
Kawasan perkebunan teh Dewata
Oleh: Amanda Nafisyah (@nafisyamanda)
Pagi itu tanggal 3 Maret 2018 Komunitas Aleut mengadakan kembali kegiatan momotoran ke Perkebunan Teh Dewata. Ini kali kedua, setelah kali pertama kami tak berhasil menginjakan kaki di tanah Dewata karena beberapa alasan. Untuk momotoran Dewata kali ini aku yang sudah mendaftarkan diri dua hari sebelum hari H. Tepat pukul 05.05 WIB dering telpon membangunkanku. Ternyata itu telpon dari Rizka.
“Halo Riz, maaf aku baru bangun hahahaha”
“Iya Man, Nisa juga udah aku bangunin. Haha”
Padahal malam sebelumnya aku yang menyanggupi untuk membangunkan mereka berdua pukul 04.30 WIB. Tapi aku gagal. Ini semua gara-gara selimut! Setelah shalat dan persiapan ok, aku langsung pergi menuju rumah Tintin. Rumah kami yang terletak di Kopo, berada dalam jalur perjalanan rombongan dari Kedai Preanger ke Dewata sehingga kami memilih menunggu di Lanud Sulaiman. Namun ketika saya hendak berangkat, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya, aku dan Tintin sempat cemas, bila ibu kami mencabut izin untuk pergi ke Dewata, maka pupuslah sudah harapanku. Beruntunglah Dewi Fortuna sedang berpihak pada kami. Hujan berangsur reda dan izin tak dicabut. Teman-teman lain mengabarkan bahwa mereka sudah berangkat dari Kedai Preanger. Aku dan Tintin pun bergegas menuju Lanud Sulaiman. Sesampainya di Lanud Sulaiman, aku dan Tintin memakan cakue yang menjadi teman untuk menghangatkan badan yang sedikit terpapar dingginya Kopo.
Setelah rombongan tiba, aku pindah motor untuk dibonceng Tegar. Dan motor yang tadi aku bawa berpindah tangan ke Elmi yang akan membonceng Tintin. Kami berangkat dan terhenti di sebuah pom bensin mini daerah Rancagoong. Salah satu motor yang dikendarai oleh Akay dengan Bibi Kania mengalami sedikit kecelakaan. Entah karena licin atau ngerem mendadak. Yang aku tahu ketika itu Akay tersungkur dengan posisi sujud, dan Bi Kania sudah dalam keadaan berdiri saat motor kami menepi. Lututnya Akay luka, lutut dan jari kaki Bi Kania juga. Tapi rasa khawatir dari semua teman-teman sedikit sirna tatkala Akay bilang “Resep kieu euy, diperhatikeun teh!” semua tertawa serentak membully Akay yang lagi teriak ketakutan saat lukanya diolesi obat antiseptik.

Warung dekat lokasi jatuhnya Akay dan Bi Kania
Setelah Akay dan Bi Kania mendapatkan pengobatan pertama. Kami beristirahat sebentar dan memastikan semua dalam keadaan siap untuk kembali memulai perjalanan. Perjalanan kami mulai kembali. Saat memasuki jalan Simpang Kendeng daerah Panundaan, ada keramaian seperti kegiatan senam ibu-ibu, sekawanan anak SD melihat kami lewat dan teriak “Hujan dimana yeuh?” karena kami semua masih menggunakan jas hujan. Aku dan Tegar tertawa karena sepertinya hanya kami berdua yang mendengar komentar anak-anak itu.
Enggak seperti tahun lalu, kali ini perjalanan untuk sampai ke Perkebunan teh Rancabolang terasa sangat lancar, Jalanan yang dulu bebatuan kini telah berganti menjadi beton. Pukul 11.21 WIB kami sudah sampai di Rancabolang dan langsung menyerbu warung untuk mengisi kekosongan di perut. Sebagian dari kami langsung berpose untuk foto dan boomerang diantara pucuk daun teh yang basah. Pucuk pucuk pucuk.

