta wangunna těh nyaěta nu ngaranna Balai Yasa; hiji lembaga nu kapapancěnan nyieun jambatan karěta api. Di wewengkon ěta aya deui erěl urut nu baheulana dipakě jang ngangkut sagala kaperluan Balai Yasa ti stasiun Kircon.

***

Tukang sol sapatu

Tukang sol sapatu

Tina leuleumpangan ěta, ceuk pamanggih kuring mah Kircon těh kudu leuwih giat diropěa, boh ku pamarěntah pon kitu deui ku wargana sorangan. Hal ieu alatan masih kěněh loba hal anu teu parok jeung kaěndahan, katartiban, tur kaamanan. Ulah pědah lantaran Kircon mah ayana rada anggang jeung běh wětan ti puseur dayeuh, nu ngajadikeun kapopohokeun. Pamarěntah kota kudu leuwih merhatikeun Bandung kidul, ulah ngan saukur ulukutek di belah kalěr. Contona baě taman, susukan, trotoar, jeung pasar di Kircon kudu ditarěkahan sabisa-bisa sangkan kahirupan warga bisa leuwih merenah. Cag! [ ]

 

 

Tautan asli: http://wangihujan.blogspot.com/2015/04/leuleumpangan-di-wewengkon-kiaracondong.html

%d blogger menyukai ini: