Braga; Kawasan Cagar Budaya Kota Bandung yang Terus Terganggu

Sabtu Sore (8/8) itu, saya mengunjungi Jalan Braga. Seperti biasa, suasana jalan cukup ramai dipadati para wisatawan yang mengambil foto di sana. Tidak ada yang banyak berubah di sana, kecuali ada pembangunan kecil di mulut Gang Cikapudung. Gang ini sering saya lewati, karena menjadi akses masuk ke Kampung Cibantar, tempat paman dan bibi saya tinggal.

Foto: Deuis Raniarti, Komunitas Aleut.
Baca lebih lanjut
Iklan

Memperkosa Keeksotisan Ci Kapundung

Oleh : Dinda Ahlul Latifah (@propesordinda)

Assalamu’alaikum Wr Wb

Hay, para penjelajah bumi,aku mau berbagi kisah perjalananku, kisah sepatu jalangku, dan kisah teman-teman hebatku saat kami “memperkosa”  keeksotisan Ci Kapundung. Selamat berpetualang !.

Pada tanggal 1 Juli lalu,kami semua para pegiat Aleut atau Aleutians, atau aku lebih sukamenyebut Aleut Rangers, dengan penuh semangat menjelajahi keeksotisan Sungai Ci Kapundung. Kami semua berkumpul jam 7.30 di markas besar atau sekretariat Komunitas Aleut. Tapi berhubung keadaan lalu lintas Bandung yang macet, jadinya semua Aleut Ranger a.k.a Aleutians yang siap ngaleut baru bisa berangkat sekitar pukul 8.30. Ngaret 1 jam?, itu presentasi menakjubkan untuk ukuran orang Indonesia yang akan pergi menjelajah tanpa dibayar, tapi kami semua tahu kami akan dapat bayaran lebih dari materi yaitu PENGALAMAN & KEPUASAN BERPETUALANG ;).

(nah itu potret wajah Ci Kapundung dalam awal perjalanan kami memperkosa keeksotisan sungai yang sudah tidak perawan lagi ini)

Kami semua para pegiat Aleut alias Aleutians alias Aleut Rangers sangat bersemangat sekali pagi itu. Matahari seakan ikut mendukung kegiatan jelajah sungai kami, sangat cerah dan hangat, tersenyum pada kami seakan berkata “Semangat Kaka!”. Sepanjang perjalanan kami tidak henti berceloteh, bergurau, dan berfoto. Jujur saja saat itu saya merasa seperti Dora The Explorer, namun saya tidak butuh peta untuk berpetualang, karena alam punya kompas dan petanya sendiri jika kita menikmatinya.

(yang kalian lihat itu salah satu penampakan wajah Sungai Ci Kapundung. Gambarnya sedikit burek yah. Maklumin aja saya potonya sambil elap-elap keringat)
(Inilah penampakan para Aleutian alias Aleut Rangers, gaya-nya trendy banget kan?;). Mau ngaleut tetep harus kece, siapa tahu dijalan ketemu produser pilem)

(nah inilah kenapa Sungai Ci Kapundung dibilang tidak perawan lagi, karena sudah tercemari oleh berbagai sampah dan limbah. Prihatin kan?. Sungai Amazon-nya Jawa Barat malah dipenuhi sampah dan limbah. Jangan tanya didalamnya ada buaya atau anakonda apa tidak, kalau ada mana mau kami nyebur kedalamnya)

(kami meneruskan perjalanan petualangan kami lewat jalur darat dulu,  melewati bukit-bukit dan perkampungan warga. Semakin siang matahari semakin  berkobar, keringat kami semakin deras sama seperti semangat kami yang tak pernah terkuras. Akhirnya kami sampai pada salah satu terowongan ,terowongan sepanjang sekitar 10-15 meter, saya tidak tahu persis berapa panjangnya, soalnya saya tidak bawa penggaris untuk sekedar mengukur panjang terowongan.)

kami para Aleut Ranger sangat antusias untuk menelusuri terowongan sungai itu, sorakan para Aleut Ranger yang memutuskan untuk tidak nyemplung membuat kami semakin semangat, yah betul sih adegan itu mirip-mirip salah satu challenge dalam Be A Man ;)) meskipun cuma sebagian yang nyemplung dan masuk terowongan tapi adrenalin cukup terpacu saat masuk kedalam terowongan yang gelap dan tanpa lampu itu.

(Waktu masuk terowongan saya sempat rekam dengan video recorder, cuma gelap sih, terus aplotnya bakal lama.heheheh)

Saya baru pertama kali masuk terowongan sungai, saya membuka sepatu saya dan nyeker masuk, tidak peduli kotor atau basah, karena berani kotor itu baik. Didalam terowongan kami semua mengalami kendala,apalagi buat para Aleut Ranger yang nyeker, bebatuan itu membuat kaki kami sakiiiiiiiit sekali. Apalagi medan gua yang sempit dan gelap, penuh sarang laba-laba. Persis salah satu adegan dalam film Anaconda. That was an amazing moment!.

Akhirnya setelah pergulatan dengan monster “gelap” dan monster “batu” dalam terowongan,para Aleut Ranger selamat sampai keluar terowongan. Kami pun disambut dengan sorak sorai Aleutian lain yang sudah menunggu di pintu keluar terowongan. Alhamdullilaaaaah ;).

Setelah berpetualangan dalam terowongan kami pun menemui WATERVANG!! .

jadi watervang itu fungsinya buat memecah aliran air sungai.gituuuuuuuuuh ;)).

Nah, perjalanan petualangan kami kecubek-kecubek Ci Kapundung belum  berakhir sampai disitu, KARENAAAAAAA PETUALANGAN YANG SEBENERNYA BARU DIMULAI ;))) jreng!jreng!.

