Tag: perkebunan teh (Page 1 of 2)

Perkebunan Teh Gunung Rosa

Oleh: Deuis Raniarti

Dalam rangkaian perjalanan Momotoran Gunung Padang hari Minggu lalu, kami menyempatkan pula mampir ke beberapa tempat yang sebelumnya cukup jarang dikunjungi oleh Komunitas Aleut, salah satunya adalah Perkebunan dan Pabrik Teh Gunung Rosa.

Jarak sekitar 6 kilometer dari Gunung Padang ke Pabrik Teh Gunung Rosa kami tempuh santai dalam waktu 40 menit. Beruntung jalan yang kami lalui kondisinya bagus, sepertinya memang baru diperbaiki karena menjadi akses menuju Situs Gunung Padang yang beberapa tahun ini selalu ramai oleh pengunjung. Jalan yang bagus itu berubah menjadi jalan bebatuan begitu memasuki kawasan perkebunan dan semakin dekat dengan pabrik teh.

Continue reading

Terjerat Puncak Eurad

WhatsApp Image 2018-11-25 at 6.05.54 AM

Oleh: Ariyono Wahyu Widjajadi (@A13xtriple)

Neng Rahmah terjerat tipu daya Gan Andung. Terpikat bujuk rayu Sang Jejaka justru membuat hidupnya tersiksa dan sengsara. Cinta buta membuatnya tega meninggalkan kedua orang tua yang sebenarnya melindunginya dari pesona dusta Si Durjana.

Nasib kemudian menyeretnya hingga tiba di Puncak Eurad, batas antara Bandung dengan Karawang. Dari atas gunung ia memandang Bandung di bawah sana. Rumah orang tuanya di Situ Bunjali yang ditinggalkannya, seluruh rangkaian perjalanan penuh nestapa berkelebat dalam benaknya.

Kisah di atas adalah cerita dalam novel berbahasa Sunda yang berjudul “Mugiri” karya Joehana. Roman ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1926 oleh Toko Buku “Koesradi” yang beralamat di Jl. Naripan.

WhatsApp Image 2018-11-25 at 6.06.50 AM
Novel Berbahasa Sunda “Mugiri” Karya Achmad Bassach (Ariyono)
Continue reading

Sepanjang Jalan Dewa(ta)

Sepanjang jalan dewata 1

Hutan Gunung Tilu | © Komunitas Aleut

Oleh : Rulfhi Alimudin Pratama (@rulfhi_rama)

Pedati kerbau berjalan di jalanan tengah hutan Gunung Tilu. Roda besi pedati menggilas tajamnya bebatuan. Benturan roda besi dengan bebatuan menghasikan dentuman suara. Suara yang memecah kesunyian hutan Gunung Tilu. Pedati itu membawa teh hijau hasil dari perkebunan teh Dewata menuju Rancabolang. 17 Km harus ditempuh menembus lebatnya hutan Gunung Tilu melalui jalan berbatu. Hamparan batu tersebut sengaja dihampar sebagai pelapis perkuatan jalan. Jalan tersebut dikenal sebagai jalan makadam.

Mendengar jalan makadam sontak melambungkan ingatan saya kepada mata pelajaran konstruksi jalan. Salah satu mata pelajaran yang saya ikuti ketika menempuh Continue reading

Catatan Perjalanan : Ngaleut Dewata 2

P_20180303_142237_PN
Perkebunan Teh | © Tegar Sukma A. Bestari

Oleh: Tegar Sukma A. Bestari (@teg_art)

Dikejauhan kabut mulai turun, perlahan menyelimuti perbukitan sebagai tanda hari sudah mulai sore. Hari itu, pukul 16.30 saya duduk ditemani kucing kampung berwarna abu-abu yang dekil dan tidak terurus namun cukup gemuk. Sebenarnya saya sedang menunggu satu-satunya penambal ban di kawasan ini. Di sini penambal ban adalah profesi sampingan sehingga saya harus menunggu sang tukang hingga waktu kerja usai.

