@A13Xtriple
Hari Minggu, 10 November 2013, bertepatan dengan Hari Pahlawan, @KomunitasAleut mengadakan “Ngaleut Kanal Cikapayang”. Mungkin ini sebagai apresiasi dari para penggiat @KomunitasAleut bagi pahlawan lokal Bandung, Raden Adipati Aria Martanagara.
Walaupun hanya bersifat lokal, Bupati Martanagara memiliki banyak jasa bagi kemajuan kabupaten yang dipimpinnya. Kabupaten yang menjadi Kota Bandung kini, sedikit banyak masih merasakan manfaat dari apa yang dibangun Martanagara dalam masa pemerintahannya 1893-1918. Salah satu hasil karya Martanagara yang masih dirasakan manfaatnya adalah jalur kanal yang lebih dikenal dengan sebutan sungai Ci Kapayang.
Kanal atau saluran air ini dibangun oleh Martanagara dengan mengerahkan puluhan penduduk salah satu kampung tertua di Bandung yang letaknya di aliran sungai Ci Kapundung, yaitu kampung Balubur. Diceritakan ketika dalam proses pembangunan di daerah jembatan Ci Kapayang di sebelah utara Pasar Balubur sekarang, proyek ini menelan korban 6 orang meninggal. Kabarnya, karena tempat yang digali tersebut adalah makam kuno yang angker. Itu mungkin kabar mistisnya, namun yang jelas mungkin medan proyek pembangunan kanal yang berat.
Haryoto Kunto dalam bukunya “Wajah Bandung Tempoe Dulu,” menceritakan kondisi kanal ini dahulu tebing pinggirnya masih lebar dan curam dengan air yang deras dan jernih. Derasnya air di aliran Ci Kapayang di daerah Balubur tepatnya berada di depan Rektorat ITB, di sekitar percabangan aliran Ci Kapayang yang ke timur ke arah Gasibu dan ke selatan ke arah Pieterspark.
Aliran Ci Kapayang ke arah Pieterspark yang deras, dahulu sering dipergunakan sebagai arena bermain bagi anak-anak. Jika hari mulai senja, anak-anak bergerombol di aliran Ci Kapayang tersebut dengan perahu yang terbuat dari kayu; di tengah-tengah perahu tersebut ditancapkan sebatang lilin, kemudian dihanyutkan di aliran Ci Kapayang. Anak-anak bergerombol mengikuti kerlap-kerlip nyala lilin di perahu mereka ke arah Pieterspark. Bagi adik-adik kecil yang belum mampu membuat perahu kayu sendiri, mereka memanfaatkan kulit buah dari tanaman cucurutan atau sepatu-dua (sepatu dewa).
Kulit-buah tanaman Ki Acret (Spathodea Campanulata) ini kira-kira panjangnya 15-20 cm, yang bila terbelah dua bentuknya mirip perahu. Dulu kabarnya tanaman ini banyak ditemui di daerah Jl. Sumatera, Jl. Taman Sari, sebelah utara Pasar Balubur, atau sepanjang jalan raya ke Pangalengan. Namun, dalam penelusuran kemarin di daerah Balubur-Rektorat ITB tidak ditemukan lagi pohon Ki Acret tersebut. Mungkin karena daerah Balubur-Rektorat ITB dan daerah Jl. Cikapayang sudah banyak berubah sejak pembangunan jalan layang Pasupati.
Jalan layang yang diresmikan tahun 2005 itu telah mengubah lingkungan aliran kanal Ci Kapayang di daerah Balubur-Rektorat ITB hingga ke daerah lapangan Gasibu. Namun perubahan lingkungan aliran Ci Kapayang juga tercatat sudah terjadi pada tahun 1950-an ketika aliran Ci Kapayang yang masih jernih dan deras airnya itu dipergunakan untuk budidaya ikan dalam keramba yang mengakibatkan pencemaran dan pendangkalan aliran sungai.
Tebing sisi sungai Ci Kapayang pada tahun 1980-an sudah berubah dipenuhi rumah dan perkampungan seperti di daerah aliran Ci Kapayang di belakang Apotik Kimia Farma, perempatan Jl. Dago-Jl. Riau. Kondisi tebing aliran Ci Kapayang yang sudah dipenuhi permukiman saat ini bisa juga dilihat di daerah Sasak Gantung, di tebing sisi Ci Kapayang dan Cikapundung.
Selama lebih dari 100 tahun sejak pembangunannya, aliran kanal ini masih dimanfaatkan bagi saluran drainase kota Bandung. Bisa disebutkan kota Bandung masih bergantung pada peninggalan Martanagara ini. Karena rasanya kota yang semakin padat ini tidak lagi membangun kanal sefenomenal Ci Kapayang. Padahal jika hujan lebat selalu terjadi banjir cileuncang menggenangi Bandung.
