Terjerat Puncak Eurad

WhatsApp Image 2018-11-25 at 6.05.54 AM

Oleh: Ariyono Wahyu Widjajadi (@A13xtriple)

Neng Rahmah terjerat tipu daya Gan Andung. Terpikat bujuk rayu Sang Jejaka justru membuat hidupnya tersiksa dan sengsara. Cinta buta membuatnya tega meninggalkan kedua orang tua yang sebenarnya melindunginya dari pesona dusta Si Durjana.

Nasib kemudian menyeretnya hingga tiba di Puncak Eurad, batas antara Bandung dengan Karawang. Dari atas gunung ia memandang Bandung di bawah sana. Rumah orang tuanya di Situ Bunjali yang ditinggalkannya, seluruh rangkaian perjalanan penuh nestapa berkelebat dalam benaknya.

Kisah di atas adalah cerita dalam novel berbahasa Sunda yang berjudul “Mugiri” karya Joehana. Roman ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1926 oleh Toko Buku “Koesradi” yang beralamat di Jl. Naripan.

WhatsApp Image 2018-11-25 at 6.06.50 AM
Novel Berbahasa Sunda “Mugiri” Karya Achmad Bassach (Ariyono)

Joehana yang bernama asli Achmad Bassach memang penulis yang lahir dan menghabiskan hampir seluruh hidupnya di Bandung jadi bukanlah hal yang aneh jika ia banyak menulis dengan berbagai latar tempat di Bandung dalam novelnya. Novel “Mugiri”  berkisah tentang konflik percintaan anak muda. Dalam novel ini Joehana menuliskan banyak nama tempat di Bandung seperti Babakan Ciparay tempat Neng Rahmah disembunyikan Gan Andung. Gang Andung sendiri tinggalnya di Jl. Kejaksaan. Kemudian Joehana menuliskan tentang jalur perginya Neng Rahmah setelah diusir dari rumah Bi Sarni di Babakan Ciparay. Neng Rahmah mengambil jalur jalan ke Situ Saeur kemudian belok ke utara ke perempatan Ijan, lalu mengarah ke utara melewati Pabrik Kina hingga ke persimpangan Situ Bunjali. Saat itu Neng Rahmah yang sedang hamil tua sempat berpikir untuk kembali ke rumah Raden Surya orang tuanya, yang tak merestui hubungannya dengan Gan Andung seorang lelaki tukang kawin-cerai demi menguras harta wanita-wanita yang dinikahinya.

Namun Neng Rahmah memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya setelah berpikir bahwa orang tuanya tidak akan menerima dirinya yang tak mengindahkan nasihat orang tua. Dari Cipaganti Neng Rahmah terus berjalan ke Utara hingga tiba di Lembang, Pangragajian, dan akhirnya tiba di daerah antara Cikidang dan Cikawari sekitar pukul empat subuh. Sebuah saung di tengah ladang jagung kemudian menjadi tempat Neng Rahmah melahirkan bayinya yang kemudian ditinggalkannya di tempat tersebut. Si bayi kemudian ditemukan oleh pasangan kakek-nenek pengurus kebun yang menyerahkannya pada Mas Wiria, pemilik kebun yang tak memiliki anak dan memberi nama Mugiri kepanjangan dari Nimu Giri atau ditemukan di gunung.

Baca juga Maribaya-Subang: Kisah Perjalanan

Saat tiba  di depan gudang kopi Pasar Cikawari, Neng Rahmah disangka sebagai orang gila saat mengamuk setelah tiba-tiba bayangan Orang tua dan Gan Andung muncul dalam benaknya. Setelah itu ia tinggal di rumah Lurah sebagai pembantu. Neng Rahmah harus kembali angkat kaki ketika si Lurah ingin menjadikannya sebagai istri muda. Neng Rahmah memilih pergi ke arah Utara menuju jalan ke Subang hingga tiba di Puncak Eurad. Di Puncak Eurad Neng Rahmah bertemu Mak Ijak, penjual cendol. Kepada Mak Ijak, Neng Rahmah mengaku bernama Nyi Iti. Nyi Iti atau Neng Rahmah membantu Mak Ijak berjualan cendol. Hingga akhirnya Mak Ijah menjadikan Nyi Iti sebagai anak angkatnya.

Menurut Mak Ijah di utara Puncak Eurad terdapat banyak perkebunan seperti Bukanagara, Sagalaherang, Pamanukan dan Subang.

Jika ingin mencapai Subang harus melewati Cikendung dan Kasomalang yang memakan waktu perjalanan lebih dari sehari.

Mak Ijah sebenarnya memiliki seorang anak laki-laki bernama Juki yang menjadi mandor pabrik tapioka di Subang. Saat Mak Ijah dan Nyi Iti alias Neng Rahmah datang berkunjung ke Subang secara kebetulan Tuan Belanda pemilik pabrik membuka lowongan bagi mereka yang bisa mengetik dan berbahasa Belanda. Neng Rahmah yang memiliki keterampilan yang diperlukan kemudian diterima bekerja dan melalui pekerjaan inilah ia bisa merubah nasibnya.

Dalam novel “Mugiri”, Joehana menuliskan nama-nama tempat yang mungkin telah banyak dilupakan orang seperti Cikawari, Puncak Eurad dan Bukanagara.

WhatsApp Image 2018-11-25 at 6.27.32 AM
Perjalanan S. Grigorieff dan Isabella di Bukanagara (KITLV)

Foto Keluarga Belanda di Bukanagara

Dari roman berbahasa Sunda mari beralih ke kumpulan foto keluarga Belanda dari koleksi digital Universitas Leiden. Foto-foto hitam putih yang dibuat pada awal abad XX ini mengabadikan perjalanan pasangan pengantin baru S. Grigorieff dan Isabella.

Salah satu foto memperlihatkan pemandangan Perkebunan Teh dan Kina Bukanagara dengan beberapa rumah penduduk yang dilalui sebuah jalan tanah.

WhatsApp Image 2018-11-25 at 6.08.11 AM
Pemandangan Perkebunan Teh dan Kina Bukanagara (KITLV)

Beberapa foto diberi judul kedatangan pasangan S. Grigorieff dan Isabella Grigorieff ke Perkebunan Teh dan Kina Bukanagara yang terletak di utara Bandung. Pasangan ini datang dengan menunggangi kuda, pedati yang ditarik kerbau serta menggunakan tandu/plankuin yang diangkat oleh beberapa orang pribumi.

WhatsApp Image 2018-11-25 at 6.28.05 AM
Perjalanan S. Grigorieff dan Isabella di Bukanagara (KITLV)

Cara berpergian pasangan S. Grigorieff dan Isabella Grigorieff ini mirip dengan yang dilakukan oleh rombongan Neng Rahmah yang datang berkunjung kembali ke Puncak Eurad setelah dirinya menjadi kaya. Diceritakan Neng Rahmah, Juki dan istrinya yang menggunakan pakaian modern menunggangi kuda bak Tuan dan Nyonya Belanda. Sedangkan Mak Ijah berpergian dengan cara ditandu. Sepanjang jalan pedati ini penduduk pribumi yang mengira rombongan Neng Rahmah adalah pembesar. Penduduk setempat memberikan penghormatan dengan membuka penutup kepala mereka dan menunduk. Persis seperti yang tampak dalam foto keluarga Grigorieff , dimana penduduk pribumi berjongkok di bawah para Tuan dan Nyonya Belanda.

Kuda, tandu serta kereta pedati yang ditarik kerbau memang moda transportasi di jalur jalan yang kemudian lebih dikenal sebagai jalan Pedati atau Karenweg.

WhatsApp Image 2018-11-25 at 6.27.50 AM
Jalan Pedati (KITLV)

Jalan Pedati Tradisional

Bila mencermati dua keterangan dari kisah dalam novel berbahasa Sunda “Mugiri” karya Joehana dan koleksi foto keluarga Belanda S. Grigorieff mengenai jalur Cikawari, Puncak Eurad, Bukanagara hingga Subang dapat ditarik kesimpulan bahwa jalur jalan ini dahulu cukup dikenal atau bukan daerah yang asing.

Menurut Haryoto Kunto dalam bukunya “Wajah Bandoeng Tempo Doeloe” pada awal abad XIX terdapat sebuah jalan pedati (Karenweg) yang melalui kampung-kampung tua di Bandung dan menghubungkan Alun-Alun Bandung-Merdeka Lio-Kampung Balubur-Coblong-Dago-Buniwangi-Maribaya yang kemudian diteruskan melalui jalur tradisional Kerajaan Pajajaran antara Sumedanglarang dengan Wanayasa.

Baca juga Raden Rangga Martayuda, Jalan Pedati, dan Kademangan Batusirap

Mengenai jalan Kerajaan Pajajaran, Haryoto Kunto dalam bukunya yang lain yaitu “Riwayat Kota di Tatar Sunda”  menjelaskan bahwa  pada abad XV dan XVI telah terdapat jalur yang malalui dataran tinggi di pedalaman/hinterland Jawa Barat yang menghubungkan: Kawali-Panjalu-Talaga-Sindang Kasih-Karang Sembung- Conggeang- Buahdua-Sagalaherang-Wanayasa-Purwakarta-Cikao-Tanjungpura-Cibarusa-Pakuan-hingga Banten. Untuk menjelaskan “Highway Pajajaran” ini Sang Kuncen Bandung melengkapi informasinya dengan sebuah peta.

Dalam perkembangan Bandung diawal berdirinya jalur pedati tradisional ini  berperan penting sebagai  sarana transportasi untuk mengangkut hasil komoditas yang dihasilkan daerah ini terutama kopi dari perkebunan di sekeliling Bandung ke gudang kopi/koffie pakhuis milik Andries de Wilde menuju pelabuhan Cikao Bandung di aliran Sungai Citarum dengan tujuan akhir Batavia di Pantai Utara Jawa.

Jalur tradisional pedati ini tak hanya dipergunakan untuk mengangkut komoditas kopi saja namun juga digunakan untuk mengangkut bahan-bahan bangunan untuk kota Bandung di masa awal pembangunan pada paruh akhir abad XIX dan awal Abad XX. Menurut buku “Rintisan Penelusuran Sejarah Wanayasa” bahan-bahan bangunan itu dibawa dari Batavia melalui pelabuhan Sungai Citarum di Cikao Bandung yang pada saat itu merupakan wilayah Kabupaten Bandung, melalui jalur Wanayasa-Sagalaherang-Cisalak-Maribaya-Dago-Bandung.

Pentingnya jalan pedati tradisional ini dapat dilihat dengan didirikannya sebuah monumen peringatan di lapangan depan Pabrik Teh Bukanagara. Pada monumen yang juga dijadikan sebagai tugu peringatan mengenai pengambil-alihan/nasionalisasi aset Perkebunan P&T Lands pada tahun 1964, tertulis pula peringatan pembuatan jalan pedati Bukanagara pada tahun 1847 oleh Tuan Tanah Raden Rangga Martayuda dengan perwakilan P&T Lands T. B. Hofland.

Saat ini yang paling dikenal di daerah-daerah yang disebutkan sebagai jalur tradisional pedati ini tentu saja Maribaya. Namanya kembali dikenal melalui tempat tetirah yang menawarkan wisata pemandangan untuk selfie. Hal yang kemudian dicoba oleh Puncak Eurad dengan menawarkan atraksi menara pandang yang sedang menjamur saat ini.

Mungkin menara pandang Puncak Eurad didirikan di tempat Neng Rahmah meratapi nasibnya karena mencintai orang yang salah sedangkan pengujung saat ini mengabadikan dirinya dengan tulisan I Love You sebagai penanda di jalur jalan tradisional yang telah terlupakan.

Baca juga artikel lainnya dari mengenai catatan perjalanan

(komunitasaleut.com – alx/upi)

6 pemikiran pada “Terjerat Puncak Eurad

  1. Ping balik: Senyum Terkembang di Subang: Sebuah Catatan Perjalanan (Bagian 1) | Dunia Aleut!

  2. slm , maaf pa ,ada yg salah ya ,, sy ralat ya pa , Raden Rangga Martayuda adalah Tuan Tanah Negara Pamanoekan and Tjiasem , klo TB hoplan itu perwakilan dari P& T land sbg pengelola perusahaan yg punya saham menurut sistem VOC , Raden Rangga Martayuda Demang Batu Sirap keturunan Raja Pajajaran, Sebagai Pribumi asli. TB Hoplan dan PW hoplan adalah Pengusaha yg datang ke Kademangan Batu Sirap .Raden Rangga Martayuda sebagai pribumi asli membuat tugu bukanagara dan sebagai tuan tanah nya sesuai batu nisan yg ada di makam eyang Raden Rangga Martayuda di Cisalak , Setelah Eyang Rangga Martayuda Wafat hari jumat ,13 juni 1856 , TB Hoplan dan PW Hoplan memakai sistem VOC Penjajahan dalam pengelolaan nya , seperti PW Hoplan membentuk 8 kademangan dan 8 Kademangan ber SK GubJen Belanda , sampai lahir nya Kemerdekaan RI tahun 1945 , Penjajah Belanda ingin bercokol.di Subang ,buktinya ada agresi Belanda 1 dan agresi belanda 2 ,

    Itu bukti bahwa PW Hoplan adalah penjajah ,

    Kembali kita lihat tahun 1847 Raden Rangga Martayuda sebagai Tuan Tanah Negara Pamanoekan dan Tjiasem Land , sedangkan TB Hoplan sebagai P& T Land yg mengelola kontrak , klo saat ini HGU berlaku utk TB Hoplan dan PW Hoplan.

    Karena mana mungkin ,Kaum Penjajah TB Hoplan dan PW Hoplan bisa menjadi Tuan Tanah karena mereka datang niat Berdagang sistem VOC,dan mereka adalah penjajah pribumi asli.

    Saya pun sebagai keturunan asli eyang Rangga Raden Martayuda bertanya kpd TB Hoplan dan PW Hoplan bhw anda anda sudah membuat kesalahan dgn menyatakan diri sebagai tuan tanah pemilik , justru TB Hoplan dan PW Hoplan adalah menyatakan kebohongan karena pernyataan nya bertentangan dgn Tulisan Di Batu Nisan Eyang Rangga Raden Martayuda , bahwa Tulisan menyebutkan pada tahun 1856, Raden Rangga Martayuda adalah Demang Batu Sirap Daerah Pamanukan & Tjiasem .

    Pengamatan saya adalah pada tahun 1847 berlaku hukum adat , hukum adat adalah hukum yg mengatur pemerintahan kademangan batu sirap . Hukum adat adalah adat yg berlaku di masyarakat adat saat itu, dan di kaji serta di benarkan oleh Van Vollen Hopen penulis belanda yg menulis ttg Hukum Adat di Preanger.

    Demikian pa , tambahan catatan dari saya, Hj.Raden Siti Rukiah Rahayu binti R.Saleh Putra bin R Iya Martadilaga bin R Adiwilaga bin R Adimiarta Adiraja Kusumah bin Raden Rangga Martayuda.

Tinggalkan komentar