Legenda dan mitos merupakan bentuk cerita rakyat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), legenda adalah cerita rakyat zaman dahulu yang ada hubungannya dengan peristiwa sejarah. Sedangkan mitos adalah cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman dahulu yang mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta alam, manusia, dan bangsa, dan mengandung arti mendalam yang diungkapkan dengan cara gaib.
Terkadang pengertian antara legenda dan mitos kerap dicampuradukkan. Namun, sebenarnya ada beberapa perbedaan antara legenda dengan mitos. Perbedaan yang cukup mendasar adalah pada tokoh utama pelaku, waktu kejadian, dan kedudukannya sebagai cerita rakyat. Jika tokoh dalam mitos adalah dewa atau manusia setengah dewa, dan peristiwanya terjadi dalam masa ketika alam dunia belum terbentuk, atau dalam proses terbentuknya alam semesta, maka tokoh dalam legenda adalah manusia biasa dan terjadi setelah dunia tercipta. Perbedaan lainnya antara legenda dan mitos adalah kedudukan cerita mitos dianggap memiliki nilai sakral/kisah suci dan dipercaya kebenarannya oleh satu suku bangsa.
Kedudukan mitos sebagai kisah yang sakral dan suci biasanya didukung oleh penguasa dan pemuka agama atau orang yang dianggap suci dalam masyarakat itu. Dalam beberapa mitos yang memiliki keterkaitan dengan wabah dapat dilihat peran dan keterlibatan para pemuka agama atau orang yang dianggap memiliki kelebihan tertentu.
Tulisan mengenai mitos wabah di sini dibatasi hanya mengenai kisah mitos di lingkungan daerah Sunda, dan khususnya dari masa penyebaran Islam hingga mitos-mitos yang tetap hidup di masa modern.
Dalam cerita rakyat atau folklore dapat ditemukan nilai-nilai kebajikan, keberanian, kejujuran, kekuatan tekad, kesabaran, keikhlasan, dan pelajaran bahwa kesabaran akan membuahkan hasil, dan bahwa kebajikan akan mampu mengatasi kejahatan. Tujuan lain yang bisa diperoleh dari cerita legenda dan mitos adalah mempelajari dan mengerti bagaimana reaksi masyarakat dalam menghadapi wabah penyakit di masa lalu.
Legenda Menjangan Wulung dan Azan Pitu
Legenda dan mitos tentang wabah penyakit pernah terjadi di Kerajaan Cirebon dalam masa kepemimpinan Syarif Hidayatullah atau yang dikenal sebagai Sunan Gunung Jati (1448-1568). Kisah legenda ini terkait dengan hilangnya memolo (mustaka) Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang dibangun pada masa pemerintahan Syarif Hidayatullah dan dibantu oleh Sunan Kalijaga.
Kisah legenda dan mitos mengenai Menjangan Wulung dan Azan Pitu ini dikutip dari buku Syarif Hidayatullah (Sang Pengembang Kerajaan Cirebon) yang ditulis oleh Besta Besuki Kertawibawa. Diceritakan, Kerajaan Cirebon pernah dilanda wabah penyakit yang sangat mematikan. Orang yang terjangkit penyakit ini hanya mampu bertahan satu hari saja. Jika orang tersebut menderita sakit di pagi hari bisa dipastikan keesokan harinya orang tersebut telah meninggal dunia. Penyakit ini ternyata disebarkan oleh sosok Menjangan Wulung yang dikenal sakti.

Untuk melawan kesaktian Menjangan Wulung dilakukanlah azan yang dikumandangkan oleh tujuh orang santri (santri pitu). Cara ini ditempuh setelah Syarif Hidayatullah berunding dengan Sunan Kalijaga guna mencari cara yang paling ampuh untuk melawan wabah penyakit yang disebarkan Menjangan Wulung. Keputusan untuk mengumandakan azan pitu ini dipilih setelah diketahui bahwa Menjangan Wulung bersembunyi di puncak atap (memolo) Masjid Agung Sang Cipta Rasa.
Ketika azan dikumandangkan oleh tujuh orang santri, seketika itu mustaka Masjid Agung Cirebon terlontar ke udara dan Mejangan Wulung tewas disertai hilangnya wabah penyakit. Diceritakan memolo Masjid Agung Cirebon terbang ke arah Banten kemudian ditangkap oleh Pangeran Hasanudin dan ditumpukkan di atas memolo Masjid Agung Banten, sehingga masjid ini memiliki atap yang bertumpuk, sedangkan Masjid Agung Sang Cipta Rasa tidak memiliki mustaka.
Kisah legenda Menjangan Wulung dan Azan Pitu ini berkaitan dengan dua tokoh penyebar agama Islam, yaitu Syarif Hidayatullah dan Sunan Kalijaga. Adanya dua tokoh agama yang dapat mengatasi wabah penyakit membuat masyarakat Cirebon mempercayai kisah mitos ini. Pada awal mewabahnya Covid-19, upaya untuk mengatasi penyebarannya juga dilakukan dengan cara mengumandangkan azan pitu di Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Cirebon.