Biasanya semua pekerja pulang pukul 16.00, namun khusus hari itu ada pekerjaan tambahan bagi penambal ban. Saya sabar saja menunggu, toh tidak ada pilihan lain karena untuk keluar dari kawasan kebun teh ini harus melewati 18km dengan jalan yang bisa merusak motor. Sambil sesekali melihat jam tangan saya memperhatikan cara berkomunikasi warga karena Telkomsel yang saya gunakanpun sama sekali tak bersignal. Pemilik rumah menggunakan handie talkie untuk mengabarkan kedatangan saya pada penambal ban dan yang mengejutkan ternyata kabar ini bukan saja didengar oleh penambal ban tapi oleh seluruh rumah di kawasan kampung ini. Pantas saja sudah 4 orang yang lewat menyapa saya kurang lebih dengan bahasa yang sama “aduh meni jauh ti Bandung, ke sakedap Cep tabuh 5 ge dongkap” dan sayapun hanya bisa menjawab dengan malu “muhun, pa/bu”.

Continue reading

Dewata yang Membawa Luka, Tawa, dan Was-was

Imajinasi di Dewata
Petualangan Menuju Dewata | © Fan_fin

Oleh: Hendi “Akay” Abdurahman (@akayberkoar)

“Kay, ban tukang kempes,” sahut Ervan setengah berteriak. Saya memperlambat laju motor. Kania, partner saya dalam Perjalanan Ngaleut Dewata jilid 2 ini, mengingatkan saya agar menepi jika menemukan tukang tambal ban. Saya mengangguk pertanda mengiyakan.

Hujan yang turun dari pagi membuat jalanan basah dan licin. Tak berapa lama, Kania menepuk pundak dan menyuruh saya untuk berhenti karena dia melihat tukang tambal ban. Entah sedang melamun atau justru terlalu serius berkendara, saya kaget dan menarik handle rem secara mendadak. Motor tersungkur, saya dan Kania meluncur. (Wah, kalimat terakhir berima nih) Hahaha…

Beberapa kawan yang berada di belakang tentu saja berhenti untuk menolong kami. Saya sedikit meringis. Mengalkulasi antara rasa sakit, kaget, dan malu. Meski rasa malu ditulis terakhir, nyatanya, perasaan malu itu berada di urutan pertama. J

Continue reading

Catatan Perjalanan: Akhirnya sampai Dewata!

Akhirnya sampai Dewata

Kawasan perkebunan teh Dewata

Oleh: Amanda Nafisyah (@nafisyamanda)

Pagi itu tanggal 3 Maret 2018 Komunitas Aleut mengadakan kembali kegiatan momotoran ke Perkebunan Teh Dewata. Ini kali kedua, setelah kali pertama kami tak berhasil menginjakan kaki di tanah Dewata karena beberapa alasan. Untuk momotoran Dewata kali ini aku yang sudah mendaftarkan diri dua hari sebelum hari H. Tepat pukul 05.05 WIB dering telpon membangunkanku. Ternyata itu telpon dari Rizka.

“Halo Riz, maaf aku baru bangun hahahaha”

“Iya Man, Nisa juga udah aku bangunin. Haha”

Padahal malam sebelumnya aku yang menyanggupi untuk membangunkan mereka berdua pukul 04.30 WIB. Tapi aku gagal. Ini semua gara-gara selimut! Setelah shalat dan persiapan ok, aku langsung pergi menuju rumah Tintin. Rumah kami yang terletak di Kopo, berada dalam jalur perjalanan rombongan dari Kedai Preanger ke Dewata Continue reading

Travelogue : Situ Cileunca, Pangalengan

Sekitar 45 Kilometer dari Kota Bandung, terdapat sebuah Danau yang menyimpan beribu pesona dan cerita, Situ Cileunca namanya. Lokasi tepatnya berada di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Berada di ketinggian 1550 Mdpl, membuat Situ Cileunca memiliki hawa yang sejuk dan menyegarkan. Bahkan di saat-saat tertentu suhu di sana dapat mencapai 10°Celcius. Selain suasana danau yang syahdu, ketika kita berada disana mata kita akan dimanjakan dengan pemandangan perkebunan teh yang berada di sekitar danau.

