Kampung Kahuripan di Perkebunan Cukul

Tulisan ini adalah hasil “Kelas Menulis” yang merupakan bagian dari kegiatan pelatihan Aleut Development Program (APD) 2020.

Ditulis oleh : Deuis Raniarti

Selalu ada yang pertama kali dalam hidup, seperti pertama kali menangis, pertama kali bisa mengayuh sepeda, atau pertama kali mencicipi buah lemon. Minggu, 8 November 2020 adalah pertama kalinya saya ke Rancabuaya. Saya ke sana dalam rangka Momotorannya Aleut Development Program angkatan 2020. Ada sepuluh orang peserta yang ikut. Hari cukup cerah saat kami melewati Banjaran, Cimaung, Pangalengan, sampai ke Perkebunan Cukul.

Dalam Momotoran kali ini motor yang saya tumpangi tidak menjadi leader, melainkan berada di urutan kedua. Leader dalam perjalanan ini adalah Adit yang ditemani Inas. Adit memacu motor dengan cukup cepat tanpa ragu. Pemberhentian pertama kami adalah Tugu Perintis Cimaung untuk mengetahui peristiwa apa yang diperingati oleh pendirian tugu itu.

Tugu Perintis Cimaung. Foto: Rani.

Dalam perjalanan ini saya baru menyadari betapa luasnya Perkebunan Teh Pasirmalang. Pada Momotoran lalu, kami juga ke Pasirmalang, tapi di bagian dalamnya, itu pun dalam keadaan hujan besar serta kabut yang tebal. Jalanan mulus di perkebunan ini terasa menyenangkan sekali. Ada banyak kelompok pengendara lain juga di jalur ini, mungkin menuju berbagai tempat wisata yang semakin banyak tersebar di kawasan ini.

Perkebunan Teh Pasirmalang. Foto: Rani.

Banyak juga kelompok pengendara yang nongkrong di warung-warung tepi jalan. Apa mungkin sebagian datang ke sini sekadar untuk menikmati pemandangan yang memang indah sambil jajan-jajan di warung dan bercanda dengan teman-teman seperjalanan? Ya, asik juga. Saat sedang mencari warung dengan lokasi yang cukup nyaman, saya cukup kaget melihat kerumunan yang agak tidak biasa di sebuah warung kosong. Dinding-dinding warung ditutupi oleh terpal atau spanduk bekas. Setelah mengamati lebih baik, ternyata di balik kerumunan itu sedang ada kegiatan memandikan jenazah. Saya tak habis heran, kenapa memandikan jenazah di warung kosong di tepi jalan raya seperti itu? Apakah hal ini biasa dilakukan di sini? Di jalanan tak terlihat ada bekas-bekas kecelakaan dan kerumunan itu juga tidak memperlihatkan sesuatu yang aneh, semua seperti yang sudah biasa.

Pukul 10.28 kami berhenti di sebuah warung yang letaknya di atas sebuah permukiman perkebunan. Sebagian besar kami memang belum sarapan, jadi lumayanlah kalau dapat menemukan roti, gorengan, atau makanan kecil lain untuk ganjal perut. Sebagian teman, langsung saja memesan kopi, sedang yang lainnya mengambil berbagai macam kerupuk dan snack. Asik juga makan minum kecil bersama di sebuah meja bundar berkanopi sambil menikmati pemandangan sekitar.

Jajaran warung di kawasan Perkebunan Pasirmalang dan gerbang Perkebunan Teh Cukul. Foto: Rani.

Sambil beristirahat di warung, kami melihat sedang ada pertandingan volley ball di kampung di bawah. Ada banyak warga yang menonton di sekeliling lapangan dan berteriak menunjukkan keseruan pertandingan. Di bawah warung ini memang terdapat sebuah kampung kecil dengan rumah-rumah bedeng, beberapa kolam di depan kompleks perumahan, dan sebuah lapang rumput di antara lapang volley dan area permukiman. Terasa cukup nyaman suasananya, hanya sayang kebanyakan rumah biliknya sudah dalam kondisi yang kurang bagus.

Sarapan seadanya di sisi jalan Perkebunan Teh Cukul. Foto: Rani.

