Coretan dari Ciletuh

Oleh: Audya Amalia

Di atas lapisan bumi itu

Dua jenis lempeng bertemu

Atas keniscayaan waktu

Mereka bergusur tak teratur

Mereka bertekstur

***

Awalnya yang saya kira, dengan menyaksikan langsung hasil pergerakan lempeng bumi, saya akan lebih menggali teori tektonika lempeng dan serangkaian pengetahuan geologi lainnya. Alih-alih demikian, ketika melihat langsung bebatuan di Ciletuh, pikiran saya malah melayang jauh pada salah satu konsep estetika Timur yang disebut dengan “Wabi-Sabi”. Konsep tersebut merupakan cara pandang dalam memaknai ketidaksempurnaan. Wabi-sabi mengajarkan bahwa hal-hal dalam hidup ini tidak ada yang bertahan kekal, semuanya berproses dan berkembang bersama waktu. Itulah yang saya temukan dalam perjalan Ciletuh pada 8-10 November 2019 bersama Komunitas Aleut Mania Mantap.

Apa hubungannya wabi-sabi dengan Ciletuh?

Jawabannya ada di catatan perjalanan suka-suka* ini.

*) Catatan ini sudah melewati beberapa kali revisi dan berisi banyak coretan yang sebetulnya akan lebih tampak rapi jika dihilangkan. Namun atas nama wabi-sabi, lebih baik coretannya dibiarkan terlihat. Dan sejalan dengan prinsip estetika kontemporer: Anything goes~

***

Hari Pertama: Dari Pasirjaya XIII

8 November 2019

Tunggu dulu! Sebelum saya bercerita lebih jauh tentang perjalanannya di catatan suka-suka ini, mungkin sekarang saat yang tepat untuk memberi tahu sebuah pengakuan kecil yang pernah terjadi di akhir tahun 2016. Waktu itu saya pernah nekat kabur beberapa hari dengan seorang teman –yang anaknya rumahan banget– ke bagian barat daya Jawa Barat. Bermodalkan itinerary dan informasi seadanya, kami berangkat menggunakan bus dari terminal Leuwi Panjang. Niat awalnya sih, kami ingin pergi ke Ciletuh. Tapi karena satu dan lain hal, kami hanya berakhir di Ujung Genteng dan Muara Cipanarikan.

Baru tahun 2019, keinginan pergi ke Ciletuh akhirnya terlaksana. Di malam hari, 4 motor dari Pasirjaya XIII melaju berbaris menerobos gerimis. Kami bertujuh, melewati jalur Cimahi, Padalarang, dan Citatah menuju Kingdom of the Gekbrong. Di awal perjalanan ini, saya sempat khawatir dengan Puteri yang mengendarai motor Upi sendirian. Lampu belakang motornya mati, ditambah kacamatanya yang jatuh saat di daerah Citatah.

Sesampainya di Kingdom of the Gekbrong, kami bermalam di rumah keluarga Rani, FYI doski ini koordinator baru Komunitas Aleut yang bernama lengkap Deuis of the House Raniarti, the First of Her Name, The Bacil Maker, Princess of the Gekbrong, and Mother of Cilors. Sebelum tidur, saya melakukan sebuah performance art penting dalam sejarah seni rupa Indonesia, dengan cosplay menjadi Akay menggunakan sarung Tegar dan sebuah gelas kembang sebagai propertinya. Dokumentasi karya performance art ini bisa didapatkan di admin Komunitas Aleut.

***

Hari Kedua: Menuju Puncak Darma Ciletuh

9 November 2019

Pagi harinya, kami berpamitan kepada baginda ratu alias mamahnya Rani, dan meninggalkan kerajaan tersebut untuk berkelana menuju kerajaan lain di sebelah barat, yakni Kingdom of the Nyalindung, dengan Puteri sebagai putrinya. Perjalanan ini dilatarbelakangi oleh sebuah surat yang dikirimkan oleh seekor gagak terlatih, untuk para ksatria bermotor. Surat tersebut berisi kabar bahwa ratu dari Kingdom of the Nyalindung mengundang para ksatria untuk hadir dalam perjamuan istimewa.