Kami semua memutuskan untuk menyebrangi dan langsung melawan arus Ci Kapundung yang saat itu untungnya lumayan woles dan kalem. Kami semua menceburkan diri kesana!. Dan saya sangat bangga sekali sebagai orang Bandung (eh orang Lembang ketang saya mah) bisa langsung pedekate sama Ci Kapundung yang merupakan The King of River ini. (Eh bentar kalo King, kenapa Cikapundung bisa gak perawan lagi?. Oke saya salah nyambungin topik, maaf!. ). BACK TO THE CI KAPUNDUNG!.

Kalian tahu kan kaya gimana keadaan Ci Kapundung?. Yup! airnya terkontaminasi oleh berbagai zat dan partikel duniawi. Karena saya bukan orang kimia dan iisika, saya ga sempat meneliti dulu zat apa saja yang mengkontaminasi Ci Kapundung kami itu. Namun katanya, keadaan Ci Kapundung dikategorikan masih lumayan bersih. Ya memang sih ternyata sampah-sampahnya tidak terlalu membeludak,dan keadaan airnya masih tergolong tidak terlalu cubluk. Cuma tetap aja kan kita gatau orang ngapain aja disana.

Nah, medan dan keadaan bebatuan sungai yang cukup ekstrim dan licin membuat para Aleutian tergelincir dan terkejebur alias tikusruk. Saya pun merasakan sendiri bagaimana mantapnya ciuman batu Ci Kapundung yang bikin linu dan bonyok lutut ;3. Semuanya basah semuanya jibrug, semuanya senang ;3.

Jujur baru pertama kali saya menkeceburkan diri ke dalam sungai, sungai yang dijadikan sebagai tempat pembuangan!. Itu artinya saya, dan kami semua para Aleutian, merelakan dan menumbalkan diri untuk bersatu dengan sisa-sisa pembuangan, namun itu kami lakukan karna kami sayang Ci Kapundung, kami peduli dan kami kepo ingin mengenal lebih dekat Ci Kapundung tuh gimana sih orangnya, gituh!.

Perjuangan kami dalam berjalan menelusuri arus Ci Kapundung bisa dibilang cukup lancar, meskipun diwarnai insiden kecebur yang bikin ngakak saat melewati beberapa medan terjal dengan arus yang cukup besar kami semua saling membantu dan bekerja sama. Gilaaaa! ini keren abis, disaat banyak para pemuda bandung yang jalan-jalan ngalay ke mall,atau masih bergelut dengan selimut dan kasur, kami justru rela pedekate dan “memperkosa” keeksotisan Sungai Ci Kapundung!.

Akhirnya, arus dan medan Ci Kapundung berhasil kami taklukan!. Kami Menaaang!. Kami berhasil menepi ke daratan!. Kami lolos dari kejaran lele koneng ;3. Nah kebayang kan kalau di Ci Kapundung ada buaya atau anakonda -nya, perjuangan kami menuju daratan akan semakin ekstrim dan fearfull!. Alhamdullilaaah selamat meskipun basah semua ;3.
=======================================================================

Nah ini cuplikan poto-poto kami, Aleutians alias pegiat Aleut alias Aleut Rangers. Stamina kami masih kuat!, kami masih tangguuuh, karena perjalanan kami masih belum selesai ;3 Selamat menikmati pesona Ci Kapundung, selamat menikmati pesona kami ;)).
========================================================================

CURUG DAGO,prasasti.

Kami melanjutkan petualangan kami ke Curug Dago, tepatnya ke sebuah prasasti yang terdapat disana. Untuk menuju air terjun dan prasasti itu kami harus menuruni tangga, turunnya sih tinggal blek tapi naeknya cooooy ;3.

 Nah, keadaan air terjun di Curug Dago ini memang tak seindah “Air Terjun” Niagara di DUFAN,  ;(( . Oke, dan dalam perjalanan menuju Curug Dago kami menemukan hal  yang menakjubkan, benda hidup yang tak bisa dibawa pulang. Dan mereka adalah…

Dua personil junior baru Aleut Rangers yang kami temukan sedang menjelajah juga, mereka ini kakak-adik, namanya Teguh & Emir. Keduanya cakep kan?. Nah adek adek kalau sudah besar jangan jadi personil boyben, jadi personil Aleut sejati aja yah ;3.

Itu adalah batu prasasti-nya. Saya sendiri ga begitu tahu itu prasasti apa, karena keasyikan jepret sana sini, hihihi.

Oke mari kita menikmati pesona alam Curug Dago,dan pesona para Aleutian sebagai bonus super ;3.

Akhirnya selesailah petualangan kami di Curug Dago,kami semua memutuskan untuk mencari tempat peristirahatan,buat makan, solat, dan sharing;3.
=======================================================================
(nah itu foto saat kami melakukan sharing kegiatan ngaleut, kami semua secara bergantian akan menyampaikan kesan dan pesan “aleut kali ini” gituh. Kami sharing di sebuah pendopo di deket kawasan Curug Dago,tempatnya lumayan kotor. Cuma karena gak bawa sapu saya ga sempet bersihin sih. Maap yak.)
Akhirnya setelah sharing nya beres. Kami semua kompak lapar dan memutuskan mencari tempat makan. Berdasar salah satu rekomendasi Aleutian Master, A Ayan, akhirnya kami memutuskan untuk makan batagor di Simpang Dago. Tapi sebelum pergi kami tetep poto-poto lagi loh!.
===================================================================
Saat menuju tempat batagor ada fenomena menarik, yang dibawah itu foto temboknya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. Tapi lihat dibawahnya, banyak sampah berjejeran. Saya tidak bawa sapu, kalo bawa mah Insya Allah disapuan.
Akhirnya perjalanan dan petualangan Ngaleut Cikapundung kami berakhir di meja salah satu tukang batagor di Simpang Dago. Selamat makaaaan, jangan lupa bayar!.
Udah dulu yah ceritanya. Capek nih, mau cuci sepatu dulu, sepatu putih saya jadi korban keganasan Cikapundung. Tapi gak apa-apa, berarti ada “bekas” dan “jejak” petualangan disana ;))).
=========================================================================
Kenapa saya pilih judul “MEMPERKOSA KEEKSOTISAN CIKAPUNDUNG”? . Jangan mikir porno!. Maksud dari memperkosa disini adalah menguak lebih dekat sisi keekstrim-an Cikapundung, terjun langsung ke aliran airnya, pedekate dengan deras arusnya. Kami semua sampai nyebur dan basah nyemplung Cikapundung, menurut saya itu bukan sekedar petualangan!. Lebih dari itu saya merasa itu juga adalah petualangan jiwa, karena otomatis, anggapan dan presepsi saya terhadap Cikapundung yang sudah tidak perawan lagi itu mulai berubah.
Saya sudah melakukan pedekate sama Cikapundung, saya berusaha buat mengerti, apa sih mau kamu? kok pundung ?. Dan saya rasa kalian harus melakukan hal yang sama, jangan sekedar “kenal” Cikapundung, tapi ber-pedekate-lah, kejarlah dan rasakan “perasaan” Sungai Cikapundung, buat jiwamu menyatu dengan derasnya air Cikapundung.
 Sekian cerita petualangan saya dengan Komunitas Aleut di Sungai Cikapundung. Ini baru season 1,masih ada season 2. Percayalah, kami ngaleut berseason-season bukannya mau menyaingi Cinta Fitri, tetapi karena kami peduli ;3.
SUMBER FOTO:
ALBUM FACEBOOK SAYA(DINDA AHLUL LATIFAH)
ALBUM FACEBOOK TEH TATA
MODEL FOTO:
SUNGAI CIKAPUNDUNG