Sejarah Situ Cileunca

Situ Cileunca bukanlah Danau yang terbentuk secara alami, Situ ini merupakan Danau buatan yang dibangun untuk memenuhi kebutuhan listrik dan sebagai cadangan air bersih bagi warga Bandung. Jika dilihat dari sejarahnya, pada awalnya kawasan Cileunca merupakan Kawasan Hutan Belantara yang dimiliki oleh seorang Belanda yang bernama Kuhlan (Ada yang mengatakan bahwa Kuhlan adalah Willem Hermanus Hooghland pemilik Borderij N.V. Almanak). Jika dilihat dari waktu pembangunannya, Situ Cileunca berhubungan dengan keberadaan Pemancar Radio Malabar yang berada di sekitar kawasan Pangalengan.

Situ Cileunca Tempo Dulu
Situ Cileunca tempo dulu di sekitar tahun 1920-1932 (Sumber: tropenmuseum.nl)

Pembangunan Situ Cileunca memakan waktu selama 7 tahun diperkirakan antara tahun 1919-1926. Membendung aliran Kali Cileuca dan dialirkan melalui Bendungan Dam Pulo. Konon pembangunan Situ Cileunca dikomandoi oleh dua orang pintar Arya dan Mahesti,  uniknya dari cerita yang beredar di masyarakat pembangunan Situ Cileunca tidak dilakukan dengan menggunakan cangkul, namun menggunakan halu (alat penumbuk padi).

Berenang Di Situ CIleunca
Sejak zaman kolonial, Situ Cileunca sudah dijadikan tempat wisata. (Sumber : tropenmuseum.nl)

Pada zaman dahulu, Situ Cileunca sudah dijadikan sebagai tempat wisata oleh orang Belanda, Para wisatawan ketika itu biasanya berenang di tepian atau menaiki perahu berkeliling danau. Dahulu pernah ada kapal Belanda yang dipenuhi oleh wisatawan tenggelam di Situ Cileunca. Semua itu masih perkononan hingga pada akhir 2016 ketika Situ Cileunca disurutkan untuk maintenance bendungan, warga menemukan bagian dari kapal belanda tersebut di dasar danau.

Kapal Belanda Situ Cileunca
Potongan Kapal Besi Zaman Belanda

Karena jaraknya yang tak begitu jauh dari Kota Bandung, Situ Cileunca dijadikan salah satu alternatif destinasi liburan bagi warga Bandung. Kini di Situ Cileunca selain menikmati pemandangan, sudah banyak kegiatan dan fasilitas yang bisa dinikmati di sekitar Kawasan Situ Cileunca. Mulai dari menaiki perahu berkeliling, wisata petik strawberry, berkemah hingga yang ekstrim seperti Outbound dan Rafting di Sungai Palayangan.

Jembatan Cinta, Situ Cileunca.

Salah satu spot favorit saya di Cileunca adalah Jembatan Cinta. Jembatan ini merupakan jembatan yang dibangun untuk menghubungkan dua desa di Cileunca, Desa Pulosari dan Desa Wanasari. Sebelum dibangun jembatan ini warga harus mengambil jalan memutar yang memakan waktu lebih lama. Warga pun berinisiatif membangun jembatan untuk mempermudah akses antar desa.  Kata warga sekitar, jembatan ini seringkali dijadikan sebagai tempat kumpul muda mudi dari kedua desa. Dikarenakan alasan itu maka jembatan ini pun dinamakan Jembatan Cinta. Lagipula segala seuatu yang diembel-embeli kata “cinta” terdengar lebih menjual kan?

Jembatan Situ Cileunca
Jembatan Cinta Situ Cileunca

Spot ini menjadi favorit saya karena dari sini kita dapat menikmati banyak hal, mulai dari pemandangan Perkebunan Teh Malabar di sebelah Timur Cileunca hingga mengamati kegiatan dan berinteraksi dengan warga sekitar. Ditambah lagi untuk mencapai spot ini tidak dipungut biaya (dasar mental gratisan, hehe).