Para ksatria pun meneruskan perjalanan super ngebul melewati daerah Jubleg dan Baros. Sampailah kami di jembatan yang menandakan perbatasan wilayah kekuasaan Nyalindung. Sugan teh nya lokasinya tidak akan jauh dari jembatan, tapi ternyata perjalanan ngebul-nya masih jauuhhh ke atas lagi.

Setibanya di Kingdom of the Nyalindung, kami mendarat dengan kelaparan bahagia, dan langsung melakukan prosesi sungkem kepada baginda ratu alias ummi-nya Puteri. Betul saja, beliau menjamu kami dengan kenikmatan Bubur Ayam Ummi dan teh tawar mania mantap. Gistha beberapa kali menyuruh saya untuk tambah makan kupat sayur, padahal tampaknya dia sendiri yang masih lapar. Dasar laki-laki pemalu.

Sponsor utama

Setelah istirahat, kami memutuskan pergi ke Ciletuh lewat jalur Pantai Loji. Maka rombongan berputar ke arah Lembur Situ dan Cikembar. Windy mengganti Puteri yang sebelumnya menyetir motor sendiri. Di perjalanan, kami mampir sebentar di sebuah Tempat Pemakaman Umum dekat Pemandian Cikundul. Setelah itu, kami menuju titik penting lainnya, yakni Warung Bantargadung. Warung lagi. Gas!

Perjalanan berlanjut ke arah Loji. Perjalanan ini saya habiskan dengan main tebak-tebakan garing super seru dengan Tegar, sampai di sisi kanan jalan mulai tampak garis horizon laut dari kejauhan. Sudah lama saya penasaran dengan sebuah vihara yang populer dengan nama Kuil Dewi Kwan Im yang berada di jalur Pantai Loji. Tapi hari semakin sore, kami hanya lewat di depan vihara itu dan berhenti di sebuah warung (warung lagi!) di Pantai Loji.

Pantai Loji

Dari kejauhan, tampak keramba-keramba mengapung di tengah laut. Keramba ini merupakan jaring apung sebagai tempat budidaya ikan dan hewan laut lainnya. Menurut obrolan dengan ibu warung, hasil laut dari keramba yang tampak terlihat dari Pantai Loji ini nantinya akan diekspor ke luar negeri. Selain menceritakan tentang keramba, ibu ini pun menjelaskan tentang kerang putih yang menempel di bebatuan pantai. Masyarakat setempat menyebutnya tariptip. Kerang tersebut bisa diambil untuk dijadikan makanan.

Meski sepanjang jalan terus ditemani laut dan hamparan langit maha sempurna, tapi kami belum menemukan bagian yang tumaninah untuk melihat teluk Ciletuh dari ketinggian. Motor-motor terus digas menuju Puncak Darma yang ngehitz gewla~ dan tentu saja sesampainya di sana, Puncak Darma ramai dikunjungi para pelancong yang datang dari seluruh penjuru semesta jagat raya ini.

Jalan di sepanjang Pantai Loji

Lantas kami tidak turut bergabung dengan keramaian Puncak Darma. Motor-motor kami berhenti di atas sebuah jembatan. “Seharusnya ini air terjun gede banget. Seharusnya ini sungai.” gerutu om Tegar tiba-tiba. Sungainya memang tampak kering kerontang jalan yang terbentang seperti lagu Closehead. Lalu Gistha dan Paman Ridwan menimpali tentang betapa bedanya perjalanan ini dengan perjalanan pertama Ciletuh pada awal tahun 2018. Air terjun yang dimaksud adalah Curug Cimarinjung. Tampak dari batuannya, air terjun ini memiliki beberapa undakan dan tinggi yang lumayan fantastis.

Curug Cimarinjung yang kering

Sore itu, kami mencari penginapan. Selagi yang lain mengobrol dengan warga lokal di depan sebuah mushola kecil, Paman Ridwan menugaskan Tegar dan saya untuk mengecek sebuah warung sepi di sebrang jalan (warung lagi!!!1!1!), guna mencari tanda-tanda kehidupan sekaligus penginapan. Posisi warung ini sangat strategis, berada di puncak yang menghadap ke arah Teluk Ciletuh dengan sempurna. Matahari tampak sukses tergelincir di ufuk timur. Semburat cahayanya tampak tersebar memberi warna pada kehidupan para netizen yang menyesal tidak ikut momotoran episode ini. HAHAHAHAHAHAHA!