Original Post : http://dindatheexplorer.blogspot.com/2012/07/memperkosa-ke-exotisan-cikapundung.html

Jika Bandung Lupa Sungai

Oleh : Reza Ramadhan Kurniawan

Menyamakan Bandung dengan Paris akan membuat sungai Seine kecewa bila di bandingkan dengan Cikapundung

(Richard & Sheila Bannet)

 

Richard dan Sheila Bannet, yang sempat tinggal di kota Bandung sekitar tahun 1980 memberikan sebuah kesan berupa bentuk kecintaan sekaligus keprihatinan akan sungai Cikapundung,pasangan dari Inggris tersebut melalui bukunya Bandung&Beyond menuliskan kesan kekecewaan yang menyatakan kerusakan ekosistem Sungai Cikapundung dari tahun ketahun, walaupun terasa pahit terdengar, namun pernyataan objektif pasangan Inggris ini perlu kita terima dengan lapang dada,karena hal tersebut diakbiatkan ulah kita sendiri yang tidak mampu merawat dengan baik lingkungan DAS (Daerah Aliran Sungai) Cikapundung yang tak lain merupakan nadi sebuah kota Bandung.

 

Sebuah Sejarah dan Perjalanan

 

Suatu toponimi adalah nama dari tempat, wilayah, atau suatu bagian lain dari permukaan bumi, termasuk yang bersifat alami (seperti sungai) dan yang buatan (seperti kota). Penamaan beberapa sungai di Kota Bandung pada sejarahnya banyak mengambil dari nama-nama pohon yang tumbuh di alam sekitar wilayah tersebut, seperti  nama Sungai Citarum berasal dari kata tarum ‘Indigofera spec’ atau Tarum areuy ‘Marsedenia tinctoria R.BR’, ataupun Sungai Cikapundung, berasal dari nama sebuah pohon kapundung ‘atau (ke)mundung (terutama Baccaurea racemosa (Reinw.) Muell. Arg.; juga B. javanica dan B. dulcis) adalah pohon buah asam-manis seukuran kelereng (menteng dalam bahasa Indonesia) Sekilas buah menteng mirip dengan buah dukuh namun tajuk pohonnya berbeda.

Pohon Kapundung

Sedikit membayangkan bahwa  penamaan  nama Cikapundung mungkin diambil dari sebuah nama pohon kapundung yang berada di hutan Gunung Bukit Tunggul, karena  Sungai Cikapundung berasal dari mata air yang berada di Gunung Bukit Tunggul yang kemudian membentuk Outlet dan bersatu membentuk sungai Cikapundung.

Sungai ini mengalir melewati kawasan hutan lindung yang di dominasi oleh tumbuhan pinus dan kawasan perkebunan kina. setelah itu sungai mengalir menuju Kampung Cikapundung, lalu aliran sungai dilanjutkan sampai bertemu dengan anak sungai Cisarua di Desa Cibodas,kecamatan lembang dan anak sungai Cigulung di kawasan wisata Maribaya, yang terletak di Desa Langen Sari Kecamatan Lembang. Selanjutnya aliran sungai menuju ke kawasan Hutan Lindung Taman Insinyur Haji Djuanda atau bisa dikenal dengan kawasan Dago pakar, kemudian arah aliran sungai menuju ke arah hilir yang telah terdapat banyak pemukiman penduduk, yaitu Babakan Siliwangi,Melong,By pass sampai menuju ke arah desa Bojong Soang dan akhirnya bertemu dengan aliran sungai Citarum.

 

Potret kecil Cikapundung

 

Orang tua dulu banyak bercerita hingga tahun 1970-an, masyarakat sekitar pinggiran sungai Cikapundung masih menfungsikan aliran Sungai sebagai sarana kehidupan, banyak warga sekitar mempergunakan Cikapundung untuk mandi, mencuci,memancing dan tempat bermain anak-anak untuk berenang, sementara sumber -sumber mata airnya digunakan masyarakat untuk air minum,memasak dan berwudhu. Namun itu hanya cerita dulu,kenyataanya Sungai Cikapundung yang merupakan ikon kota Bandung pada masa sekarang sangat tidak terawat keadaanya,hal itu dapat dilihat dengan mata telanjang warna air sungai yang keruh kotor ataupun sampah rumah tangga yang banyak bertebaran di dasar sungai.

sampah cikapundung (Image:reza)

kebiasaan buruk membuang sampah ke sungai masih menjadi sebuah persoalan utama di bantaran sungai Cikapundung, dapat juga kita hirup DAS Cikapundung , hal ini mungkin di akibatkan banyaknya bakteri yang ada pada air Sungai Cikapundung, bagaimana tidak, pada perjalanan Aleut! mejelajahi Sungai Cikapundung (Start babakan Siliwangi) sampai Curug Dago, pada bantaran sungai banyak terdapat rumah-rumah warga yang padat dan berdempetan tinggal di sisi Sungai Cikapundung membelakangi sungai.