Kondisi Jalanan Panundaan – Rancabolang

Berfoto di kebun teh Rancabolang
Puas berfoto, kami melanjutkan perjalanan menuju tujuan utama, Dewata. Jalanan semakin berbatu dan becek. Pukul 12.57 WIB kami sampai di persimpangan menuju Dewata dan Paranggong. Disitu tertulis Dewata 11 km ke kiri.

Persimpangan Dewata-Paranggong
“Kebayang gar, kalo rumah disini, kerja di Bandung tapi pulang pergi.”
“Euh, ngebayanginnya juga udah hoream, Man. Hahaha”
Beberapa kali kami berhenti untuk sekedar mengistirahatkan tangan, berfoto dengan kabut atau menemukan sesuatu, seperti air terjun mini. Tiba-tiba motor Banglex mogok, karena kita berada di paling belakang, hanya motor Tegar dan motor Agus yang berhenti.
“Teu bisa di starter. Emang sok kieu, kudu dicicingkeun heula.” kata Banglex.
Kami menunggu sambil sesekali bilang “Pait! Pait!” karena ada tawon yang terus mengitari kami berlima. Beberapa menit kemudian motor Banglex hidup kembali tapi Tegar baru sadar kalau ban belakang motornya bocor. Aku pindah ke motor Banglex dan kami melanjutkan perjalanan.
Tidak jauh dari tempat kami berhenti, ternyata teman-teman lain sedang menunggu kami di sebuah saung. Abang menyebutnya sebagai ‘Saung Ratapan’. Kami beristirahat sebentar, meratapi perjalanan yang melelahkan ini sambil memikirkan rasanya ingin menginap saja tapi itu hanya angan belaka sebab beberapa orang diantara kami keesokan harinya harus bekerja.

Saung Ratapan
Bersama dengan tenaga yang diada-adain, kami melanjutkan perjalanan yang sisa 5 km rasa tiga kali lipatnya. Aku yang belum punya SIM baru setahun ini belajar mengendarai motor, penasaran ingin coba menyetir motor di jalanan yang indah ini sambil membonceng Putri.
Aku enggak bisa berhenti bilang “Edan! Gila!” saat itu. Karena sedikit salah saja bisa-bisa jatuh kena batu, bahaya. Kalau motor bisa ngomong, mungkin dia sudah menjerit kesakitan karena mengalami benturan setiap detiknya di perjalanan Rancabolang-Dewata ini.
Kami berhenti di sebuah perkampungan untuk mencari tambal ban dan memperbaiki motor Banglex yang akinya melemah. Sementara itu rombongan cewe pergi ke wc untuk menuntaskan panggilan alam, bebersih dan menunaikan ibadah. Tiba-tiba seekor lintah hinggap di kaki Putri entah dari kapan. Aku dan Tintin mencoba mengusirnya dengan tembakau. Namun lintah baru menyerah setelah diberi garam oleh Nita. Setelah shalat, makan snack ‘Astaga’ dari Bi Kania dan memperbaiki motor, kami meneruskan perjalanan lagi.
Aku jalan di belakang motor Elmi-Tintin ketika tiba-tiba mereka berhenti. Aku kira mereka berhenti karena menunggu yang lain di belakang. Ternyata kakinya Elmi kena batu dan terluka cukup dalam, sampai sandal yang dipakainya banjir dengan darah. Beruntung ada Teh Nurul yang mengerti cara pertolongan pertama. Sekitar pukul 16.40 WIB rombongan sampai di depan koperasi perkebunan teh Dewata.
Suasana di Dewata terlihat sepi, beberapa orang lalu lalang sambil tersenyum ramah dan menyapa. Bahkan ada seorang Ibu yang keukeuh mengajak kami untuk berteduh di rumahnya. Tapi kami tolak karena beberapa dari kami sudah berada di sebuah warung untuk beristirahat. Menurut informasi dari Ibu pemilik warung, angkutan umum untuk ke kota hanya mobil elf dan hanya berangkat sekali dalam satu hari. “Ke kota teh paling sataun sakali abdi mah.” Enggak heran, karena jalanannya pun enggak memungkinkan untuk dilewati sering-sering.