Teluk Ciletuh

Hari itu ditutup dengan menyaksikan dengan damai komposisi warna langit sore Ciletuh. Pemandangan ini membawa ingatan saya kepada satu adegan penting dalam film Your Name (2016) ketika Taki dan Mitsuha akhirnya bertemu dalam persimpangan waktu siang dan malam di atas bukit sakral yang menghadap teluk Itomori. Saat itu, Mitsuha memberi ide kepada Taki untuk saling menuliskan nama dengan spidol di telapak tangan, supaya mereka tidak saling lupa setelah berpisah.

Saya selalu ingat detail adegan tersebut karena sudah ditonton lebih dari 10x ehehehe. Komposisi langit biru-abu-oranye, matahari terbenam, latar musik “Kataware Doki” dari Radwimps. Taki memberikan kembali gelang merah Mitsuha, lalu menulis terlebih dahulu di telapak tangan Mitsuha. Tapi begitu Mitsuha mulai menulis satu huruf namanya di telapak tangan Taki, mereka langsung berpisah. Spidolnya jatuh, Mitsuha hilang. Penonton baper yeuu~~

Selagi saya masih memadangi perubahan warna langit Ciletuh sambil teringat akan adegan paling manis sekaligus menyebalkan tersebut, seorang bapak menawarkan penginapan di dekat pantai. Pak Herman namanya, tapi doski tampaknya lebih suka dipanggil Pak Jerman. Setelah melewati obrolan yang panjang, semua sepakat untuk bermalam di penginapannya. Pak Herman juga menawarkan paket jelajah pulau-pulau di sekitar Ciletuh menggunakan perahu.

***

Hari Ketiga: Ciletuh dan Kembali

10 November 2019

Selepas sarapan, Pak Herman datang mengabarkan bahwa perahu siap membawa kita ke beberapa pulau kecil. Kami pun mengendarai motor hingga ke Pasar Ikan Palangpang. Pelampung dipakai dengan mantap. Alih-alih tampak seperti pelancong, penampilan kami dengan vest lebih mirip pekerja proyek yang hendak melakukan quality control ke tempat proyek.

Para pekerja proyek

Semua naik ke atas perahu. Mesin perahu dinyalakan. Perjalanan ngaleut antar pulau pun dimulai. Perlahan perahu menjauhi teluk Ciletuh. Kami melihat keramba-keramba di tengah laut dengan lebih dekat. Strukturnya terbuat dari bambu-bambu kokoh dengan jaring di bagian tengahnya. Berbeda dari keramba yang ditemukan di Pantai Loji dengan desain terapung menggunakan batu untuk pemberatnya. Sedangkan keramba di teluk ini tampak ditanam ke dasar laut.

Keramba

Perahu mendekati sebuah daratan yang memiliki sebuah batu besar dengan cerukan mirip lubang goa. Lubang tersebut oleh masyarakat setempat dinamakan Goa Kunti. Nama tersebut muncul karena sering terdengar suara deburan ombak yang menghasilkan suaran kecicikan Miss K. Masih di tempat ini, terdapat pantai kecil dengan pasir putih. Tidak sampai lima menit, kami memutar untuk menuju Pulau Mandra.

Dalam perjalanan menuju Pulau Mandra, kami melewati gugusan batu dengan komposisi horizontal yang dinamakan Pulau Burung. Rombongan Komunitas Aleut Mania Mantap berharap bisa menjejakan kaki di pulau itu dan sobat-sobat kerenqu ini tiba-tiba mendapat sebuah ide luar biasa brilian untuk membuang saya ke pulau tersebut. Saya pun langsung menyusun visi-misi andaikan menjadi seorang eksil di Pulau Burung, saya akan menobatkan diri menjadi Ratu Burung dari Teluk Ciletuh mwahahaha! Tapi alhamdulillah ternyata perahu sulit berhenti di sana, dan nasib saya pun terselamatkan dari niat suci sobat-sobat kerenqu ini.

Pulau Burung

Dalam perjalanan ini, Paman Ridwan menjelaskan dengan singkat keistimewaan kawasan Teluk Ciletuh. Lempeng bumi (Eurasia) dan lempeng samudra (Indo-Asia dan Pasifik) saling mendesak sejak ratusan juta tahun yang lalu. Aktivitas tektonik ini menghasilkan batuan yang terangkat ke atas permukaan air. Salah satunya adalah Pulau Burung yang baru saja dilewati.