Berdempetan (Image: Dephol)

fakta tersebut mengambarkan bagaimana kotoran mahluk hidup manusia dapat dibuang sewaktu-waktu tanpa rasa tanggung jawab pada sungai, ataupun pada kasus lain jika melirik agak ke hulu Cikapundung, pencemaran Sungai Cikapundung oleh kotoran sapi sudah menjadi suatu masalah serius, sebagian besar limbah tersebut  yang berasal dari lembang kabupaten Bandung Barat dibuang langsung ke Cikapundung.

Belakang rumah (image: Reza)

Imbasnya sungai yang membelah Kota Bandung itu semakin kotor dan membahayakan kesehatan karena disinyalir tercemar bakteri E-Coli.Apalagi disinyalir air sungai Cikapundung yang tercemar tersebut, telah merembes kesumber sumber air bersih warga yang tinggal di dekat sungai.

 

Pelesiran Cikapundung sebagai Refleksi

 

Penanganan Sungai Cikapundung tidak dapat dilakukan secara parsial, tetapi harus dilakukan Berkesinambungan dalam program dari hulu ke hilir, selain hal itu juga, penanganan Cikapundung harus dapat melibatkan sebanyak mungkin intansi dan masyarakat, masyarakat bantaran sungai cikapundung sebaiknya di berikan suatu bentuk pengarahan bahwa sungai merupakan sumber kehidupan manusia dalam kehidupan,juga pentingnya budaya hidup bersih dan sehat yang belum dipahami secara merata oleh masyarakat sekitar.

Mengulat (Image: Dephol)

Bila di sederhanakan, masalah cikapundung adalah masalah sampah, jika tidak ditangani secara sungguh-sungguh, dalam waktu tahun-ketahun yang akan datang, kondisi Cikapundung akan semakin terpuruk. Sebenarnya banyak cara yang dapat dilakukan masyarakat Kota Bandung dalam mengingat,menjaga dan menghargai Sungai Cikapundung diantaranya menciptakan Sungai Cikapundung Sebagai tempat pelesiran, sedikit mengandai-andai apabila Sungai Cikapundung dijadikan tempat pelesiran yang dikemas secara menarik, sehingga banyak orang berduyun duyun ingin melakukan pelesiran Cikapundung, warga bantaran Sungai Cikapundung pun mendapat getah pemasukan lebih,entah dari makanan yang mereka jual,penginapan,ataupun keramba keramba ikan yang dapat mereka ternakan di sungai.

gotong royong (Image:dephol)

Yah munkin itu harapan  semata, namun fakta membuktikan  Pada Perjalanan bersama Aleut! Minggu (26/6)2011 bertema menjelajah Sungai Cikapundung- Curug Dago, banyak objek yang menjadikan perjalanan ini menarik untuk dijadikan wisata edukasi dan rekreasi ekonomis, diantaranya:

 

Pothole

 

Pada sekitar DAS Cikapundung, diantara daerah babakan Siliwangi dan Curug dago, dapat ditemukan beberapa  Pothole,Pothole adalah batuan pada dasar sungai yang berbentung lubang-lubang yang terbentuk melalui proses erosi,Awal dari proses pembentukan pothole, menurut von Engeln adalah sebagai berikut :

Ketika sungai mempunyai batuan dasar yang teksturnya tidak seragam, atau mempunyai kekar dan bidang lemah lainnya, maka sebuah cerukan kecil mungkin terbentuk karena erosi, atau akibat adanya bagian/framen yang terlepas. Cerukan ini selanjutnya dapat menjadi tempat berhenti sementara bagi butiran yang agak kasar yang tidak mampu diangkut arus. Butiran/fragmen ini tidak diam dan mengendap, tetapi tetap bergerak karena pengaruh arus, dan membentuk gerakan memutar. Gerakan memutar ini disebabkan kekuatan arus yang tidak cukup kuat membawa butiran tetapi cukup untuk mengangkat dan menggerakkan butiran ini. Proses ini yang memperlebar dan memperdalam cerukan awal, yang selanjutnya akan semakin banyak butiran/fragmen yang berhenti disini.

 

Terowongan Cibarani

 

welcome lorong (Image: Kuke)
dalam lorong (Image: Kuke)

Terowongan Cibarani dapat terlihat meyerupai Lorong dengan panjang kira-kira 100 meter  yang di buat pada masa Hindia Belanda, lorong ini dipergunakan sebagai saluran air Sungai Cibarani.pada tata letaknya, lorong yang tingginya 1,5 meter  dengan tinggi air selutut  ini menembus menerobos sebuah bukit batu sebagai  jalan aliran airnya. Pada ujung terowongan kearah barat laut, nampak terlihat bekas pelakat tertempel  dibangunya lorong sungai tersebut.

 

 

Watervang Cilimus

Watervang Cilimus (Image: Dephol)

Merupakan sebuah pintu air yang di buat Belanda pada masa penjajahan di Indonesia, terlihat pada plakat dengan nama Watervang Cilimus, sangat disayangkan sekali pintu air ini sudah tidak digunakan lagi sekarang, namun tetap saja bangunan ini berfungsi sebagai objek berfoto yang cukup menarik.

waterfall Cilimus (Image: Dephol)

 

Curug Dago

 

Terletak di ketinggian sekitar 800 m di atas permukaan laut, Curug Dago juga menyimpan jejak sejarah bagi Kerajaan Thailand. Tak jauh dari lokasi air terjun, terdapat dua prasasti batu tulis peninggalan sekitar tahun 1818. Menurut para ahli sejarah, kedua prasasti tersebut konon merupakan peninggalan Raja Rama V (Raja Chulalonkorn) dan Raja Rama VII (Pradjathipok Pharaminthara) yang pernah berkunjung ke Curug Dago.