Suasana di warung Dewata
Kami duduk di ruang tamu pemilik warung sambil makan dengan menu nasi , lotek, karedok dan baso. Suasana di warung sangat hangat dan penuh tawa saat itu, meski di luar dingin dan hujan turun sangat deras, meski kami masih kebingungan bagaimana caranya pulang. Teh Nurul sibuk membersihkan, memberi antiseptik dan membalut luka kaki Elmi dengan peralatan seadanya. Bi Kania mengistirahatkan kakinya yang semakin terasa sakit dengan diganjal tas. Abang memberi ide untuk meminjam truk. Banglex, Upi dan Tintin kemudian mencari bantuan ke pos jaga pabrik teh Dewata. Alhamdulillah, mereka bersedia mengantar kami dengan 1 buah truk untuk membawa teman-teman yang cidera dan beberapa motor yang tidak memungkinkan untuk dikendarai. Ban motor Tegar yang sebelumnya sudah dipompa kembali kempes, padahal dia sudah menunggu sangat lama untuk memompa ban tersebut. Sempat terpikir, mungkin aku harus diet karena sudah membuat ban motor Tegar kempes untuk kedua kalinya. :’)
Aku naik di belakang truk bersama Nita, Tintin, Pinot, Sary dan salah satu orang dari pos jaga pabrik teh Dewata. Elmi dan Bibi Kania duduk di depan supaya kaki mereka yang sakit aman. Karena jalanan berbatu dan menanjak, kita yang berada di dalam truk rasanya macam diaduk-aduk sambil menahan empat motor supaya enggak lepas dari tali penahannya. Suasana gelap, dingin, gerimis di tengah hutan menimbulkan sedikit rasa takut. Tintin, Nita, dan aku sibuk berbicara, Sary dan Pinot sibuk berdoa.
“ini gimana bentar dimiringin ke kiri dulu biar motor Tegar enggak gerak-gerak stangnya.”,
“wah, ini udah enggak bisa, motornya Banglex udah tiguling banget ke kanan.”
Tintin memberi aba-aba untuk berteriak “Toloong!” agar supir truk berhenti supaya kita bisa memperbaiki posisi motor yang udah enggak karuan. Perjalanan terasa sangat panjang.
Berangkat dari Dewata pukul 20.15 WIB, sampai di Rancabolang sekitar pukul 22.30 WIB. Sebagian sibuk menurunkan motor dari truk, sebagian yang lainnya sibuk menggosok-gosok tangannya untuk mengusir dingin. Perjalanan pulang dari Rancabolang sampai ke Panundaan terasa lancar. Sinyal mulai tertangkap, pukul 23.32 WIB kami sampai di Indomaret Panundaan untuk istirahat, minum kopi, makan cemilan dan mengabari anggota keluarga masing-masing. Setelah tenaga terisi dan orang rumah sudah kami kabari, kami segera melanjutkan perjalanan menuju Bandung.

Berfoto di perjalanan Rancabolang-Dewata
Ini kesekian kalinya aku ikut momotoran bersama Aleut, dan dari setiap perjalanan aku belajar betapa pentingnya kerjasama dan kepedulian. Disaat-saat paling melelahkan sekalipun kalian masih bisa saling menghibur dan menyemangati. Terima kasih Aleut! Akhirnya kita sampai di Dewata! Hayu ah, momotoran lagi!
Baca juga artikel lainnya dari mengenai catatan perjalanan
(komunitasaleut.com – nfy/upi)
Ping balik: Hanya Ada Satu Jalan Menuju Dewata | Dunia Aleut!