Selain beristirahat, kami juga minta izin pada ibu warung untuk menumpang ke kamar kecil. Tapi ada yang unik dari WC ini, ketika masuk, saya kebingungan karena pintu tidak bisa dikunci, hanya ada tali rapia menggantung tapi entah harus dikaitkan ke mana. Akhirnya, saya meminta salah satu teman untuk menjaga dan memegangi pintu WC. Tak berhenti sampai di situ, ternyata bagian bawah WC ini bolong besar dan terbuka ke arah perkebunan hahaha. Ini benar-benar harus bersiasat untuk buang air kecilnya.

Setelah kembali dari WC, saya dan beberapa teman berbincang dengan Ibu warung. Kami ingin tahu lebih banyak tentang kampung di bawah warung ini. Si ibu dengan ramah menceritakan banyak hal yang rasanya cukup menarik untuk saya catat. Nama kampung ini, Kampung Kahuripan. Semua penghuni kampung ini adalah para pekerja di Perkebunan Teh Cukul.

Kampung Kahuripan yang terlihat cukup menyenangkan untuk ditinggali. Foto: Rani.

Di kampung yang tidak terlalu luas ini ada 14 buah rumah yang dihuni oleh 48 kk, berarti setiap satu rumah bisa terisi oleh lebih dari satu keluarga. Setiap bangunan rumah itu di dalamnya ternyata disekat-sekat untuk masing-masing keluarga yang mendiaminya. Dalam setiap sekat itu hanya ada satu kamar saja untuk setiap keluarga, jadi memang ruang-ruang kecil saja di dalamnya. Untuk menyiasati ruang, beberapa rumah memperluas bangunannya ke samping atau ke belakang. Menurut ibu warung, dari semua rumah yang ada, hanya satu rumah saja yang tidak memperluas bangunannya, rumah yang terletak di belakang masjid. Sementara rumah tertua dan yang bentuknya masih asli adalah yang letaknya paling belakang, agak terpisah dari rumah lainnya, dan lebih dekat ke arah jalan raya.

                Kolam-kolam yang dipetak-petak di depan kampung itu ternyata penampungan mata air-mata air yang berada di bawahnya. Dalam satu kampung kecil ini cukup banyak terdapat mata air, bahkan ada dua mata air yang cukup besar dan disalurkan ke Pabrik Teh Cukul yang letaknya beberapa ratus meter di belakang kampung. Kata ibu warung, mata air-mata air ini bahkan sempat dilirik oleh sebuah perusahaan air minum kemasan yang besar, namun seluruh warga menolaknya. Kualitas air di kampung ini konon sangat bagus dan sudah mengalami penelitian. Hasilnya penelitiannya menyatakan bahwa air di situ aman untuk diminum langsung dari sumbernya tanpa harus dimasak lebih dulu. Bukan cuma air yang melimpah, soal listrik pun tidak ada masalah di kampung yang terlihat sangat sederhana ini.

Pabrik Teh Cukul. Foto: Rani.

Dari ibu warung kami juga mendapatkan informasi tentang rumah administratur perkebunan yang terletak tidak jauh dari gapura perkebunan, lokasinya di seberang GOR yang terlihat kuno. Rumah-rumah asisten yang terdiri dari empat buah terletak di depan pabrik, namun salah satunya agak terpisah dan letaknya lebih tinggi dari posisi pabrik. Semua rumah asisten lainnya dapat dilihat dari jalan raya di depan pabrik. Sekilasan terperhatikan sepertinya rumah asisten yang terletak di ketinggian itu dalam keadaan kosong dan seperti agak tebengkalai.

Sebenarnya saya masih ingin berbincang lebih lama bersama ibu warung dan ingin turun melihat langsung rumah-rumah di kampung dari jarak dekat, namun perjalanan menuju pantai selatan harus segera kami lanjutkan. Kami akhirnya berpamitan pada Ibu warung sambil berharap lain kali ingin mampir lebih lama dan mampir main ke dalam kampung sekalian mencicipi air alamnya. Pasti sangat segar rasanya.

Rancabuaya masih sekitar 58 kilometer lagi dari sini. Kami harus agak cepat mengejar waktu agar tidak kesorean sampai di sana dan masih cukup waktu untuk langsung kembali ke Bandung hari itu juga. Sekadar pesan, keadaan jalan menuju Rancabuaya ini menanjak dan menurun layaknya roller coaster dengan kontur jalan garinjul disertai banyak tikungan tajam, kudu ekstra hati-hati menjalaninya.

Menuju Rancabuaya. Foto: Rani.
Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s