Oleh : R. Indra Pratama (@omindrapratama)
12 Agustus 1945. Soekarno, Moh.Hatta, dan Radjiman Wediodiningrat telah menjalani hari ketiga di Da Lat, ibukota Negara Federasi Indochina. Da Lat saat itu berada dibawah kekuasaan Jepang, seperti halnya mayoritas kota lain di Asia Tenggara.
Mereka bertiga berada di Da Lat dalam rangka memenuhi panggilan dari “saudara tua”, yaitu Marsekal Hisaichi Terauchi. Terauchi, yang saat itu tengah berjuang melawan stroke sekaligus menutupi kehancuran Jepang dari sekutu, menjanjikan bahwa kemerdekaan Indonesia akan diberikan oleh Jepang, dan proklamasi dapat dilakukan secepat mungkin, tergantung kerja dari Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Namun ia pribadi mengusulkan tanggal 24 Agustus sebagai tanggal proklamasi.
Bagi Terauchi, langkah tersebut merupakan langkah penyelamatan terakhir kedaulatan Jepang di Asia Tenggara dan Pasifik. Ketiga tamunya memang belum mengetahui bahwa Hiroshima dan Nagasaki telah lebur oleh bom atom yang dijatuhkan tanggal 6 dan 9 bulan yang sama.
Ending dari penggalan cerita itu memang sudah kita ketahui bersama. Tapi siapa itu Hisaichi Terauchi memang belum menjadi pengetahuan umum.
Hisaichi Terauchi, lahir 8 Agustus 1879, merupakan perwira senior Jepang di Perang Dunia II. Ia merupakan putra dari Masatake Terauchi, juga seorang perwira tangguh, yang pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Jepang ke 18.
Pada usia 21 tahun Terauchi junior lulus dari akademi militer Jepang, dan ia langsung terlibat di Perang Russo-Japan. Karirnya makin melesat, tahun 1935 ia diangkat menjadi jenderal, bahkan sempat diangkat menjadi menteri peperangan, sebelum konflik dengan para politisi membuatnya kembali ke medan perang.
Tahun 1941 Terauchi ditugaskan dalam misi penaklukkan Asia Selatan dan Pasifik. Dalam Perang Pasifik, Terauchi, bersama Jenderal Yamamoto Isoroku, menjadi salah satu aktor utama keberhasilan Jepang di paruh pertama perang.
Terauchi mendirikan markas utamanya di Singapura, sebelum pada 1933 berpindah ke Manila. Ketika keadaan berbalik dan sekutu dibawah Amerika Serikat mulai menguasai Pasifik dan kemudian mengincar Filipina, Terauchi pun terpaksa mundur ke Saigon. Kekalahan demi kekalahan membuat Terauchi tertekan. Hingga saat ia mendengar berita lepasnya Burma dari tangan Jepang pada 10 Mei 1945, ia tiba-tiba terserang stroke.
Ditengah keadaan tertekan itulah ia mengambil langkah-langkah untuk mencoba mengakali kondisi. Salah satunya adalah dengan menjanjikan kemerdekaan pada daerah-daerah taklukan, seperti yang ia lakukan pada Soekarno, Hatta, dan Radjiman.
12 September 1945, setelah lepasnya Indonesia dan Singapura, Jepang diwakili oleh Jenderal Itagaki Seishiro menyerah secara resmi di Singapura. Terauchi sendiri menyerah secara personal kepada Lord Mountbatten dari Inggris di Saigon tanggal 30 November 1945.
Terauchi bersama tawanan lainnya dibawa untuk ditahan di Malaya. Tanggal 12 Juni 1946, Terauchi terserang stroke untuk kedua kalinya dan meninggal di usia 66 tahun. Jenazah Terauchi dimakamkan di Japanese Cemetery Park di Singapura.
Cerita menariknya adalah saat menyerah pada Lord Mountbatten, Terauchi menyerahkan senjata pusaka milik keluarganya, yaitu sebuah Wakizashi, pedang pendek. Wakizashi yang dibuat pada tahun 1431 oleh leluhur keluarga Terauchi ini hingga kini tersimpan di Windsor Castle, Inggris.
Sumber :
Ojong, PK. 2009. Perang Pasifik. Jakarta : Penerbit Kompas.
Hayashi, Saburo. 1959. Kogun: The Japanese Army in the Pacific War. Marine Corps.
Dupuy, Trevor N. 1992. The Harper Encyclopedia of Military Biography. New York: HarperCollins Publishers Inc.