Curug dago (Image: Dephol)

Tinggi air terjun ini memang tidak setinggi Curug Omas di obyek wisata Maribaya, yang memiliki ketinggian 35 meter. Curug Dago hanya memiliki ketinggian lebih kurang 10 meter. Namun karena terjunan air jatuh ke dalam sebuah rongga yang terbentuk oleh batu-batu besar sehingga suara gemuruh air sangat terdengar jelas dari kejauhan.

 

Sungai adalah nadi bumi, selamatkan Cikapundung!! Dengan semangat perubahan sebagai sikap kepedulian sosial terhadap salah satu ikon kota Bandung, penulis berharap munculnya kesadaran warga Bandung khusunya yang tinggal di sekitar bantaran sungai, agar memperlakukan sungai dengan baik, karena Bandung milik warga yang tinggal di Bandung, jika di analogikan seperti rumah kita sendiri, ada kalanya kitapun akan menjaga,membersihkan dan merawat rumah dengan baik karena rasa kepemilikan rumah,untuk itu mari menjaga Sungai Cikapundung, karena Bandung milik penduduk yang tinggal di Bandung.(Reza Ramadhan Kurniawan)

 

Plakat (Image: Dephol)

Sumber:

Hutagalung, Ridwan dan Taufanny Nugraha.(2008).Braga Jantung parijs van java.Bandung: Ka bandung

 

Muhammad Febryan Nugroho. 2011. Pothole Sungai Citarum. Dimuat di http://febryannugroho.wordpress.com/2011/02/26/pothole-sungai-citarum. Diakses: 26 Februari 2011.

 

Indra Kh. 2007. Curug Dago, Air Terjun yang Terlupakan. Dimuat di http://indrakh.wordpress.com/2007/04/09/curug-dago-air-terjun-yang-terlupakan.Diakses:  9 April 2007.

 

Sunda Samanggaran.2009. “BANDUNG“ NAMA POHON YANG TERLUPAKAN http://sundasamanggaran.blogspot.com/2009/08/bandung-nama-pohon-yang-terlupakan.html Diakses : 30 Agustus 2009

 

http://id.wikipedia.org/wiki/Menteng

Mapay Cikapundung

Oleh : Nia Janiar
Kali pertama saya dan Neni gabung di Komunitas Aleut, kami langsung basah-basahan dan sakit kaki karena jadwal ngaleut saat itu adalah menyusuri Sungai Cikapundung dari Sumur Bandung hingga Curug Dago. Kami bergaya ala Ninja Hatorri: Mendaki gunung, lewati lembah. Sungai mengalir ke samudra. Bersama teman berpetualang!
Teknis menyusuri sungai adalah begini:
1. Jalan di perkampungan di dekat sungai,

2. jalan di daerah aliran sungai,
3. jalan di atas pipa air bersih,

4. melewati gorong-gorong Ci Barani yang dibuat Belanda dan dipenuhi ekosistem laba-laba,

Foto oleh Ayu ‘Kuke’ Wulandari

Foto oleh Ayu ‘Kuke’ Wulandari

Foto oleh Ayu ‘Kuke’ Wulandari

5. melewati dan melawan arus sungai,

6. berupaya melalui jalan yang tertutup,

7. jembatan yang tidak aman,

8. melewati sawah,
9. berhenti di warung,

10. hingga akhirnya sampai juga di Curug Dago yang kotor dan berbau tidak sedap.

Perjalanan dilalui selama 5 jam. Padahal, jika menggunakan angkutan umum, mungkin hanya berkisar 10 menit dan jalan sedikit. Tapi jika kami naik angkot, maka tidak akan bisa melihat:
1. Pintu air,
2. arena adu burung,

3. pesantren,
4. jalanan yang melelahkan,

5. atau perumahan mewah di dekat pemukiman sekitar sungai.

Juga tidak akan ada adegan kebersamaan seperti tolong menolong ketika teman mengalami kesulitan menghadapi jalan yang licin atau terpeleset di atas batu kali. Dan jika menggunakan angkot, mungkin tidak ada sesi sharing yang bermakna seperti ini. Mungkin sharingnya hanya sekedar, “Gimana, apa kamu bisa duduk 7-5?”

Tak Kenal Maka Tak (Akan) Sayang

Oleh : Jana Silniodi

 

“Persahabatan bukan tentang siapa yg datang lebih dulu

Persahabatan bukan tentang siapa yang lebih lama kamu kenal

Sahabat adalah mereka yang datang dan tak pernah pergi dari sampingmu”

 

Kita terlahir di dunia sendirian, kemudian tumbuh dan berkembang di lingkungan kecil yaitu keluarga. Tahap selanjutnya adalah lingkungan bermain juga lembaga pendiikan baik formal atupun non formal. Manusia sebagai mahluk sosial tentunya bersentuhan dengan mahluk lainnya, dan menciptakan keharmonisan untuk menjaga kesimbangan, karena semua mahluk yang diciptakan oleh Sang Pengatur  tentunya didisain melengkapi.  Ini sedikit petikan pelajaran yang saya dapatkan dari perjalanan  bersama komunitas Aleut!

 

Titik awal ngaleut, sesi ini dibuka dengan penjelasan global kegiatan, tujuan serta perkenalan anggota. Begitu pun dengan hidup,  tujuan hidup nya mesti ada dan jelas, masalah rute, alur jalan itu akan bergantung dengan keadaan di lapangan, yang pasti jika tujuan jelas walapun di tengah jalan tersesat kita punya patokan finish ataupun start.

 

Pilihannya nanti adalah kembali ke titik awal perjalanan atau mencoba jalur lain sampai ke tujuan. Sesi perkenalan, ini awal untuk membuka diri kita kepada orang lain, kejujuran adalah dasarnya. Dari membuka diri maka orang lain pun tak segan untuk mengenal lebih jauh tentang kita, dan kita pun akan bertukar informasi dengan orang lain ini.

