Tiga puluh menit menuju pukul enam, telepon berdering nyaring. Dengan kepala berat hasil tiga jam beristirahat, kuperiksa teleponku dan kuangkat. Panggilan dari seorang teman yang sudah kutitipi pesan untuk minta dibangunkan. Tentu saja, aku tidak ingin melewatkan hari besar yang sudah kunantikan. Hari Sabtu pertama di bulan Maret 2018, aku akan menjalankan salah satu perjalanan akbar bersama Komunitas Aleut: Tur Momotoran Ke Perkebunan Teh Dewata.
Karena kondisi fisik yang dirasa kurang prima, aku pun membawa persiapan ekstra agar tidak menyulitkan kawan-kawan seperjalanan. Selain itu, memang tubuhku ini lebih rapuh dalam menghadapi cuaca dingin daripada cuaca panas. Mungkin kondisi bawaan geografis.
Pukul 06.30, diiringi gerimis yang kelabu, aku berangkat menuju Kedai Preanger yang jadi lokasi kumpul para peserta. Cuaca Bandung yang gerimis di pagi hari adalah godaan terberat perjalanan akbar ini. Namun tentu saja, gerimis tidak sedikitpun mengikis semangat peserta untuk turut dalam perjalanan istimewa ini. Tidak akan pernah kesempatan datang dua kali. Tujuan boleh sama, tapi pasti pengalaman dan kesannya berbeda. Itulah yang kuyakini.
Perjalanan dimulai
Rencana semula agar perjalanan dimulai pukul tujuh tepat tidak terlaksana. Seorang kawan, sebut saja Rizka Karet, adalah musababnya. Beberapa menit menuju pukul delapan, kawan-kawan sudah gelisah. Terbayang kekecewaan yang belum sirna sisa perjalanan ke Dewata episode pertama. Semuanya sepakat tidak ingin mengalaminya lagi. Bagian dua harus sempurna hingga Dewata yang sesungguhnya. Perjalanan baru dimulai entah berapa menit lewat dari pukul delapan.
Seperti biasa, komando dipegang Paparidwan. Pasukan diatur, dipasangkan dan dirapikan. Karena tidak membawa kendaraan, aku pun dibonceng Tegar sampai Lanud Sulaiman. Di Lanud Sulaiman ada dua kawan penduduk Kopo yang akan bergabung dengan rombongan. Dari sana, aku diamanahi membawa motor Amanda dan membonceng Tintin si mojang Bandung yang sedang mengembara di Jakarta. Sementara si empunya motor berganti posisi ke pangkuan motor Tegar.
Karena begitu menikmati perjalanan, macet dan hujan gerimis yang terus mengiringi pun tidak begitu terasa. Apalagi dengan rekan perjalanan seperti Tintin yang begitu talkactive…tidak ada kesempatan untuk diam dan melamun.
Belum sampai setengah perjalanan, insiden tak terduga muncul tiba-tiba. Tepat di daerah Rancagoong, tanpa alasan yang jelas, Akay yang mengangkut Bi Kania tersungkur dari motornya. Aku yang persis di belakang Akay juga kaget dengan kecelakaan itu. Alhasil aku dan kawan-kawan menepikan motor lalu mengerubungi Akay yang masih belum bangkit dari posisi jatuhnya. Beruntung para peserta perempuan sigap dan dengan penuh ketelatenan segera merawat Akay dan Bi Kania yang terluka. Ada Tintin, Amanda, Ana, Nisa dan kawan lainnya yang serius mengobati luka di kaki Akay dengan telaten. Tapi sayang sekali belum ada yang mau mampu mengobati luka di hati Akay dengan telaten….
Setelah kedua korban kecelakaan tunggal mampu bangkit, perjalanan segera dilanjutkan kembali. Posisi diatur ulang dengan Akay mengemudi solo dan Bi Kania diungsikan ke motor Aip. Kami kembali menembus gerimis yang lekat sambil berpacu dengan waktu.