Sesampainya di Pulau Mandra, kami turun di atas air dan berjalan menerobos air setinggi lutut orang dewasa. Bagian air dekat Pulau Mandra lebih dangkal. Kalau dilihat dari jauh, kami tampak seperti rombongan yang mendapatkan mukjizat bisa berjalan di atas air. Padahal sensasinya lebih mirip jalan di tengah banjir Ciwastra.

Ketika menginjakkan kaki di Pulau Mandra, saya takjub dengan bentuk-bentuk batuan yang tersebar di pulau ini. Banyak juga rumput-rumput laut dan terumbu karang kering. Ada satu bagian batu yang lebih halus dari batuan lainnya di Pulau Mandra. Paman Ridwan bilang itu adalah bagian dasar laut yang terangkat karena desakan antar lempeng. Di atas batu ini terdapat pola retakan garis-garis horizontal dan vertikal. Melihat pola ini, saya langsung teringat keramik kintsugi, salah satu tektik pottery Jepang yang menyambungkan pecahan keramik dengan cairan emas atau perak. Menghadirkan keindahan lain dengan menonjolkan bagian garis-garis retakannya.

Saya memberi jeda sejenak untuk memerhatikan tekstur batuan ini. Membayangkan aktivitas tektonik pernah mengoyak permukaannya. Kemudian ia rusak, dan tetap menjadi sesuatu yang rusak hingga puluhan juta tahun setelahnya. Kerusakan yang masih terlihat dari pola dan tekstur permukaan inilah yang menjadikannya cantik. Di beberapa bagian, tampak permukaan yang berlubang-lubang. Bagian yang terus dihantam ombak hingga mengalah dan menampilkan tekstur lain. Batuan ini mengikuti proses alam terus-menerus bersama waktu. Menciptakan pola tekstur lain, terus berubah, terus berkembang menjadi bentuk baru. Saya melihat pemandangan batuan ini menjadi sesuatu yang sempurna dalam ketidaksempurnaannya. Saya pun jadi teringat dan merasakan bagaimana cara pandang wabi-sabi bekerja.

Kembali ke perahu, saya membawa sebuah potongan bambu dengan pola permukaan yang menarik. Mungkin aneh, tapi wujud bambu ini indah. Indah karena ia menjadi sebuah benda yang awalnya datang dari alam. Kemudian diproses oleh manusia. Lalu terbuang ke laut mengikuti proses alam lagi bersama ombak. Terbawa air, diterjang, dibenturkan, dan terus seperti itu hingga terdapat jejak proses alam pada permukaannya. Dan sekarang bambu itu memasuki proses lain lagi, proses bersama manusia lagi. Mungkin nanti bambu ini akan pergi dan mengikuti proses alam lain. Siapa yang tahu?

Pulau Mandra

Ketika naik lagi ke perahu, Rani melakukan atraksi tutorial naik perahu dengan cara ngagulingkeun awak dari sisi perahu. Disusul oleh Paman Ridwan yang langsung mempraktekan atraksi tutorial tersebut.  Setelah puas kepanasan di tengah air, kami kembali ke darat dan bergegas ke penginapan untuk mempersiapkan perjalanan kembali ke Bandung. Perjalanan pulang dimulai dengan melewati rute Ciracap, Surade, Tegal Buleud, dan Agrabinta. Kami mampir sebentar di Puncak Panenjoan dan kembali melanjutkan perjalanan.

Dari Panenjoan

Tegar lagi-lagi bete melihat kekeringan sawah dan pepohonan, “Ini tuh dulu hijau loh!”. Dan di antara pohon-pohon gersang sepanjang jalan itu, kemudian saya bercerita sedikit tentang wabi-sabi agar betenya tereduksi meski biasanya sulit untuk meredakan amukan macan kumbang yang satu ini. Lalu obrolan menjadi lebih kontemplatif dengan salah satu pemikiran:

“Kalau mati nanti, tubuh ini di dalam tanah bakal memberi nutrisi yang baik buat tanah, buat tumbuhan. Kaya di film Lion King, circle of life~~”

Namun tentu saja, obrolan serius dirusak oleh jaringan lain di otak saya yang gatal ingin main tebak-tebakan lagi. Tapi karena sempat pusing sendiri dengan tebak-tebakan super garing Tegar di hari sebelumnya, akhirnya kami memutuskan main gagarudaan untuk mengusir bosan dan kantuk. Rombongan motor tiba-tiba berhenti di sebuah rumah yang memproduksi gula kelapa. Kami mampir sebentar untuk melihat proses pembuatannya sambil membeli gula-gula tersebut dan membawa pulang beberapa buah mangga dari pohon sebelah ehehehehehe.

