
Jalan menuju Perkebunan Teh Dewata | © Komunitas Aleut
Oleh : Ervan Masoem (@Ervan)
Alarm berdering tepat dua jam setelah berkumandangnya adzan subuh. Ampuh juga ternyata alarm ini. Ia mampu membangunkan saya. Saya sebenarnya sempat khawatir jika tak bisa bangun pagi, sebab orang rumah sedang pergi keluar kota. Itu artinya saya harus berusaha bangun pagi sendiri.
Saya bangun pagi dan tak terlambat menuju Kedai Preanger. Momotoran ke Dewata kali ini saya berboncengan dengan Mbak Mey. Wanita yang kerap kali dibonceng oleh Mas Irfan. Namun tak ada lagi Mas Irfan, sebab ia sudah hijrah ke Ibu Kota. Mengais rezeki di sebuah media daring terkemuka. Seperti biasa kami berkumpul terlebih dahulu di Kedai Preanger. Total 12 kuda besi siap menggilas jalanan dengan jumlah serdadu sebanyak 23 orang. Kami harus berangkat dengan dresscode jas hujan, sebab pagi itu hujan sudah datang mendahului kami. Dresscode siap, kami pun berangkat menuju Lanud Sulaiman, di mana dua kawan dan satu motor menunggu kami. Kami pun sampai di Lanud Sulaiman, kini total 13 kuda besi dan 25 serdadu siap menuju Dewata.
Perjalanan dari Lanud Sulaiman menuju Rancabolang terbilang mulus hanya sedikit kerikil saja. Sesampainya di Perkebunan Teh Rancabolang kami beristirahat di salah satu warung. Di sini beberapa teman membeli kudapan sebagai sarapan yang dipercaya dapat menambah energi, termasuk saya yang membeli energen. Sambil beristirahat beberapa teman melimpir ke Perkebunan Teh Rancabolang yang menyegarkan itu. Teman-teman perempuan langsung berfoto dengan macam gaya seperti model majalah kondang. Setelah istirahat cukup dan beragam gaya sudah terabadikan dalam kamera, kami hendak melanjutkan perjalanan.

Berfoto di Perkebun Teh Rancabolang | © Komunitas Aleut
Desa pertama yang kami temui adalah desa bernama Markisa. Entah di sini banyak buah Markisa atau enggak, saya belum sempat singgah dan menanyakannya. Dari sini jalanan berubah menjadi lumpur dan bebatuan. Saya kira akan terus begini sampai ke Perkebunan Teh Dewata. Sebelum saya melanjutkan cerita perjalanan sejauh 17 kilometer menuju Dewata. Saya akan membocorkan sedikit kerikil yang terjadi dalam perjalanan dari Lanud Sulaiman menuju Rancabolang. Kerikil ini terjadi tepat dibekas rel kereta api Rancagoong, seorang teman tersungkur tak berdaya. Entah karena mengerem mendadak atau licin, hanya dia dan Tuhan yang tahu. Beruntunglah saat itu kami ditemani beberapa wanita. Para wanita seketika tanpa komando berubah menjadi tim medis. Penuh perhatian, teliti dan kasih sayang. Hingga si dia yang tersungkur mampu melanjutkan perjalanan dengan sedikit membawa malu di wajahnya. Kerikil itu menjadikan saya lebih was-was, terutama ketika melewati jalanan bebatuan.

Jalan mulai berlumpur dan berbatu | © Komunitas Aleut
Selepas Desa Markisa kami memasuki daerah Gunung Tilu dengan jalanan berbatu yang menantang. Jalan bebatuan kami lalui dengan penuh kehati-hatian. Untuk mengusir kebosanan di sepanjang jalan saya mengobrol dengan Mbak Mey mulai dari hal kecil sampai bernyanyi bersama. Saat itu lagu Banda Neira terasa pas untuk dinyanyikan. Iseng saya bertanya “Kalau lagi ngaleut momotoran Mang Irfan sering nyanyi lagu apa sih?” Tanyaku. “Ah dia mah kalau lagi bosen suka shalawatan, terus lagu yang favorit dinyayiin mah itu musikalisasi puisi yang di nyanyiin anak UI tapi lupa lagi nama judulnya”, jawab Mbak Mey. Belakangan saya baru tahu judulnya adalah “Senja di Pegunungan”. Perjalanan menuju Dewata ini kami lalui dengan banyak bersitirahat, karena pegal datang lebih sering dari biasanya. 6Km menempuh jalan berbatu kami sampai di pertigaan dan menemukan sebuah papan penunjuk jalan yang menunjukan jarak 11Km menuju Dewata.
Baca juga Dewata yang Membawa Luka, Tawa, dan Was-was
Perjalanan kami tempuh kembali. Hingga akhirnya kami menemukan sebuah saung yang cocok dijadikan tempat mencari angin sendiri. Rombongan berhenti untuk beristirahat di saung tersebut. Namun tiga motor lainnya, yakni Agus, Tegar dan Mang Alex tak kunjung sampai di saung. Setelah menunggu sedikit lama, mereka pun tiba. Ternyata ada sedikit kendala yang menimpa motor Mang Alex: Mogok. Kami tak larut dalam kenyamanan saung, sebab kami harus mengejar waktu agar kami tak terlalu larut tiba di Dewata.
Istirahat di saung nyatanya sedikit memberi tenaga untuk melanjutkan perjalanan. Kami pun melanjutkan perjalanan. Setibanya di suatu kampung yang bernama Datar Kiara, motor Mang Alex kembali ngadat. Kali ini menimpa sistem perlistrikannya. Kembali lagi kami harus menunda perjalanan dan kembali beristirahat. Sembari menunggu motor diperbaiki sebagian dari kami menunaikan shalat dan ada juga yang mengobrol dengan warga lokasi.
Setelah beberapa lama. Bang Ridwan memutuskan untuk membagi dua kelompok: rombongan pertama melanjutkan perjalanan menuju Dewata dan rombongan kedua menunggu selesainya motor Mang Alex diperbaiki. Dan saya berada di rombongan pertama. Dari Datar Kiara kurang lebih 3Km lagi menuju Dewata. Baru beberapa saat kami berjalan, kami harus kembali terhenti. Kaki Elmi terluka cukup dalam karena tergores batu. Hingga banyak mengeluarkan darah. Untuk pertama kalinya saya memberanikan melihat darah dan membersihkan darah yang berlumuran pada sendal Elmi dengan menggunakan tissue. Untung saja lukanya dapat segera diobati setelah menerima penanganan pertama oleh Mbak Nurul.