 

Perkenalan adalah awal pertemanan. kita harus mengenali  rekan perjalanan kita, itu penting. Saat tersesat orang seperjalanan itulah yang akan mendampingi kita nanti, bukan orang tua, pasangan, ataupun sahabat karib kita yang nun jauh di sana.

 

Dan perjalanan pun dimulai, beriringan, berdampingan, semua memiliki tugas dan bagiannya masing-masing. Orang terdepan bukalah pemimpin, orang yang ditengah bukanlah pejabat penting, begitupun orang yang dibelakang bukanlah sang pengikut setia. Kita satu tujuan dan saling berbagi,  berpegangan tangan  dan merapatkan ikatan pertemanan.  Terima kasih untuk para pegiat aleut! jabat erat tanpa menjerat.

EKSOTIKA CIKAPUNDUNG


Oleh : Hikmah Nur Insani

Sekitar 2 minggu yang lalu bersama KOMUNITAS ALEUT saya menyusuri Sungai Cikapundung. Sungai ini mempunyai tempat tersendiri bagi warga bandung dan sekitarnya. Kesan yang dirasakan mungkin ada yang sedih maupun menyenangkan. Bagi saya, ini pertama kalinya melihat Cikapundung lebih dekat. Biasanya saya hanya melihat ketika melewati Jalan Siliwangi dan Tamansari. Ketika pertama kali tinggal di bandung saya mendengar dan melihat sendiri bahwa Sungai Cikapundung merupakan salah satu tempat pembuangan samaph terbesar secara tidak langsung di Bandung. Begitu banyak sampah yang mengalir di sungai ini. Rasanya pantas jika bandung pernah dinobatkan sebagai kota terkotor dengan embel-embel sampah yang menumpuk.

Statement diatas berbanding terbalik ketika saya menyusuri Sungai Cikapundung lebih dekat. Saya dan komunitas aleut mulai dari kawasan Asia Afrika. Di sana ada bekas tempat makan mewah yang di kunjungi orang-orang elit pada jaman nya dan di sana ada bekas dermaga perahu yang bisa menyusuri Sungai Cikapundung dulu. Dermaga itu masih bagus dan kalau pemkot bandung merenovasinya, bisa jadi tujuan wisata baru. Tapi rencana itu tidak dapat terlaksana dengan baik kalo situasi Sungai Cikapundung masih dipenuhi dengan sampah. Terkait hal itu, ketika sampai di daerah kelurahan Tamansari, rencana itu 70% bisa terjadi kalau warga sepanjang Cikapundung dari Curug Dago – ujung Cikapundung seperti warga di kelurahan taman sari ini. Saya sangat terkesima dengan kekompakan warga Tamansari. Ketika sampai di sana, saya melihat dari kejauhan banyak anak-anak berenang, memancing, main ban, dan lainnya di sana.

Saya menikmati suasana itu, jarang sekali di kota besar seperti Bandung masih ada yang menikmati sungai seperti itu. Ada salah satu pemuda yang menghampiri saya dan bercerita bahwa setiap hari sabtu pasti diadakan kegiatan seperti ini. Biasanya bergiliran antara anak-anak, bapak-bapak, dan ibu-ibu. Saya sangat kaget ketika tau ibu-ibu juga berenang di cikapundung. Semua warga antusias untuk berkumpul di sisi sungai. Dan salah satu fakta unik lagi saya temukan, tujuan anak-anak disuruh berenang juga untuk mengambil sampah dan hasilnya nyata, di Cikapundung jarang sekali ada sampah sekarang.

Selain terkesima dengan kecintaan warga Tamansari, saya juga berpikir bahwa Cikapundung bisa dijadikan seperti kota Venice, Italy. saya sadar akan hal ini ketika melihat jepretan bang Ridwan , rumah-rumah dan suasana di snaa tampak klasik. Rumah-rumah yang dulu membelakangi sungai sekarang diubah menghadap sungai agar Cikapundung seperti dulu lagi. Mungkin pemerintah kota BANDUNG bisa serius untuk mengubah Cikapundung. Ada rencana ultah Bandung di 2011 akan menyusuri cikapundung dengan perahu, semoga saja itu benar dan Cikapundung bersih sebersih-bersihnya. Impian saya pribadi mengenai cikapundung adalah menjadikan cikapundung layaknya VENICE yang eksotis dan klasik. Tulisan diatas adalah hasil pikiran saya yang semoga saja terwujud, mari kita sama-sama jaga Cikapundung karena sungai adalah sumber kehidupan manusia. Dan pada akhirnya EKSOTIKA CIKAPUNDUNG pun terwujud.

original post : http://hikmahinzaghi.tumblr.com/post/2605396380/eksotika-cikapundung?ref=nf

The Journey Across The River (Artinya : Ngaleut Cikapundung)

By : M.Ryzki Wiryawan
“Perjalanan ini… terasa sangat menyedihkan… Sayang kau tak duduk, di sisiku kawan..”

Itulah sepenggal lirik gubahan Ebiet G. Ade yang sangat tepat menggambarkan kondisi perjalanan Aleut kali ini. Tapi yang lebih tepat adalah lagu gubahan Papa T. Bob yang dinyanyikan oleh Joshua :

“Diobok-obok airnya diobok-obok…”

Kira-kira anda tahu sendiri lah kenapa saya memilih ungkapan dua lagu di atas…

Perjalanan Dimulai

Malam itu suasana hening,, tapi saya tak kuasa memejamkan mata karena satu alasan : Teu ngantuk ! Akhirnya saya memutuskan untuk begadang, siapa tahu begadang ini akan menghasilkan suatu manfaat di kemudian hari…

Pagi2nya entah kenapa datanglah satu-persatu orang ke rumahku, hingga akhirnya mencapai jumlah 27 orang-an, saat saya tanya mereka ternyata mereka hendak melakukan perjalanan ke Cikapundung. Dalam hati saya berpikir “Apakah yang ada di benak orang2 ini sehingga tertarik untuk menyusuri sungai kotor bin rujit yang bernama Cikapundung ?” tapi setelah saya tanya lagi dari komunitas mana mereka berasal, mereka menjawab dari “Klab Aleut”, saya langsung memaklumi tindakan aneh mereka… Klab ini memang paling suka melakukan perjalanan yang di luar batas nalar manusia normal… Saya pun memutuskan untuk gabung…

