Oleh: Arya Vidya Utama (@aryawasho)
Seorang anak kecil terlihat tidak tenang. Beberapa kali ia merengek kepada ibunya yang sedang asik berbelanja. Pertanyaan “Mah, kapan kita pulang?” terus menerus ia lemparkan sambil menutup hidung. Satu-dua kali ibu muda ini masih menjawab pertanyaan anaknya, lalu kemudian tak lagi menggubris rengekan yang terus datang tanpa henti.
“Berapa umurnya, Bu?”, tanya penjual daging sapi yang sedang melayani. “Baru empat tahun, Pak. Bulan depan masuk TK.”, jawab si ibu. Obrolan di antara keduanya terus berlanjut, mulai dari cerita tentang anak paling kecil si penjual daging sapi yang tahun depan akan masuk kuliah hingga membahas mahalnya biaya sekolah sekarang ini.
Rengekan anak kecil itu berhenti, berganti dengan air mata yang meleleh membasahi pipinya. Rupanya kaki si anak menginjak genangan air sisa hujan semalam. Isakan tangis mulai terdengar perlahan. Sadar akan situasi ini, sang ibu langsung menggendong anaknya dan menghentikan pembicaraan.
“Si kecil baru pertama kali ke pasar ya, Bu?”, tanya penjual daging sambil memberikan setengah kilo daging sapi kepada ibu muda itu. “Iya pak, tadi sebelum pergi mendadak ngerengek pengen ikut. Padahal biasanya mah ga pernah mau”, jawabnya sambil memberikan selembar uang lima puluh ribuan”.
Isakan tangis akhirnya berhenti setelah keduanya pergi meninggalkan pasar. Di atas becak, anak kecil itu berujar: “Kok ibu mau sih belanja di tempat kayak gitu? Kan bau, udah gitu becek lagi.”.
***
Masih segar di dalam ingatan saat saya masih duduk di bangku taman kanak-kanak dan awal sekolah dasar. Saat fisiknya masih bugar, alm. Eyang sering mengajak saya ke Pasar Cihaurgeulis untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Mulai dari beli ayam potong, buah-buahan, hingga keset ataupun lap pel. Sebagai hadiah karena mau menemani berbelanja, Eyang kerap kali membelikan saya mainan. Mainan ini terkadang jadi bahan perdebatan kecil antara Ibu dan Eyang karena mainan di kamar saya semakin menumpuk.
Dua dekade pun berlalu. Bersama kawan-kawan dari Komunitas Aleut, hari Minggu kemarin saya berkesempatan untuk menapak tilas jejak-jejak yang dulu sering saya datangi di Pasar Cihaurgeulis bersama Eyang. Meskipun sebetulnya dua tahun terakhir saya cukup sering bolak-balik ke pasar ini untuk membeli strawberry segar, namun belum pernah lagi saya menjelajahi bagian dalamnya karena los yang saya tuju berada di bagian luar.
Sayangnya kemarin kami datang terlalu siang. Banyak para pedagang sudah menutup lapak dagangannya, termasuk penjual kue basah yang biasa berjualan di bawah tangga pintu masuk. Dulu, lokasi ini adalah favorit saya karena saya bisa mencicipi berbagai macam kue basah bersama Eyang. Saat tiba, penjual kue basah sudah berganti dengan penjual bawang.
Tak jauh dari tangga saya berbincang dengan Pak Engkos dan Bu Euis yang sehari-harinya berjualan ayam potong. Percakapan bermula dengan pertanyaan saya tentang penjual kue basah. Menurut Pak Engkos, penjual kue basah kini hanya berjualan sampai jam 7 pagi saja.
Tak lama kemudian muncul seorang wanita berusia sekitar pertengahan 60-an menghampiri kami. Sambil melihat baju Persib yang saya kenakan, wanita tersebut kemudian melempar pertanyaan “Bobotoh yeuh? Persib-na mah geus kenging kamari! (Bobotoh nih? Persib-nya menang kemarin!)” dengan logat Sunda kentalnya. Saya hanya menjawab dengan senyuman saja. Ya, persis semalam sebelumnya Persib baru saja lolos ke final Piala Presiden setelah mengalahkan Mitra Kukar. Persib yang kalah 0-1 di Kutai Kartanegara pada leg pertama berhasil membalikan keadaan dan menang dengan skor 3-1 (agregat 3-2).
“Ibu mah nonton di dieu raramean. Meuni kacida seruna. (Ibu mah nonton di sini (pasar) bareng-bareng, Seru banget).”, lanjutnya. Pak Engkos kemudian menjelaskan kepada saya kalau semalam para pedagang di Pasar Cihaurgeulis mengadakan nonton bareng. Mereka sengaja udunan hingga Rp 10.000,00 per orang agar bisa nonton bareng Persib di Pasar Cihaurgeulis. Penjelasan Pak Engkos membuat saya kagum pada keguyuban pedagang di pasar ini.