Beberapa menit sebelum tengah hari kami sudah tiba di safe zone terakhir yaitu Rancabolang. Kami berhenti di sebuah warung yang persis berada di mulut jalan utama menuju perkebunan teh Dewata. Gorengan, mi rebus, kopi dan aneka jajanan di warung ludes diserbu ramai-ramai oleh perut-perut kelaparan yang melewatkan sarapan pagi. Udara yang sejuk dan cuaca bersahabat menjadi penyempurna untuk kami segera berfoto di perkebunan teh Rancabolang. Nampaknya kita semua harus banyak menyimpan ingatan dan kenangan lewat foto. Karena foto bisa menjadi kunci pembuka kotak ingatan kita yang terlupa. Selain itu, tentu saja berfoto di sana fardhu ain hukumnya, demi feed instagram yang lebih cerah dan tidak mainstream. Karena tidak setiap orang mampu dan mau mengisi feed instagramnya dengan foto-foto yang dibikin di Rancabolang dan Dewata.
Setelah cukup beristirahat, kami melanjutkan kembali perjalanan. Perjalanan dari safe zone hingga Dewata benar-benar di luar dugaan terliar yang pernah kupikirkan. 17 kilometer jalanan makadam beralaskan bebatuan besar dan terjal. Jalanan didominasi turunan dengan sedikit jalan landai. Tentu saja sepanjang perjalanan motor tidak bisa dipacu kencang. Pelan-pelan kususuri setiap jengkal jalanan makadam, menahan stang motor menghindari bebatuan terjal yang membahayakan. Efeknya langsung terasa saat itu juga, pantat yang kebas dipakai duduk berjam-jam, telapak tangan yang ngilu terlalu keras mencengkram kemudi dan pundak yang rasa sakitnya lebih dari latihan tinju.
Setiap kali kami mengambil jeda untuk beristirahat dan berfoto, setiap itu pula kusempatkan peregangan tangan dan badan untuk melancarkan aliran darah dan melemaskan otot. Sejujurnya ini perjalanan momotoran paling ekstrem dan paling menyiksa yang pernah kualami. Karena sebelum itu, hanya momotoran ketika mudik ke Pangandaran setahun sekali. Bagaimana mungkin ini tidak begitu berkesan bukan?
“Yu yu yu” adalah sebuah kode yang sudah dipahami semua orang di Aleut yang menandakan jeda istirahat selesai dan perjalanan kembali diteruskan. Setiap kali kode itu menguar di udara, aku pasti meresponnya dengan hempasan napas panjang. Mau tidak mau kami harus kembali berjalan menghadapi ganasnya jalan makadam, menyiksa tubuh yang mulai terasa sakit di sana-sini. Aku tersiksa, aku menderita, tapi aku menolak tunduk pasrah dan kalah.
Ternyata tidak hanya manusia yang menderita karena disiksa jalan makadam sepanjang jalur menuju Dewata. Beberapa kawan seperti Agus, Upi, Ervan dan Pak Alexxx sempat mengalami mogok atau mati suri pada motornya. Namun yang paling parah adalah motor milik Pak Alexxx. Di sinilah insiden kedua terjadi. Kurang lebih empat kilometer terakhir menuju Dewata, motor Pak Alexxx ngadat parah dan tiba-tiba tak mau nyala. Beruntung musibah terjadi di kawasan berpenduduk di Datar Kiara, sehingga peserta lain bisa mengambil jeda untuk beristirahat. Lebih beruntung lagi karena di situ ada warung yang menyediakan aneka jajanan sederhana pengganjal perut yang lapar.
Sejam berlalu dan motor Pak Alexxx yang diperbaiki oleh kawan-kawan tak kunjung waras. Berhubung waktu semakin sore, akhirnya sebagian kawan-kawan dipersilakan untuk berangkat duluan ke Dewata. Kurang lebih ada lima motor yang berangkat duluan termasuk aku di dalamnya.
Baru beberapa ratus meter perjalanan dilanjutkan, insiden ketiga muncul di luar dugaan. Bagian belakang kaki kiriku cakap mengantuk batu tajam yang menyembul di pinggiran jalan. Kini aku sendiri yang menjadi protagonis di insiden ketiga. Darah segar mengucur deras, penuh membanjiri alas. Beruntung ada mbak Nurul si apoteker manis yang mampu memberi pertolongan darurat dan perawatan untuk lukaku. Kawan-kawan yang hendak pergi duluan ikut terhenti, berusaha membantu mbak Nurul dan aku sebisanya. Beberapa kawan yang ngeri melihat darah hanya bisa memperhatikan dari kejauhan.