Dalam tenang airnya, Situ Cileunca masih menyimpan banyak misteri yang belum terkuak.

Sudah pernah atau ingin datang ke Sini? Silahkan bagi pengalaman Anda di kolom comment di bawah ini.

 

Sumber: http://www.adiraoktaroza.com/2017/05/05/travelogue-situ-cileunca-pangalengan/

Mengenal Willem Gerard Jongkindt Conninck

Nisan W.G. Jongkindt Coninck.jpg

Batu nisan W.G. Jongkindt Coninck/foto oleh Asep Suryana

 

Oleh: Vecco Suryahadi (@Veccosuryahadi)

Pada bulan Juni 1934, sebuah perayaan spesial untuk Tuan W.G. Jongkindt Coninck diselenggarakan di Kertamanah. Banyak telegram, karangan bunga, serta bingkisan diterima oleh panitia perayaan di Kertamanah. Saking spesialnya perayaan ini, banyak artikel koran Belanda yang merekam peristiwa ini. Tapi siapa sih Tuan Jongkindt ini?

Untuk mengenalnya, mari kita mundur sekitar 50 tahun dari perayaan itu yakni tahun 1884.

Pada tanggal 22 Juni 1884, Willem Gerard Jongkindt Conninck dan kakaknya bernama Gerrit Jan Jongkindt Conninck datang di Hindia Belanda untuk pertama kalinya. Tujuan mereka ialah mencari peruntungan di bidang perkebunan. Perlu diketahui Willem dan Gerrit berumur 18 dan 24 tahun.

Karir Willem diawali sebagai pegawai perkebunan tembakau di Sumatera. Pada awalnya, dia bekerja perkebunan di Belawan. Lambat laun, karena kerja keras dan ketekunannya, dia berhasil menjadi seorang administratur perkebunan tembakau di Deli pada tahun 1889. Saat itu dirinya berumur 23 tahun!

Setelah 15 tahun berkarir di Sumatera, Tuan Willem pindah ke perkebunan di Jawa. Perkebunan pertama yang disinggahinya berlokasi di Lampegan. Lalu, dia pindah ke Kertamanah dan menjadi administratur perkebunan pada 1 April 1904.

Selama di Kertamanah, fokus Tuan Willem lebih ke arah budidaya kina. Metode pengolahan tanah, pemilihan benih, dan penanggulangan penyakit kina menjadi fokusnya. Salah satu penelitian yang dilakukan Tuan Willem tentang penyakit kina diterbitkan di koran De Preangerbode edisi Juli 1913.

Berkat metode-metode itu nama perkebunan Kertamanah dan Willem G. Jongkindt Conninck terkenal di Jawa. Hal itu terlihat dengan banyaknya undangan sebagai pembicara yang diterima oleh Tuan Willem. Salah satunya adalah undangan Tentoonstelling te Semarang yang menempatkan dirinya di seksi agrikultur dan holtikultura.

Hingga pada tahun 1934, Willem Gerard Jongkindt Conninck dianugerahi Ridder in de Orde van Oranje-Nassau berkat jasa dan kiprahnya selama 50 tahun di budidaya kina. Penganugerahan itu dirayakan di Kertamanah. Banyak koran Belanda yang merekam peristiwa ini.

Sayangnya, jejak langkah Tuan Willem Conninck di bidang budidaya kina berhenti saat pendudukan Jepang di Hindia Belanda. Bahkan kehidupan Willem Gerard Jongkindt Conninck pun berhenti saat dirinya berada di Kamp Interniran 7 Ambarawa. Dia meninggal di sana pada tanggal 23 Januari 1945. (Vss/Rap)

 

Sepotong Cerita Ngaleut Rancabali

Rombongan Aleut ngaleut Rancabali

Rombongan Aleut ngaleut Rancabali. Photo Mariana Putri

Oleh: Mariana Putri (@marianaaputri)

Hari minggu kemaren aku mengisi waktu bareng Komunitas Aleut dalam kegiatan ngaleut.  Judul ngaleut  kali ini adalah ‘Ngaleut Rancabali”. Kami mengunjungi Kampung Rancabali dan kompleks perkebunan teh yang erat kaitan dengan Max I. Salhuteru, salah satu tokoh yang berjasa dalam nasionalisasi perkebunan teh Sperata dan Sinumbra di Ciwidey, tahun 1957. Di Rancabali pula, Max I. Salhuteru dimakamkan.