Wanita tua yang kemudian saya panggil Mamih ini masih melanjutkan obrolannya: “Kemarin bagus pisan mainnya. Ibu resep pisan lalajona ge (Ibu senang banget nontonnya). Hanjakal eta nu gondrong dikartu beureum (Sayang itu yang rambutnya gondrong (Hariono) dikartu merah).”. Obrolan kami berlanjut dengan seru, namun akhirnya terhenti karena Mamih harus melayani pembeli.
Kemudian saya kembali ngobrol dengan Pak Engkos. Pak Engkos sudah berjualan ayam potong sejak akhir tahun 1970-an di dekat Radio RRI (Jl. Diponegoro), kemudian pindah ke Pasar Cihaurgeulis sejak awal 1980-an. “Ayam potong di sini mah dijamin seger, soalnya dipotong langsung dari belakang setiap harinya.”, ujarnya.
Usai berpamitan dengan Pak Engkos, Bu Euis, dan Mamih, saya sengaja masuk ke dalam pasar untuk sekedar melihat-lihat kondisi dan keadaan Pasar Cihaurgeulis dari dalam. Kondisinya tak berubah sejak terakhir kali saya ke dalam bersama Eyang. Masih terlihat adanya los penjual baju, daging sapi, barang kelontong, ikan segar, dan juga ikan asin.
Saat berjalan menuju bagian depan pasar, pandangan saya terhenti di salah satu los penjual pisang. Bukan karena pisangnya, namun karena los ini juga menjual kacang bulu mentah. Seketika saya ingat keluarga di rumah yang memang gemar sekali dengan kacang bulu. “Sekilo berapa, A?”, tanya saya sambil mencoba membuka pembicaraan. “Tujuh ribu sekilonya”, jawabnya.
Namanya Hendi. Usianya saya perkirakan sekitar 30-an. Sudah cukup lama ia berjualan di Pasar Cihaurgeulis. “Dulu mah saya ga jualan di depan sini, tapi lebih belakang. Deket ke kandang ayam.”, ujarnya sambil menimbang kacang bulu. “Alhamdulillah di sini mah lebih lancar jualanya.”, lanjutnya.
Sambil menenteng kacang bulu mentah, saya menyusul kawan-kawan Komunitas Aleut yang sudah terlebih dulu tiba di lantai dua Pasar Cihaurgeulis. Jika barang yang dijual di lantai satu adalah barang kebutuhan sehari-hari, maka di lantai dua ini terdapat sentra buku. Saat dulu masih duduk di bangku SD, saya cukup sering ke sini untuk membeli buku Bahasa Sunda yang kerap kali hilang.
Kini, kondisinya makin memprihatinkan. Dari sekian banyak los yang ada di lantai dua, hanya tinggal 5 los saja yang masih aktif menjual buku. Saat saya tiba di lantai dua, hanya ada dua los saja yang buka. Satu los menjual buku, los yang lain menjual jasa cetak undangan.
Satu-satunya kios buku yang buka adalah Kios Buku Inti Mulya. Dari lima kios buku yang masih buka, Inti Mulya adalah satu-satunya kios yang buka paling awal dan tutup paling akhir. Sampai kami turun dari lantai dua, tak ada tanda-tanda akan bukanya kios buku yang lain. Jika memang kondisi seperti ini terus terjadi, Kota Bandung akan kehilangan satu lagi kantong literasi.
Baca juga: Pak Dayat dan Pasar Buku Suci
***
Di era modern ini, masyarakat Indonesia memiliki dua pilihan tempat berbelanja. Supermarket kini tengah naik daun menjadi pilihan tempat berbelanja kelas menengah ke atas. Suasana yang lebih nyaman, bau yang lebih harum, dan tak perlu berbecekan menjadi alasan utama.
Pasar tradisional kini memang lebih identik dengan bau, becek, dan kekumuhan seperti yang dikeluhkan anak kecil di dalam cerita awal. Namun, ada satu hal yang tak pernah bisa dimiliki supermarket, yaitu interaksi. Pasar tradisional menawarkan hal itu. Sambil belanja, kita bisa ngobrol dengan pedagang, mulai dari hal remeh temeh, sepakbola, hingga masalah politik secara cair dan mengalir apa adanya. Terkadang dari obrolan seperti itu pula kita bisa mendapat diskon ataupun bonus dari pedagang.
Semoga saja perbaikan taman yang kini gencar dilaksanakan di Kota Bandung dapat menular kepada pasar tradisional, agar rasa nyaman saat berbelanja tak hanya dirasakan oleh mereka yang berbelanja di supermarket.
Tautan asli: https://aryawasho.wordpress.com/2015/10/13/obrolan-di-pasar-cihaurgeulis/