Kepopuleran dan manfaat dari Ci Kapayang bisa dibuktikan dari masih dikenalnya aliran sungai tersebut bagi masyarakat yang tinggal di aliran kanal tersebut. Seperti ibu-ibu di daerah Taman Hewan, yang mencuci di sumur umum warga, dengan pasti mengatakan jika got selebar 2,5m didepannya adalah Ci Kapayang. Sekelompok anak di Gang Abah Winata di derah yang sama juga memanfaatkan aliran Ci Kapayang untuk berenang.
Tak terbayang apakah anak-anak itu gatal-gatal atau tidak, karena sepanjang aliran Ci Kapayang di daerah Taman Hewan, Pelesiran, itu saat ini dipenuhi sampah dan limbah rumah tangga. Seorang teman kuliah yang keluarganya sudah tinggal selama 3 generasi di tepi aliran Ci Kapundung, dengan pasti menunjukkan saluran air di seberang rumahnya di kawasan Sasak Gantung, adalah Ci Kapayang. Bahkan dia menunjukkan di sebelah mana Ci Kapayang bermuara kembali ke sungai Ci Kapundung. Daerah Sasak Gantung (sasak=jembatan; jembatan gantung yang merupakan salah satu jembatan hasil karya Martanagara) adalah satu dari tiga tempat Ci Kapayang bermuara setelah mengalir dari hulunya di Sungai Ci Kapundung, di daerah Lebak Gede.
Ada beberapa pendapat mengapa Martanagara membangun kanal Ci Kapayang. Ada yang berpendapat bahwa Ci Kapayang dibangun sebagai saluran irigasi untuk mengairi ladang dan sawah di kota Bandung, karena pada masa pemerintahannya Martanagara mengintensifkan penanaman singkong yang saat itu sedang naik pasarannya di Dunia. Dalam masa pemerintahaan Martanagara pula luas sawah di Bandung terus bertambah, dari 800ribu bau di tahun 1896 menjadi 1juta bau di tahun 1912.
Namun mungkin alasan Martanagara membangun kanal Ci Kapayang yang masih jelas terlihat tujuannya adalah untuk mengalirkan air sungai Ci Kapundung ke daerah-daerah yang tidak dilalui aliran sungai besar, dengan fungsi sebagai aliran drainase baik bagi aliran air tanah, maupun aliran air kotor, sekaligus untuk mengairi taman-taman yang dibangun di Bandung, di antaranya Jubileumpark (Taman Sari), Ijzermanpark (Taman Ganesha), Pieterspark (Taman Merdeka/Taman Balai Kota), Insulindepark (Taman Lalu-lintas), dan Molukenpark (Taman Maluku). Pemerintah kota saat itu membangun taman-taman yang bersifat terbuka dengan salah satu tujuannya adalah menyediakan tempat rekreasi yang murah, sekaligus tempat berinteraksi warga kota baik dengan sesama warga maupun dengan alam.
Sarana rekreasi dan berinteraksi dengan alam inilah yang mungkin sudah sangat berkurang di kota Bandung saat ini. Sehingga warganya dengan usahanya sendiri menciptakan sarana rekreasi bagi dirinya. Bandingkan dengan warga kota baheula yang disediakan taman-taman luas dengan konsep penataan yang jelas, mulai dari tanaman yang ditanam di taman-taman tersebut hingga ke sistem pengairan dengan kanal seperti contoh Ci Kapayang di atas.
Gambaran warga kota yang merindukan ruang terbuka hijau inilah yang dapat ditemui di lahan bekas Jubileumpark, di sekitaran Kebon Binatang. Di bantaran Ci Kapundung bisa ditemui seorang bapak yang menyirami bibit tanaman pepaya thailand. Pak Latif, yang bekerja sebagai satpam di sebuah kantor pengacara memperoleh biji pepaya thailand tersebut dari kantor tempatnya bekerja. Karena bertempat tinggal di daerah lembah Jl. Cihampelas yang merupakan pemukiman yang padat dan tanpa lahan untuk bercocok tanam, Pak Latif menyalurkan hobi bercocok tanamnya di bak beton di taman pinggiran Ci Kapundung, tak jauh dari pintu air Lebak Gede.
Dia juga memanfaatkan tanah lahan Sasana Budaya Ganesha (Sabuga) untuk menanam pohon pepaya yang sudah besar. Warga lain menggunakan lahan di belakang Kebun Binatang Bandung yang dialiri Ci Kapayang untuk membuat kolam ikan, sebagian untuk berternak dan yang lainnya untuk dijadikan kolam pemancingan. Warga kota terus merindukan taman terbuka yang mudah diakses untuk berekreasi dan berinteraksi dengan alam. Bukan taman tertutup seperti yang disebutkan Pak Kunto di bukunya “Taman yang dilihat boleh dipegang jangan”.
foto kedua uncensored. .