Saya kembali melewati Cikajang, sebuah kota kecil di Kabupaten Garut. Malam itu, suasana lengang dan sedikit basah. Cikajang tetaplah Cikajang, kota berhawa dingin ini sering saya kunjungi dahulu, baik saat menempuh perjalanan ke Pangandaran, ataupun secara sengaja untuk melihat-lihat keadaan stasiun di sana. Minggu 8 November 2020 itu, saya melewati Cikajang bersama teman-teman dari Komunitas Aleut. Perjalanan “momotoran” ini merupakan bagian dari Aleut Development Program 2020. Jalur yang kami tempuh saat itu adalah jalur Bandung – Pangalengan – Rancabuaya – Pameungpeuk – Cikajang – Garut – dan kembali ke Bandung.
Saat itu, saya hanya punya waktu beberapa detik saja untuk menengok ke arah Stasiun Cikajang. Stasiun tertinggi di Indonesia ini memang ada di dalam gang. Sebenarnya, keberadaan Stasiun Cikajang ini tidak jauh dari pinggir jalan raya. Stasiun ini hanya tersembunyi di belakang toko-toko, dan dalam keadaaan rusak parah dan menunggu renovasi. Saat melewati Cikajang saat itu, ada beberapa cerita tentang Stasiun Cikajang yang lewat di kepala.

Dicibir Dewan Rakyat
Rencana pembangunan jalur Garut Cikajang sempat menuai protes dari Dewan Rakyat. Mereka menganggap jalur ini akan kalah bersaing dengan angkutan darat lain yang jumlahnya meningkat di pertengahan 1920-an. Akan tetapi, Staatsspoorwegen sebagai perusahaan kereta api negara keukeuh membangun jalur kereta api. Pasalnya, pemerintah Hindia Belanda sedang mendapatkan durian runtuh karena naiknya harga salah satu andalan ekspor mereka. Karena keuntungan ini, SS membangun beberapa jalur kereta api, termasuk jalur Garut Cikajang dan elektrifikasi jalur Bogor dan Batavia (De Sumatera Post, April 1924).
Keberadaan jalur ini benar-benar jadi cibiran dewan karena prediksi mereka akhirnya terbukti. Jalur kereta api Garut Cikajang ini ternyata sepi. Apalagi, keadaan ini ditambah oleh adanya resesi ekonomi dunia yang sangat hebat di tahun 1930-an (Bataviaasch Nieuwsblad, September 1930).
Stasiun Tertinggi di Indonesia
Stasiun Cikajang merupakan stasiun tertinggi di Indonesia yang berada di ketinggian 1246 meter di atas permukaan air laut (mdpl). Saat ini, stasiun aktif tertinggi dipegang oleh Stasiun Nagreg yang ada di atas ketinggian 848 mdpl.
Berdasarkan Indische Staatsblad no. 204 yang dikeluarkan pemerintah tanggal 18 Maret 1921, tentang amandemen dan peningkatan anggaran pengeluaran Hindia Belanda tahun dinas 1921, untuk pembangunan dan perluasan rel dan trem di Priangan (Iman Subarkah, 1992, Sekilas 125 Tahun Kereta Api Kita 1867-1992), perusahaan negara Staatsspoorwegen (SS) mendapatkan ijin untuk membangun jalur kereta api baru dari Garut menuju Cikajang. Tujuannya, tentu saja membuka isolasi Cikajang dan mempermudah transportasi baik penumpang maupun hasil alam.
Selain itu, kecantikan alam Garut sangat menarik orang untuk singgah bahkan tinggal di sana. Koran Belanda menulis pengalaman perjalanan antara Garut dan Cikajang sebagai pengalaman yang hebat dan tidak akan terlupakan. (Bataviaasch Nieuwsblad, Agustus 1930).

Pembukaan Stasiun yang Mengosongkan Pasar
Saat kami melewati Kota Cikajang, kota kecil nan dingin ini sedikit sepi dan basah, karena hujan mengguyur kota sebelumnya. Cikajang biasanya ramai saat siang hari, ketika pasar sedang beroperasi. Kemacetan kecil di mulut pintu Pasar Cikajang menjadi pemandangan biasa. Selain lalu lalang kendaraan yang keluar dan masuk ke pasar, angkutan umum kerap berhenti lama untuk menunggu penumpang di sisi jalan raya.
Jalur antara Garut Cikajang yang melewati stasiun seperti Kamojan, Bayongbong, Cisurupan, dan beberapa stasiun lainnya ini diresmikan pada tanggal 1 Agustus 1930. Dalam peresmian tersebut, SS menyediakan gamelan dan nayub sebagai hiburan untuk masyarakat Cikajang. Upacara ini dihadiri oleh perwakilan dari Gouvernement Bedrijven Bandung, Residen Priangan Timur, dan Bupati Garut. dan mampu menarik perhatian warga sekitar yang awalnya tidak tertarik dengan apa yang ditampilkan. Antusiasme masyarakat ini bahkan sampai mengosongkan Pasar Cikajang hari itu (Bataviaasch Nieuwsblad, Agustus 1930).

Kapan Aktif?
Sebelum jalur kereta api Garut-Cikajang dibangun, kawasan Cikajang sudah ramai karena para pengusaha khususnya dari Belanda mulai menanam investasi di sana, di akhir abad 19. Di sana, mereka mendirikan sekitar 5 perkebunan teh, yaitu di Giriawas, Cisaruni, Cikajang, Papandayan, dan Darajat. Jumlah ini meningkat di awal abad 20, ketika para pengusahan Belanda, Italia, Jerman, Inggris, dan China membuka perkebunan di Cilawu, Cisurupan, Pakenjeng, Cikajang, Cisompet, Cikelet, dan Pemeungpeuk (Kunto Sofianto, 2001, Garoet Kota Intan).
Seiring perjalanan waktu, Stasiun Cikajang berhenti beroperasi di awal tahun 1980-an. Penutupan jalur Garut Cikajang diikuti pula oleh penutupan jalur antar Cibatu dan Garut. Jika bagian Cibatu dan Garut sudah hampir selesai diperbaiki, maka jalur menuju Cikajang masih sedang dalam proses perbaikan. Satu hari, mudah-mudahan stasiun di kota kecil ini dapat diaktifkan kembali. Setidaknya, keberadaan stasiun ini sekarang benar-benar diinginkan.

Ditulis oleh Hevi Abu Fauzan, member Komunitas Aleut, bekerja sebagai manajer konten di Simamaung.com. Anggota Tim Ahli Cagar Budaya tingkat Kabupaten dan Kota di Jawa Barat. Dapat dihubungi melalui akun sosial @pahepipa.