Selain mengunjungi makam Max I. Salhuteru, kami pun mengunjungi sebuah patung dada Max I. Salhuteru yang berada di Ciwidey. Kondisi patung sudah tak terlalu terawat. Continue reading

Perkebunan Kertamanah yang Kembali Hidup

Muka Kertamanah 1949.png

Pabrik Kertamanah 1949 (Arsip foto HA. J. JonkerSecretary of Economic Affairs J. Van Baalen)

Oleh: Vecco Suryahadi (@veccosuryahadi)

Pada tahun 1949, pabrik dan perkebunan di Kertamanah terlihat sibuk dan ramai. Lebih dari 400 orang berkumpul di halaman pabrik. Banyak mobil dan kereta kuda terlihat nangkring di halaman Pabrik Teh Kertamanah. Perkebunan Kertamanah terlihat hidup kembali.

Kenapa disebut hidup kembali? Untuk menjawab pertanyaan itu, mari kita mundur mulai dari era pendudukan Jepang di Hindia Belanda atau sekitar 6-7 tahun lalu. Continue reading

Surat dari Kertasarie Untuk Merdeka

Oleh: Hendi “Akay” Abdurahman (@akayberkoar)

Hendi, Manda, dan motor jadulnya

Hendi, Manda, dan motor jadulnya

Dear Deka…

Kita sudah lama berada di sini, di Bandung. Kota yang kita cintai, kota yang penuh dengan memori. Aku yakin, kecintaanmu pada kota ini begitu besar, sama halnya denganku. Bagaimana tidak, kita sama-sama angkatan 1900-an bukan? Hehehe… Kita merasakan pahit dan manisnya perkembangan zaman, dari zaman kolonial sampai zaman milenium sekarang. Selain itu, yang bagiku menggelitik, kita masih diberikan umur untuk menyaksikan orang-orang beradu argumen tentang letak geografis kita. Kau yang berada di pusat kota, menjadi penanda kesombongan sebagian orang untuk sekedar bilang “Aku masih masuk anak kota, bukan Bandung”. Padahal aku dan kau tak pernah mempermasalahkan hal itu. Kita sama-sama cinta Bandung. Arghhh lucu sekali…

Aku tahu, kau berada di titik keramaian, yang tak jarang menjadi tempat orang-orang untuk berkencan. Dan aku, aku yang berada jauh di selatan, hanya berteman dengan hehijauan. Bahkan orang-orang yang berpapasan denganku seperti lupa untuk sekedar menyapa.

Itu tak terjadi sekarang saja, kau memang sudah ditakdirkan untuk selalu ceria dengan kaki-kaki penuh kemenangan. Coba kau putar lagi ingatanmu ke masa lalu, kau begitu disayang orang-orang Belanda. Kau selalu dikelilingi orang-orang kaya. Groote Postweg dan Bragaweg bagian selatan tempat kau menancapkan alamat adalah jalan tersohor. Bandingkan dengan daerah tempatku berpijak yang jarang sekali didekor. Continue reading

Risa Sarasvati

12407386_169607003406356_736641379_n

Namanya Risa Sarasvati, penyanyi dan penulis novel bertema mistis. Risa bersama dua rekannya tak ketinggalan mengikuti Tour Preangerplanters ke Garut-Cikajang pada tanggal 17 Januari 2016 lalu. Pada saat pembukaan, Risa bercerita kebetulan saat ini sedang membaca buku “Sang Juragan Teh” dan punya keinginan untuk melihat jejak-jejak para pengusaha teh Priangan tempo dulu itu langsung ke lokasinya. Lalu berangkatlah Risa Sarasvati dkk.