Titik perhentian pertama adalah sebuah Toko serba ada yang bernama “Circle K”, didirikan di sekitar tahun 2007-2008, dengan arsitek yang tidak diketahui, dan lokasinya menempel pada sebuah rumah bergaya kolonial “Boekittinggi” yang gayanya khas. Di sini peserta dapat melengkapi barang2nya untuk melanjutkan perjalanannya…

Titik pemberangkatan, “K” di sana melambangkan singkatan Klab Aleut…

Di kawasan yang disebut “Angker” oleh paranormal “Pak Leo”, kami menuruni jalan menuju aliran sungai cikapundung di daerah siliwangi. Perlu diketahui bahwa sungai Cikapundung ini dikenal sebagai sungai terpanjang di dunia karena membelah Asia-Afrika, terutama di daerah alun-alun Bandung.

Kami menuruni jalan yang terjal, kemudian naik lagi, kemudian turun lagi, dan begitulah kondisinya berulang hingga mencapa Curug Dago nanti. tetapi yang membuat seru adalah, dalam perjalanan ini kita melewati tidak hanya alam, melainkan juga perkampungan urban sisi sungai yang bisa kita amati kondisi sosialnya. Bagaimana keadaan sanitasi mereka, penataan raung mereka hingga aktivitas sosial mereka. Cukup bagus untuk melatih kepekaan sosial kita. Bahkan seorang anggota Klab Aleut tak kuasa menahan rasa penasarannya untuk mengetahui isi MCK di perkampungan tersebut. Padahal isinya gak akan jauh2 amat dari suatu aktivitas rutin manusia,,,

Rasa penasaran membawa bencana, jangan ditiru !

Sampailah kita di suatu lorong buatan Belanda bernama Terowongan Cibarani. Lorong ini lurus menembus sebuah bukit, dengan tinggi kira-kira 1,5 meter, dan ketinggian air di dalamnya selutut. Tidak ada yang menempati gua ini kecuali laba-laba, dan memang tidak ada maksud untuk ditempati siapapun, karena tujuan pembuatan gua ini adalah sebagai saluran air semata.

Kami melalui terowongan ini dengan tertatih-tatih, dengan suasana pengap dan gelap, entah apa yang menanti kita di dalam, beberapa teman dan saya yang tidak memakai sendal cukup khawatir dengan serpihan beling yang mungkin terserak di dalam terowongan. Tetapi kekhawatiran tersebut terbukti tidak terjadi. Kami dapat melalui gua dengan selamat sentausa. (Punten fotonya ngmbil dari koleksi orang..)

Para penghuni terowongan Cibarani

“Sueger Tenan !”…

Dari sini kita melanjutkan perjalanan ke sebuah Pintu Air buatan belanda bernama Watervang Cilimus. Pintu air ini tidak lagi berfungsi, tetapi bagi kami tetap saja bangunan ini berfungsi sebagai objek berfoto yang cukup menarik.

Tanpa banyak menghabiskan waktu, para Pegiat Aleut bergegas melanjutkan perjalanan, “CaaaP CUuuuuSSss !”

Kali ini kita sampai di sebuah PLTA Tanggulan, yang lagi-lagi dibangun Belanda. Di tempat inilah, kami harus melewati sebuah jembatan yang dibuat dari tong-tong bekas. Sungguh mengharukan…

Kami harus menyebrangi aliran air keluaran dari PLTA tadi. Beberapa rekan : Adi, Yanto dan Budi” langsung sigap menyiapkan tali guna membantu peserta menyebrangi aliran sungai. Hingga tibalah saatnya bagi saya untuk menyebrangi aliran air tersebut. Entah apa yang ada di benak saya, sehingga saat tiba di tengah-tengah aliran, mungkin akibat pengaruh begadang dan kesalahan teknis, tubuh ini kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke belakang. Alhasil, sepatu, celana dan baju saya ikut terendam bersama isi-isinya… PEristiwa ini menjadi pemandangan yang cukup menarik bagi para pegiat , sayangnya tidak ada siaran ulang, hahaha…. Untunglah dompet dan hp saya selamat, walau celana basah hingga ke dalam-dalam. Setidaknya ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil :

1. Jangan begadang sebelum perjalanan jauh, karena akan mempengarhui kondisi psikhis anda.

2. Bawalah pakaian ganti di setiap perjalanan alam, karena tidak ada factory Outlet yang buka di kawasan ini.

3. Jagalah keselamatan anda, hati-hati, jangan maceuh ! Bahkan saya yang cukup berpengalaman ngaleut selama bertahun-tahun bisa saja mengalami insiden tersebut. Intinya : Tidak ada manusia yang sempurna, yang sempurna cuma Tuhan dan Rokok.

CihuYYYyy !!

Dengan kebasahan yang amat sangat, saya melanjutkan perjalanan ke Curug Dago, dengan singgah sejenak di warung awi, sekalian menjemur celana supaya tidak masuk angin.

Mengenai curug dago ini, sudah saya bahas dalam karya saya sebelumnya yang membahas survey aleut menyusuri sungai Cikapundung (hehehe, bilang aja males nulis)
Sayangnya aliran curug ini tidak sederas terakhir kami ke sini, mungkin akibat pengaruh cuaca.

Yah, di tengah hari ini mulai terdengar suara demonstrasi dari dalam perut, pertanda cacing2 tengah protes menuntut pemenuhan konsumsi. Baiklah, saya dan pegiat lain mulai membuka bekal masing2, ada pula yang belanja di tempat. Terlihat beberapa pegiat menyuapi pegiat yang lain, sungguh romantis tetapi miris bagi pegiat lain, hahaha

KISAH ARI – ARI SANGKURIANG

Di tengah2 perjalanan pulang, di suatu warung yang lalu, saudara Taufanny terpikat oleh seorang wanita kembang desa bernama Bu Euis,, tanpa banyak tanya, ia langsung melakukan pendekatan dengan menanyakan “Bu, nami kampung ieu teh naon?”. gayung bersambut, pertanyaan tersebut menuai penjelasan panjang lebar mengenai asal nama kawasan tersebut “sanghiang santen” , ternyata berasal dari eksistensi situs bebatuan yang dipercaya sebagai titisan ari-ari sangkuriang yang legendaris.

