Tulisan ini adalah hasil “Kelas Menulis” yang merupakan bagian dari kegiatan pelatihan Aleut Development Program (APD) 2020.
Ditulis oleh: Reza Khoerul Iman
Waktu menunjukkan persis pukul sebelas malam. Sebagian dari kami, termasuk aku. telah sampai di Sekretariat Komunitas Aleut di Pasirluyu Hilir No. 30. Tidak ada yang aku inginkan selain turun dari motor dan segera merebahkan diri di dalam rumah.
Aakhhhh!!! Teriakku sambil melepas penat dan lelah bekas perjalanan panjang.
Tidak lama aku merebahkan badan yang terkoyak-koyak oleh medan perjalanan yang tidak biasa aku lalui. Aku segera bangkit membuat segelas kopi panas agar energiku sedikit kembali pulih.
Akhirnya aku berhasil melewati perjalanan yang mengerikan tersebut, melalui perjalanan panjang yang baru kali ini aku tempuh, membelah pegunungan dengan medan yang cukup menantang, berjalan bersama pantai dengan ketinggian suhu yang tidak biasa kulitku rasakan, dan masih banyak hal yang sebetulnya ingin aku ceritakan andai ruang ini tidak dibatasi.
Meskipun rasa lelah menguasai diri, namun tidak lantas menjadi penghalang bagi kami untuk saling bertukar cerita tentang perjalanan yang baru kami lalui. Kami pun larut dalam persilangan kisah.
Masih terasa hangat dalam benak tentang perjuangan tim ADP-2020 dalam proses pembelajaran kali ini, lewat salah satu programnya yaitu momotoran. Tujuan momotoran kali ini berbeda dari sebelumnya, pada kesempatan ini kami harus menempuh jarak lebih dari tigaratus kilometer antara Bandung-Rancabuaya dan kembali ke Bandung melewati rute yang bebeda, Rancabuaya-Gunung Gelap-Garut-Nagrek- Pasirluyu Hilir.

Banyak hal yang dapat kuambil dari perjalanan momotoran susur Pantai Selatan kali ini. Tapi ingatanku masih terpaku di Gunung Gelap yang beberapa jam ke belakang baru kami lewati. Suasana mencekam sebagaimana yang tersebut dalam dongeng Gunung Gelap sepertinya sudah hilang, mungkin karena sudah banyak kendaraan bermotor yang lalu-lalang, sehingga mengurangi nilai keangkeran Gunung Gelap. Berbeda suasananya ketika kami melewati Gunung Tilu dua minggu lalu. Walaupun jaraknya lebih pendek, namun suasana di sana masih terasa mencekam, sambil waswas bahaya begal pula.
Selama melewati Gunung Gelap, sempat terpikirkan tentang toponimi Gunung Gelap. Kukira, mungkin namanya berasal dari keadaan daerahnya yang berhutan dan gelap gulita. Namun ternyata kata “Gelap” di sana bukan diambil dari kata bahasa Indonesia, melainkan dari bahasa Sunda yang artinya adalah petir. Menurut kamus bahasa Sunda yang disusun oleh R.A. Danadibrata, gelap 1) soara kilat lantaran dina tapakna diadu hawa nepi kadenge ngajeger (gelap itu suara kilat karena merupakan bekas beradunya awan hingga terdengar suara menggelegar), gelap 2) poek (gelap dalam bahasa Sunda juga dapat diartikan gelap gulita). Adapun dalam kamus bahasa Sunda yang disusun oleh R. Satjadibrata, gelap 1) geledeg sok kadenge beledagna di langit jeung katinggal burinyayna (gelap itu suara menggelegar yang terdengar suara menggelegarnya di langit dan terlihat cahaya kilatannya).

Mengingat apa-apa yang kami lewati di Gunung Gelap, aku merasa waktu seakan dilipat, padahal baru tadi siang kami menikmati merdunya suara deburan ombak Pantai Rancabuaya, dan lembutnya terpaan angin semilir di pesisir pantai. Indah rasanya melihat ekosistem yang terhampar, juga memperhatikan corak budaya masyarakat pesisir yang tampak berbeda dengan masyarakat pegunungan tempat aku tinggal.
Fenomena perbedaan karakter masyarakat ini kami saksikan oleh mata kami sendiri, yaitu ketika kami beristirahat di warung Pangalengan, dan di warung sekitar Pesisir Pantai. Si Ibu warung di Pangalengan berbicara lebih halus, lemah lembut gaya bicaranya. Berbeda dengan Ibu warung di pesisir pantai yang gaya bicaranya terasa menghentak, suaranya lebih keras, dan tegas. Yahhh unik memang, ketika manusia ditempatkan di kondisi lingkungan alam yang berbeda, maka akan melahirkan sosok yang berbeda pula.

Akhirnya kami melewati malam dengan berlarut-larut dalam berbagai cerita yang dibawakan oleh perspektif masing-masing, sampai-sampai lelah kami seakan hilang begitu saja karena gelak tawa atas berbagai kejadian lucu yang terjadi di jalanan. Tidak terasa waktu sudah melewati tengah malam, padahal tadi pagi kami sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan ini itu untuk keberangkatan kami dan sepanjang hari berikutnya berada dalam ketegangan dan keseruan perjalanan.