Kisah legenda Menjangan Wulung dan Azan Pitu dapat dipahami berdasarkan teori euhemerisme yang mengatakan bahwa mitos adalah peristiwa sejarah yang dilebih-lebihkan, dan terjadi karena budaya tutur tradisional. Salah satu bentuk penyebaran cerita rakyat memang melalui kisah lisan dalam bentuk pantun dan tembang. Melalui legenda Menjangan Wulung yang menyebarkan wabah penyakit dapat juga dipelajari bagaimana masyarakat melihat suatu fenomena yang tak dapat dijelaskan dan dipahami oleh nalar, yaitu dengan membuat personifikasi atas wabah penyakit sebagai sosok jahat, yaitu Menjangan Wulung, yang membawa kematian.

Penghulu Agama Islam dan Suntik Mayit
Setelah era penyebaran Islam dengan tokoh sentral berada di tangan agamawan yang dianggap sebagai Wali Allah (Walilullah), yaitu sosok Sunan, kemudian di Pulau Jawa dikenal jabatan penghulu, yaitu pemuka agama Islam. Pada saat terjadi wabah, penghulu bertugas memberikan peringatan dan penjelasan kepada masyarakat.
G.F. Pijper, dalam bukunya “Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950”, mencatat beberapa kisah keterlibatan penghulu dalam penanggulangan penyebaran wabah penyakit pes di Pulau Jawa.
Kisah pertama terjadi di Kabupaten Demak saat berjangkit wabah pes. Penghulu datang langsung ke desa untuk membacakan doa tolak balak (du’a daf’ al-bala). Ia juga memberikan penjelasan tentang praktik suntik limpa yang dilakukan terhadap mayat penderita pes agar tidak menimbulkan kesalahan pemahaman.
Kisah kedua terjadi di Kabupten Tasikmalaya dan Garut saat wabah pes pada tahun 1930-an. Bupati Tasikmalaya memerintahkan penghulu dan naib untuk memberikan penjelasan mengenai wabah pes di masjid setelah salat Jum’at. Terkadang Bupati dan naib turun langsung mendatangi suatu desa dan ikut salat Jumat lalu memberikan penerangan tentang pemberantasan penyakit pes seusai salat.
Hal yang sama dilakukan pula di Garut, ditambah dengan penyebarluasan selebaran kertas karton berisi doa yang dikutip dari doa untuk kedua orang tua dalam aksara Arab beserta terjemahannya dalam bahasa Sunda. Di bagian belakang kertas doa dituliskan pula anjuran untuk membaca doa ini sebanyak 25 kali sehari selama masa berjangkitnya wabah pes.
Penyebarluasan doa seperti ini juga sebenarnya pernah dilakukan oleh Sunan Kalijaga melalui tembang “Rumekso Ing Wengi” yang ditulisnya berdasarkan inspirasi dari surat-surat dalam Al-Quran, yaitu surat An-Nas dan Al-Falaq. Tembang ini dipercaya dapat memberikan keselamatan dan perlindungan dari berbagai penyakit. Berikut ini petikan kidung “Rumekso Ing Wengi”:
Ana kidung rumeksa ing wengi
Teguh hayu luputa ing lara
Luputa bilahi kabeh
Jin setan datang purun
Paneluh tan ana wani
Miwah panggawe ala
Gunaning wong luput
Geni atemahan tirta
Maling adoh tan ana ngarah ing mami
Guna duduk pan sirna
Terjemahan:
Ada kidung rumeksa ing wengi
Menyebabkan kuat selamat terbebas dari semua penyakit
Terbebas dari segala petaka
Jin dan setan pun tidak mau
Segala jenis sihir tidak berani
Apalagi perbuatan jahat
Guna-guna dari orang terbuang
Api menjadi air
Pencuri pun pergi menjauh
Segala bahaya akan lenyap
Kepercayaan masyarakat akan khasiat parancah (mantra), falakiah dan jimat (azimat) dalam memberikan perlindungan dari segala bahaya, termasuk penyakit, dicatat oleh Kepala Penghulu Bandung, R. Haji Hasan Mustapa dalam bukunya “Bab Adat-adat Urang Priangan Jeung Sunda Lian ti Eta”.

Kisah ketiga peran penghulu dalam memberikan penjelasan mengenai informasi yang salah dalam penanganan wabah penyakit pes dilakukan oleh Kepala Penghulu Bandung, Raden Haji Abdul Kadir, yang menulis dua buku tentang suntik mayat pada tahun 1930-an. Masing-masing buku itu berjudul “Pepeling Tina Hal Soentik Mayit Dina Oesoem Panyakit Pes” (Suatu Penjelasan tentang adanya suntik mayat pada waktu berjangkit wabah pes) dan “Katerangan Pepeling Hal Soentik”. Isi kedua tulisan tadi disertai penjelasan dan peringatan dari kitab-kita bahasa Arab tentang ketuhanan (tauhid).
Pemahaman yang salah tentang tindakan suntik mayat untuk mengambil darah dari limpa guna menentukan orang tersebut meninggal karena penyakit pes, berasal dari mitos yang tersebar di masyarakat.