Mbak Nurul sedang mengobati luka Elmi | © Komunitas Aleut
Setelah kejadian menimpa Elmi, kejadian lainnya datang lagi. Kini saya harus rela tertinggal jauh dengan dua motor di depan saya. Alhasil saya tertinggal dan hanya menyisakan motor saya dan motor Nisa. Entah mulai lemas atau kantuk, motor yang dikendarai oleh Nisa yang membonceng Pinot terjatuh. Sontak keadaan menjadi panik, takut mereka terluka. Beruntunglah semua baik-baik saja, hanya kaget saja. Alhasil kemudi motor Nisa harus direlakan untuk beralih ke tangan Mbak Mey yang masih segar bugar, demi hal-hal yang tidak diharapkan kembali terulang.

Salah satu sudut dari Perkebunan Teh Dewata | © Komunitas Aleut
Akhirnya kami tiba juga di sebuah kampung terakhir yang bisa dikatakan sebagai pusat Perkebunan Teh Dewata. Terlihat pabrik berdiri dan sekumpulan rumah sederhana. Kami sampai dengan lelah, dingin tapi banyakan, kami pun singgah di sebuah rumah yang membuka warung sederhana. Disana kami berkumpul untuk mengisi perut dan memulihkan tenaga. Hari sudah semakin gelap keadaan di luar hujan deras kami berembuk untuk perjalanan pulang. Kami harus pulang karena besok sebagian teman ada yang harus bekerja. Kami memutuskan untuk menghubungi pihak pabrik dengan tujuan meminjam truk untuk mengangkut kami sampai ke Rancabolang. Beberapa kawan pergi ke pabrik untuk meminta izin. Sambil beristirahat kami menunggu kabar, semoga kabar baik yang akan kami terima. Dan beruntung pihak pabrik mengizinkan dengan memberikan sebuah truk. Namun truk hanya bisa mengangkut sebagian motor. Alhasil hanya empat motor pesakitan yang dimasukan ke truk. Termasuk motor saya. Truk pun diisi oleh beberapa teman yang mengalami cedera dan yang sangat kelelahan.
Baca juga Catatan Perjalanan: Akhirnya sampai Dewata!
Jalan pulang sangat menakutkan bagi saya. Terlebih jika mengingat kejadian-kejadian yang menimpa beberapa kawan di siang hari. Membuat nyali saya sedikit ciut. Tapi nyali yang ciut harus dilawan sebab tak ada lagi cara pulang yang lebih baik daripada ini. Saya harus melaluinya. Selama di perjalanan saya tidak berhenti meracau mengingatkan diri saya untuk tetap tenang, fokus, dan sabar. Berbeda dengan perjalanan siang tadi yang diisi dengan berbagai obrolan. Kini saya tidak banyak mengobrol dengan Mbak Mey. Sesampainya di Perkebunan Teh Rancabolang hati saya sedikit lega. Kami pun bergegas untuk menurunkan empat motor yang tadi diankut oleh truk. Setelah keempat motor diturunkan. Kami pun segera melanjutkan perjalanan menuju Bandung.
Perjalanan dewata 2 ini saya menuai banyak sekali pengalaman dan pelajaran. Bagaimana saya harus tetap tenang menghadapi suatu kecelakaan, melatih kerja sama tim dan tentunya menambah skill mengendarai roda dua. Oh ya satu lagi, jangan pernah berpikir bahwa saya tidak pernah mampu, ketika saya berpikir mampu maka saat itu juga saya mampu melakukannya, kuncinya adalah yakin.
Waktu sudah menunjukan pukul satu dinihari, dan saya baru sampai di Indomaret daerah Ciwidey. Banyak pesan masuk ke gawai saya. Mulai dari pesan tante saya yang menanyakan akan pulang atau tidak? Terus momotoran ke mana sih? Sampai seharian tidak ada kabar. Saya menjawabnya “tunggu aja di rumah nanti pagi aku ceritain”.
Baca juga artikel lainnya dari mengenai catatan perjalanan
(komunitasaleut.com – erv/upi)