Kisah Di Balik Tugu Tani: Patung Pahlawan

Oleh : R.Indra Pratama (@omindrapratama)

 B379F4D0929FDABD687F1343F28A1

Patung Pahlawan (courtesy : plasa.msn.com)

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya.

Kalimat diatas merupakan petikan yang sangat populer di Indonesia. Namun darimana, dari siapa, dan dimana pertama kali kalimat itu diserukan, masih belum menjadi pengetahuan umum. Siapa sangka, kalimat tersebut pertama kali tercantum ternyata pada pondasi sebuah patung di Jakarta. Yaitu Patung Pahlawan.

Patung Pahlawan (dikenal juga dengan Tugu Tani) adalah patung yang melambangkan seorang ibu yang melepas anaknya ke medan pertempuran. Patung ini adalah karya pematung kenamaan Uni Soviet, Matvey Genrikhovich Manizer, dibantu oleh putranya Ossip Manizer. Karya –karya Matvey Manizer sejak 1930-an sudah menjadi karya-karya yang diakui di Uni Soviet. Karya-karyanya tersebar mulai dari St.Petersburg hingga Moskow. Karya-karya Matvey sendiri merupakan klasik bagi aliran sosialis-realisme. Aliran yang kompatibel dengan Sosialisme – Komunisme. Dimana sebuah karya seni  haruslah menjadi sebuah pembawa  pesan proses serta tujuan revolusioner.

manizer Matvey Manizer

Pada Mei 1959, Soekarno melakukan kunjungan kenegaraan ke Uni Soviet untuk bertemu dengan Perdana Menteri Nikita Kruschev. Saat tiba di Moskow, Soekarno tertarik dengan patung-patung bertema sosialis-realisme yang tersebar di beberapa penjuru kota. Oleh pejabat Uni Soviet, Soekarno pun diperkenalkan dengan Matvey, yang saat itu menjabat sebagai vice president  USSR Academy of Arts. Matvey sebetulnya pada dekade 50-an sudah tidak aktif berkarya, dengan karya terakhirnya, Monumen Ivan Pavlov di Kota Ryazan, diselesaikan tahun 1950.

Soekarno mengundang the Manizers untuk datang ke Indonesia dan membuat sebuah karya yang diilhami keadaan di Indonesia. Matvey pun datang ke Indonesia dalam rangka mencari inspirasi. Matvey akhirnya terpesona oleh cerita perjuangan rakyat yang konon berasal dari Jawa Barat, dimana ada seorang ibu yang mendukung anaknya pergi berperang demi kemerdekaan dan tanah airnya. Dimana sang ibu membekali anaknya dengan makanan dan harapan.

Manizer lalu mewujudkan gagasan itu sekembalinya ke Uni Soviet. Beberapa lama di tahun 1963 ia menyelesaikan patung tersebut. Lalu setelah selesai sempurna, patung tersebut dikirimkan ke Jakarta melalui kapal laut, diberikan sebagai tanda persahabatan Moskow-Jakarta. Patung tersebut akhirnya ditempatkan di Menteng, dan diberi judul  Patung Pahlawan. Soekarno melengkapi karya ini dengan membubuhkan kata-kata “Hanja Bangsa Jang Menghargai Pahlawan Pahlawannja Dapat Menjadi Bangsa Jang Besar”.

Bagi saya pribadi, mencoba mengapresiasi patung ini merupakan pengalaman yang seru. Saya melihat ada beberapa sisi yang menarik dari patung ini. Pertama adalah fakta terang bahwa patung ini merupakan sebuah penanda sebuah titik di linimasa sejarah Indonesia. Masa dimana Indonesia mulai berpaling dari posisi non-blok dan mendekat ke Moskow, juga dalam konteks lain, Peking. Masa dimana identitas negara dicoba dibentuk lewat jargon dan simbol-simbol yang berada di ambang realitas dan konstruksi. Dalam konteks idiosinkratik dalam selera seni, juga menandai masa perpindahan selera seni Soekarno, dari kegemarannya pada bentuk simbol dan mitologi (terutama wayang), menjadi karya-karya seni dengan sebuah pesan yang jelas dan realistik.

Kedua, menarik melihat Matvey mengangkat golongan tani sebagai subjek karya. Golongan tani yang bersenjata, merupakan konsep yang berasal dari Peking, dan bukan datang dari Moskow. Beberapa tahun sebelum karya ini lahir, Partai Komunis Indonesia dibawah Dipa Nusantara Aidit, mengusulkan konsep Angkatan Kelima, dimana para petani dan buruh dipersenjatai sebagai langkah pertahanan dan keamanan. Konsep ini terus mendapat penolakan dari golongan militer, karena ditakutkan akan memicu pemberontakan revolusioner kaum Komunis, seperti yang terjadi di Uni Soviet dan Republik Rakyat China. Kedekatan PKI dengan Peking, dibanding dengan Moskow, juga menjadi keresahan dan sebuah isu yang penting di masa itu.

Meskipun saya juga masih bertanya-tanya; apakah betul hanya dengan menghargai jasa pahlawan bisa membuat kita menjadi bangsa besar?.

Sumber Bacaan : 

Edman, Peter. 2005. Komunisme A la Aidit : Partai Komunis Indonesia di Bawah Kepemimpinan D.N. Aidit 1950-1965. Jakarta : Center for information Analysis.

Ivanov, Sergei. 2007. Unknown Socialist Realism. The Leningrad School. Saint Petersburg : NP-Print.

Nas, Peter J.M. 1993. Urban symbolism. Volume 8 Jurnal of Studies in human society. Leiden- New York-Koln :BRILL.

Pemerintah Daerah Khusus Ibu-Kota Jakarta, Dinas Museum & Sejarah. 1992. Sejarah Singkat Patung-Patung dan Monumen di Jakarta.

Saint Petersburg Encyclopaedia. Manizer M.G., (1891-1966), sculptor. Diakses via (http://www.encspb.ru/object/2804029999;jsessionid=40C35124D553C2A86148CBCCA809CE88?lc=en)

Iklan

7 pemikiran pada “Kisah Di Balik Tugu Tani: Patung Pahlawan

  1. Ping balik: Poem for a Student Meeting | Indonesian Translation Service

  2. Ping balik: (Extended Essay) What was President Soekarno’s relationship with Partai Komunis Indonesia (Communist Party of Indonesia – PKI) from 1950-65? – The Developing and The Developed

  3. Ping balik: Buku Literasi Kelas 1 – BukuTulisku.com

  4. Ping balik: Poem for a Student Meeting By WS Rendra

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s