Risa tidak banyak bicara, hanya sesekali membuat foto2, dan cenderung dapat menghilang tak terperhatikan. Di bagian akhir perjalanan, baru saya tahu dari ceritanya sendiri, Risa “dapat melihat” yang tak terlihat. Mungkin karena itu Risa sibuk dengan dunianya.

Saat ini Risa sedang dalam proses menulis novel ke-7 dengan tokoh bernama Peter entah siapa untuk buku “Peter”. Peter mungkin seseorang yang masa hidupnya antara 1873- 1918 sesuai dengan periode yang diceritakan dalam novel “Sang Juragan Teh” karya Hella S. Haasse.

Saya rasa Risa sudah melihat cukup banyak yang tak terlihat saat berada di Cisaruni, Cikajang. Semoga dapatkan inspirasi segar. Yang jelas, saya yang dapat beberapa inspirasi untuk kegiatan berikutnya, mungkin dapat dijalankan bersama.

Tour Preangerplanters

image

Artikel di koran PR tentang dua kegiatan @sahabatbosscha dan @mooibandoeng pada akhir pekan lalu. Masing-masing, Sabtu 16 Januari 2016, Bedah Buku Preangerplanters di Institut Francais Indonesia Bandung, Jl. Purnawarman No.32, dan Minggu 17 Januari 2016, Tour Preangerplanters ke Cimurah, Garut dan Pabrik Teh Cisaruni, Cikajang.

Kedua kegiatan sudah terlaksana dengan lancar dan menyenangkan.

Riwayat Preangerplanters

image

Kunjungan ke Pabrik Teh Cisaruni hari Minggu, 17 Januari 2016 kemarin adalah ujung rangkaian kegiatan “Mengenal Riwayat Preangerplanters” yang sudah kami laksanakan dalam 2 minggu ini.

Dua kegiatan pertama berupa #Ngaleut dari @komunitasaleut
pada tanggal 3 & 10 Januari 2016 dengan judul “Jejak Preangerplanters di Kota Bandung”. Dari kegiatan ini terkumpul 24 bangunan dan lokasi yang berhubungan dengan aktivitas Preangerplanters tempo dulu di kota Bandung.

Kegiatan ketiga berupa “Bedah Buku Preangerplanters” pada hari Sabtu, 16 Januari 2016 yang diadakan di Auditorium Institut Francais Indonesia, Bandung, Jl. Purnawarman 32. Hadir dalam acara ini Bpk. Eka Budianta, Bpk. H. Kuswandi Md, Bpk. Kurnadi Syarif-Iskandar, Bpk. Ir. Nugroho, Bpk. Mahasena Putra, Bpk. Taufik Hidayat, Bpk. Sudarsa, Ibu Susan, dan sekitar 40 peserta lainnya.

Sebagai kegiatan keempat atau yang terakhir, berupa kunjungan ke Rumah Bambu di Cimurah untuk melihat arsip2 yang berhubungan dengan sejarah teh di Indonesia dan kunjungan ke Perkebunan Cisaruni di Cikajang untuk melihat jejak2 Karel Frederik Holle serta melihat langsung secara lengkap proses produksi teh.

Kegiatan terakhir ini diikuti oleh lebih dari 30 peserta dan ditambah dengan tamu2 undangan dari Garut, di antaranya Asgar Muda dari Cigedug, Bpk. Dedi Efendi, Bpk. Darpan, Paguyuban Moka Garut, Komunitas Sanghyang, dan sebuah kelompok seni karinding. Di sini diperkenalkan kembali tradisi masyarakat perkebunan teh yang hampir punah, yaitu nyaneut.

Semoga seluruh rangkaian kegiatan ini sudah memberikan pengalaman dan tambahan pengetahuan bagi para peserta dan dapat mengamalkannya lebih luas lagi.

Rangkaian kegiatan berikutnya akan segera menyusul, di antaranya kunjungan ke perkebunan di Gambung, Cinyiruan, dan Pasirmalang.

Salam.

« Older posts

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