Sjarif Amin dalam bukunya “Di Lembur Kuring” (1964) menggambarkan bagaimana suasana ricuh yang terjadi dengan diberlakukannya tindakan suntik mayat. Dijelaskan bahwa masyarakat lebih takut kepada tindakan suntik mayat daripada penyakit pes. Menurut Sjarif Amin, masyarakat saat itu memandikan orang meninggal dengan cara yang lembut karena dipercaya jenazah masih dapat merasakan rasa sakit. Jadi ketika ada aturan dari pemerintah untuk melakukan suntik mayat, maka muncul berbagai tentangan. Warga lebih memilih untuk menyembunyikan orang yang meninggal dan memakamkannya secara sembunyi-sembunyi saat tengah malam di kolong rumah mereka. Bahkan beberapa orang rela berurusan dengan hukum karena menentang aturan suntik mayat dan mengharamkan tindakan ini. Kerap pula dikisahkan masyarakat desa menghalang-halangi kerja mantri yang bertugas menyuntik mayat hingga mengepung tempat tinggalnya karena menganggap tugas Mantri menyedot darah adalah tindakan yang salah.
Untuk memberikan penjelasan tentang mitos yang salah mengenai pemulasaraan jenazah, maka pemerintah saat itu melibatkan penghulu dalam fungsinya sebagai mufti (pemberi fatwa) untuk menyatakan bahwa orang yang telah meninggal tak mungkin dapat merasa. Praktik membaca Bismillah sebelum mantri menyuntik mayat pun sangat mungkin merupakan masukan yang juga diberikan oleh penghulu.
Jurig Kuris (Hantu Cacar)
Kisah mitos makhluk halus yang dihubungkan dengan penyakit adalah cerita Jurig Kuris (Hantu Cacar). Menurut kesaksian Us Tiarsa dalam buku memoar masa kecilnya yang berjudul “Basa Bandung Halimunan”, penyakit cacar sempat kembali merebak di Bandung pada tahun 1950-an. Orang tua saat itu menyebutnya sebagai masa pagebug.
Cerita jurig kuris muncul karena penyakit cacar dianggap bukan penyakit biasa dan belum ada obatnya. Penduduk Bandung mengobati penyakit cacar dengan cara dimandikan dengan air do’a. Sedangkan menurut Sjarif Amin penyakit cacar saat itu hanya diobati dengan jampi (parancah) dan falakiah. Bekas luka cacar diobati dengan abu dari pembakaran pelepah pohon aren yang digunakan layaknya bedak tabur.
Wujud jurig kuris digambarkan sebagai sepasang hantu yang mematuk wajah penderita penyakit cacar. Hantu cacar dipercaya kerap berkeliaran pada saat petang, sehingga anak-anak, bahkan orang tua, takut berada di luar rumah jika hari sudah menjelang malam. Hal ini mengingatkan pada makhluk halus kelong wewe yang berkeliaran saat petang dan kerap menculik anak kecil.
Mitos bentuk jurig kuris yang merupakan perwujudan dari penyakit cacar adalah usaha dari masyarakat saat itu menjelaskan fenomena penyakit cacar yang tak biasa. Alam pikiran masyarakat saat itu lebih dapat menerima hantu yang memilik wujud daripada penyakit yang tak terlihat.
Sebenarnya usaha pengobatan modern dengan cara disuntik pun dilkakukan, namun cara tersebut dianggap menyebabkan demam, sehingga banyak orang yang enggan disuntik vaksin dan lebih memilih untuk menghindar saat akan dilakukan penyuntikan. Bahkan anak-anak yang telah disuntik dengan cara “dikuris” kemudian diobati oleh orang tuanya dengan membalurkan tanah dari kolong rumah pada bekas luka kuris. Akibat tindakan ini bekas luka suntik malah menjadi bengkak.
Tindakan masyarakat yang menghindari suntik cacar (dikuris) sama dengan fenomena ketika sebagian masyarakat menolak suntik limpa jenazah pada saat merebaknya wabah penyakit pes tahun 1930-an.
Kepala Penghulu Bandung sebenarnya pernah dilibatkan dalam penanggulangan penyakit cacar beberapa puluh tahun sebelumnya. Seperti kesaksian Hoofd Panghulu Bandung Raden Haji Hasan Mustapa (1895-1918) pada saat muncul penyakit cacar ia diminta atasannya untuk memerintahkan semua orang menjaga kebersihan tempat tinggal, sumur, makanan, dan melarang pelayat untuk makan dan minum di rumah orang yang meninggal. Cerita ini dituliskan oleh Raden Haji Hasan Mustapa dalam bukunya “Bab Adat-adat Urang Priangan jeung Urang Sunda Lian ti Eta” yang diterbitkan tahun 1913 oleh kantor percetakan pemerintah Hindia Belanda di Batavia.
Dari beberapa kisah legenda dan mitos terkait wabah di atas dapat dipelajari bagaimana alam pikiran masyarakat dari berbagai zaman merekam dan menjelaskan fenomena penyakit dan peran tokoh masyarakat seperti penghulu dalam memberikan penjelasan tentang mitos yang salah mengenai wabah penyakit.