Tulisan ini adalah hasil “Kelas Menulis” yang merupakan bagian dari kegiatan pelatihan Aleut Development Program (APD) 2020.
Ditulis oleh : Madihatur Rabiah
Ini merupakan ketigakalinya diriku menginjakkan kaki di kota yang terkenal dengan dodolnya, dan keduakalinya kuikuti kegiatan momotoran yang kali ini tujuannya ke Rancabuaya.
Pagi, 8 November 2020, aku dan sembilan peserta Aleut Development Program lainnya berangkat dari sekretariat Komunitas Aleut menggunakan enam buah motor. Sebelumnya kami briefing dulu tentang hal-hal yang perlu diperhatikan selama dalam perjalanan, dan berdoa bersama.
Setelah semuanya siap, kami berangkat melalui rute Pangalengan yang sama persis seperti waktu momotoran ke Pangalengan dua minggu lalu. Bedanya, kali ini kami berhenti di sebuah pertigaan di Cimaung. Di sini kami diminta untuk mengamati sebuah tugu yang didirikan di sudut pertigaan jalan itu. Ternyata tugu ini didirikan untuk memperingati suatu peristiwa yang pernah terjadi di situ pada tahun 1932, yaitu ketika Ir. Soekarno memberikan kuliah politik untuk warga setempat. Pada sebuah prasasti tertulis sekitar seratus nama warga yang mengikuti kuliah politik itu, nama yang tertera paling atas adalah Inggit Garnasih.

Setelah diberikan waktu untuk mendokumentasikan area sekitar tugu tersebut, kami lanjutkan perjalanan. Ketika melewati jembatan bertuliskan Cikalong, aku teringat lagi cerita gunung-gunung di sekitar kawasan ini yang disampaikan saat momotoran ke Pangalengan dua minggu lalu.
Tak lama kemudian, kami melewati sebuah gapura batu dengan tulisan Perkebunan Teh Cukul. Beberapa saat kemudian, aku terkesima melihat sebuah bangunan besar berwarna putih yang mirip dengan rumah-rumah di Eropa. Di dekat rumah ini ada sebuah danau kecil yang dikelilingi oleh taman. Indah sekali. Tidak jauh dari situ, kami berhenti untuk mengamati lingkungan sekitar sambil sarapan di sebuah warung.
Di sini aku dengar dari ibu warung bahwa rumah putih tadi sering disebut sebagai Rumah Jerman, pemiliknya adalah perusahaan teh yang juga pemilik Perkebunan Cukul. Ibu warung juga bercerita bahwa perkebunan ini juga berbatasan dengan wilayah Kabupaten Garut. Sebelum berangkat lagi, aku masih mendengar cerita ibu warung tentang Kampung Kahuripan yang ada di bawah, kampung kecil yang terdiri dari 14 rumah dan dihuni oleh 48 keluarga yang semuanya pekerja di Perkebunan Cukul.

Mulai dari sini, jalanan yang kami lewati jadi ekstra berliku, belokan-belokan pendek dan tajam, tanjakan dan turunan yang curam-curam. Terasa tidak akan mudah mengendalikan kendaraan di jalanan seperti ini. Setelah satu jam lebih menempuh jalan seperti ini, Teh Anis yang memboncengku kehilangan kendali di sebuah tanjakan setelah turunan curam. Motor kami terperosok ke luar badan jalan. Untunglah tebalnya semak-semak membantu menahan motor kami, sehingga tidak terjadi kecelakaan fatal atau kerusakan motor. Hanya tanganku sedikit terkilir dan kaca helm Teh Anis copot dari dudukannya. Kawan-kawan lain dengan sigap pula memberikan bantuan dan P3K yang diperlukan. Dari sini, aku pindah boncengan ke motornya Farly, agar Teh Anis bisa lebih leluasa mengendalikan motor selama kondisi jalanan penuh kelokan ini.
Sekitar satu jam kemudian kami sudah tiba di Pantai Rancabuaya. Aku sempatkan browsing mencari tahu apa arti nama Rancabuaya dan menemukan bahwa arti ranca dalam bahasa Sunda adalah rawa-rawa. Berarti rawa-rawa yang banyak buayanya ya? Semoga sekarang sudah tidak ada buaya lagi di daerah ini. Bakal berbahaya kalau masih ada, soalnya kawasan pantai ini sudah dijadikan salah satu destinasi wisata favorit. Bisa kulihat ada banyak warung, rumah makan, penginapan, dan banyak bale-bale didirikan di tepi pantai. Bisa jadi saat tidak pandemi pantai ini jauh lebih ramai dibanding saat kami datang hari ini.
Kami langsung turun menemui air laut di bibir pantai. Teman-teman pun bersemangat bermain air laut, mencari kerang atau kepiting atau kumang, tentunya sambil banyak-banyak membuat foto juga. Sesudah kenyang bermain di pantai, kami segera melanjutkan perjalanan, kali ini menyusur garis pantai ke arah timur. Keluar dari Rancabuaya kami mengambil jalur yang berbeda dengan jalur kedatangan, melewati padang rumput yang luas dengan pemandangan lepas ke laut selatan. Pemandangannya kok seperti di luar negeri ya..

Kami sempat berhenti sejenak di warung di seberang sebuah masjid besar, makan-minum seadanya sambil salat juga di masjid yang tampak mewah tapi ternyata sangat sepi dan kondisinya kurang terawat. Beberapa saluran air pun mati. Di warung, kami masih sempat bercanda dengan pasangan suami-istri pemilik warung dan dengan dua anak pemulung kemasan plastik. Walaupun malu-malu, kedua anak ini ikut larut juga berkumpul bersama kami.
Dari sini kami diarahkan untuk mengambil jalur pulang ke Bandung lewat Garut, tujuannya agar dapat mengalami daerah Gununggelap saat hari masih cukup terang. Katanya sih selama ini Komunitas Aleut selalu melewati kawasan itu saat hari sudah malam. Cerita tentang Gununggelap akan diberikan kemudian melalui grup whatsapp ADP-20. Baiklah..
Ternyta perjalanan melewati Gununggelap ya cukup menantang adrenalin, banyak melewati kawasan hutan juga. Sebelum keluar Gununggelap hari pun sudah ikut gelap. Kami masih berhenti sekali lagi di perbatasan Gununggelap untuk melaksanakan salat. Istirahat terakhir kami lakukan di ujung Lingkar Nagreg. Pada bagian akhir perjalanan ini udara terasa lebih dingin sampai menusuk tulang. Makanya perlu sedikit penghangat badan, terutama minuman panas. Pukul sebelas malam, kami semua tiba di sekretariat Komunitas Aleut. Badan terasa sangat lelah. Sebagian teman langsung menyeduh wedang yang tersedia agar tubuh kembali panas.
Perjalanan ini cukup melelahkan, terutama bagi saya yang baru pertama kali mengalaminya, namun juga menyenangkan dan banyak hal baru yang aku dapatkan. Ada banyak cerita dan pengalaman yang lucu juga. Terima kasih untuk perjalanannya, Aleut.