Beberapa kawan menyangsikan aku mampu menyelesaikan perjalanan dengan kondisi kaki robek dan terluka. Sebagian besar bahkan menyarankanku menyerahkan kemudi. Tapi aku tentu saja menolak menyerah dan pasrah. Selain karena perjalanan hanya tinggal tiga kilometer saja, pertempuran itu juga harus kuselesaikan bagaimana pun keadaannya.
Pulang
Duduk diam, hening yang panjang. Suara mesin menderu di antara senyap daun-daun dan sulur ki hujan dalam balutan kabut yang menusuk dan malam yang semakin mencekam. Sepuluh meter di ujung sana belasan motor asik masyhuk mengular lambat. Entah apa yang mereka lakukan, entah apa yang mereka bicarakan. Mungkin sebagian bersembunyi di kepalanya, sementara sebagian lain bersembunyi dari isi kepalanya. Entah mana yang lebih berisik; isi kepalanya atau deru mesin motornya. Di tengah antah berantah, isi kepalamu bisa lebih mencekam dari sekedar gelapnya hutan belantara. Bukan harimau, macan apalagi babi hutan, tapi dua puluh empat manusia yang meliarkan diri dari ganasnya kehidupan kota. Pun tetap tanpa daya di hadapan cengkeraman alam.
Sementara itu, dua manusia paruh baya dan satu remaja tanggung duduk saling berhimpitan di kepala truk yang melaju pelan. Tidak ada musik, tidak ada percakapan, hanya sesekali desahan napas panjang dan gigil kedinginan. Satu manusia paruh baya, seorang lelaki, pak supir yang entah siapa namanya, nampak begitu asik menikmati lenggokan dan goyangan truk yang ia kemudikan. Seorang manusia paruh baya lainnya, seorang perempuan, luka kakinya semakin parah dan menyiksa, itulah alasannya menumpang truk ini. Satu lainnya, seorang remaja tanggung yang juga luka kakinya, alasan sama yang membuatnya terdampar di truk in. Si pemuda tanggung dan perempuan paruh baya sama-sama kecewa tidak bisa melanjutkan pertempurannya yang terpaksa terhenti setengah jalan saja. Duduk diam di dalam truk tidak membuat nyaman, malah semakin membuat kusut dan merisaukan. Apalagi tepat di depan dan belakang kepala mereka sendiri, kawan-kawannya sedang gencar dan tak gentar berjuang menyelesaikan pertempuran.
“Tolooooooooooooooong,” sebuah teriakan panjang menyadarkan kami bertiga dari lamunan masing-masing.
Pak Supir langsung menghentikan kendaraan. Teriakan kembali berulang. Aku bergegas turun, lewat sisi kiri truk segera naik dan memeriksa keadaan. Sary, Amanda, Pinot, Anita dan Tintin (SAPAT), lima orang wanita tangguh yang ditugaskan naik di bak truk sambil menjaga empat motor pesakitan. Mereka saling ribut karena empat motor di bak belakang hampir terguling lepas dari ikatannya yang kurang kokoh. Setelah motor kembali dirapikan dan ikatan dikencangkan perjalanan kembali dilanjutkan. Namun, jalan makadam yang sangat terjal membuat kejadian itu beberapa kali berulang, beberapa kali juga truk kembali dihentikan. Tapi beruntung aku dan Bi Kania yang duduk di depan serta lima wanita tangguh plus empat motor yang naik di bak truk, semua selamat sampai di safe zone Rancabolang.
Dari sana perjalanan kembali dilanjutkan dengan motor. Sementara aku masih dianggap pesakitan dan tidak diijinkan kembali menyetir kendaraan. Dengan deru gemuruh di dalam dada dan ego yang terluka di kepala, aku hanya bisa pasrah dan menerima. Kini aku dibonceng Putri dalam menerjang perjalanan pulang.
Rancabolang, Ciwidey hingga Solontongan lewat dalam keheningan. Sebagian kembali hilang dalam isi kepala masing-masing, berusaha menggali kembali ingatan akan berbagai kenyamanan yang begitu sangat dirindukan. Di ujung sana, gemerlap lampu kota serasa suar penanda kehidupan yang bisa kita cumbui dalam ingatan. Tidak ada lagi halimun, ki hujan dan makadam di hadapan, hanya ada indomaret, kopi dan gorengan yang semakin nyata dan semakin kita rindukan. Dewata itu fana, Solontongan yang abadi lurd.
Tautan Asli animavaga.wordpress.com