Selanjutnya kami berhenti di warung makan Kartika. Saya nimbrung dengan Rani yang mengobrol bersama ibu warung yang tengah bercerita tentang pantai terdekat. Di pantai itu terdapat sebuah bunker peninggalan Belanda. Saya langsung lapor ke Paman Ridwan, tapi karena hari semakin sore, jadi tidak akan sempat ke sana.

Selama perjalanan di Cianjur Selatan, kami berhenti 2x untuk sejenak melihat laut dan langit sore. Hari semakin larut, saya mulai mengantuk. Tegar membuat acara talkshow dadakan di motor dan memantik saya untuk bercerita panjang lebar tentang sejarah seni rupa mulai dari peralihan era Dark Ages ke Renaissance, hingga perkembangan post-modernisme. Rasa kantuk mulai berkurang, tapi kerongkongan saya jadi kering karena terlalu banyak bicara.

Sunset di Cidaun

Langit sudah benar-benar gelap dan rombongan motor mania mantap memasuki daerah Naringgul. Setelah beristirahat sejenak di sebuah warung (warung lagi warung lagi), kami melanjutkan perjalanan menuju…. warung (lagi!). Di tengah-tengah perjalanan, tampak sebuah motor melaju mendahului barisan motor-motor Komunitas Aleut Mania Mantap. Saya memerhatikan sebuah percikan api di bagian ban belakang motor itu. Semakin menjauh, api itu menggulung ke semua bagian ban belakang seperti cincin api. SAAT ITU AQ JADI PANIQUE DONG GAIZ TAKUD MAZNYA KEBAKAR 😦  Motor tersebut berhenti, dan kami semua langsung membantu memadamkan apinya dengan air minum seadanya. Ternyata api itu berasal dari cakram rem yang rusak. Kami menemani pengendara motor itu hingga teman-temannya yang lain datang membantu.

Malam semakin larut, dingin dipadu dengan kabut, waktunya jas hujan membalut. Windy yang awalnya menyetir sendiri, berganti posisi lagi dengan Puteri. Menjelang memasuki kawasan Ciwidey, kabut semakin pekat dan jarak pandang semakin menurun. Kami pun singgah di sebuah warung untuk mencari kehangatan dengan mie kuah dan obrolan-obrolan setengah sadar. Di sini saya menghabiskan kotak tertawa dengan berbagai celetukan aneh Rani yang mengomentari dagangan warung dan kendaraan-kendaraan yang lewat.

“Ud, liat itu aromanisnya jadi peot.”

“Nah itu rombongan mobil Kijang Santuy….”

“Kalau itu rombongan Vespa Hayu….”

Oh ya FYI aja nih, saya dapat wawasan baru juga di warung ini. Penting banget gais! Ternyata penurunan suhu bisa berdampak pada volume aromanis. Jika suhu semakin dingin, aromanis akan semakin menyusut. Bahkan kembali ke bentuk endapan gula. Mirip episode Spongebob waktu rumah nanasnya menyusut kembali jadi benih 😦

Melanjutkan perjalanan terakhir menuju Bandung, kondisi sudah semakin tidak kondusif. Saya masih kedinginan, masih lapar, mengantuk, sakit tulang, sementara Tegar sudah pada tingkatan lelah maksimal hingga sangat sulit diajak mengobrol seperti Aip. Rute menuju Bandung dibelokkan ke Banjaran. Saat itu Banjaran rasanya jadi jauuhhh sekali. Hingga akhirnya ketika tengah malam, sampailah kami di posko darurat Komunitas Aleut Mania Mantap yang disambut dengan nasi goreng hangat dari Mang Alex.

Iklan

2 pemikiran pada “Coretan dari Ciletuh

  1. Ping balik: Susur Pantai Ciletuh #2 | Dunia Aleut!

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s