Sang Kembang desa tengah berkisah

Tidak banyak yang mengetahui sejarah batu-batu mistik ini, bahkan penduduk sekitar. Kurangnya kepekaan sejarah membuat situs ini tidak terpelihara, sebuah batu bahkan ditimpa meja, dan lainnya ditembok serta dikeramik, memang kreaif, tetapi tidak solutif…

Setelah cukup lama menginterogasi Ibu Euis, para pegiat pun melanjutkan perjalanan pulang, dengan melalui jalanan yang menanjak sekitar 45 derajat. Buset !

Ahh,, akhirnya tiba di sumur bandung 4, setelah melakukan sharing singkat, para pegiat pun pulang ke rumah masing-masing,, Beberapa pegiat meluangkan waktu untuk jajan batagor bersama. Anehnya, tepat setelah matahari terbenam, entah kenapa saya tiba2 tidak sadarkan diri,, semuanya gelap…

Potret Kondisi Perkampungan Urban

Menyusuri Cikapundung Part I (03.05.09)

By : Natasha Dilla A Wijayabrata
“Malam ini aku harus tidur cepat”, pikirku setelah menunaikan ibadah solat isya. Terdengar ketukan seseorang di pintu kamarku. Ternyata ibuku. “Mau dibikinin apa buat besok?”, tanya beliau. “Emm.. apa aja lah!”, jawabku sekenanya. Tiba-tiba ibuku mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan dari dompetnya, “Nih, beli makanan kecil atu jig di Alfa buat besok!”. Segera aku melompat dan menyambar lembaran uang kertas tersebut dari tangannya.

Air mineral, sebotol Love Juice, keripik Lays, kue kesukaan widi (kebetulan aku juga suka), dan permen adalah beberapa item yang kubeli untuk perjalanan aleut besok. Besok, kami akan menyusuri Sungai Cikapundung, mulai dari Babakan Siliwangi sampai Curug Dago.

Setelah menyetel alarm di hape, aku segera memejamkan mata.

Terdengar alunan musik ”Dew” dari hapeku. Aku bangun dari tempat tidur dan hendak memasak air panas untuk mandi. Sesampainya di dapur, aku melihat ada seseorang yang telah mendahului niatku itu. Ibuku yang melakukan hal itu rupanya. Tanpa basa-basi, aku segera kembali ke kamar, tidur lagi…. Zzzzz.

Pukul lima subuh, aku mandi. Setelah sarapan ala kadarnya, aku berangkat menuju Sumur Bandung Straße Nummer vier. Di depan jalan, terlihat chaching sudah menungguku ditemani ayahnya. Setelah berbasa-basi mengenai keterlambatanku, kami segera menyetop angkot menuju kediaman sang koordiantor aleut.

Terlihat sekumpulan orang memenuhi halaman kediaman sang koordinator. ”Assalammualaikum.” teriakku ketika sampai di dekat kerumunan tersebut. ”Dik, dari Unpad ya?” kelakar Bang Ridwan, salah seorang dari kerumunan tersebut. ”heheh.. iya, Pak” jawabku singkat.

Kami dikumpulkan dalam sebuah lingkaran kecil di halaman rumah Ayan, koordinator Aleut. Berdoa adalah hal yang wajib dilakukan sebelum mengerjakan sesuatu. Kamipun berangkat menuju tujuan pertama, ”Circle K”. Bagi teman-teman yang hendak membeli perbekalan, sekaranglah saatnya. Setelah sempat berfoto di depan halaman ”Circle K”, kamipun capcus melanjutkan perjalanan kami.

Tiba di jembatan Babakan Siliwangi, sempat kami berhenti untuk memilih jalan mana yang akan kami tempuh. Jalur kanan sungai adalah jalur yang kami pilih saat itu. Dalam penglihatanku, jalan itu terlihat agak licin. Aku membiarkan Mete jalan di depanku agar bisa ”membimbing”ku ke ”jalan yang benar”. Sesekali aku menyibakkan dedaunan yang menghalangi jalanku. Di depan kami, jalan turunan menghadang. Wah ”ujian pertama”, pikirku dalam hati. Sempat terlintas pikiran untuk ”menyerah” di dalam benakku. Untunglah pikiran tersebut tidak bertahan lama di benakku (maenya we karek ge sakieu geus menyerah, heu). Segera aku menyambut tangan Mete yang sudah menjulur sedari tadi hendak membantuku menuruni turunan tersebut. ”Pake dua tangan ahh!” pintaku padanya seraya menjulurkan kedua tanganku. HAP! Aku meloncat sekuat tenaga. Aku mendarat dengan sukses di dataran tanah basah yang agak licin. Kemudian satu-persatu, pegiat aleut yang lainnya melakukan hal yang sama. Aku tidak menyangka masih ada pemandangan seperti ini di kota besar seperti Bandung. Sawah-sawah, kolam kecil, WC yang hanya ditutupi karung. Pokoknya desa banget deh!

Sampailah kami di sebuah sungai dengan aliran kecil, Sungai Cibarani, begitulah sungai itu disebut. Setelah mendengar sedikit penjelasan tentang sungai tersebut (sebenarnya aku ga ngedenger, da ga kedengeran, hehe), Bang Ridwan memberi pilihan kepada kami semua. Apakah kami akan melanjutkan perjalanan melalui jalanan kering, atau berjalan kukucuplakan, nganclum di sungai yang memiliki terowongan, lebih tepatnya saluran air berupa terowongan mirip gua kecil. Kami semua sangat tertarik untuk melewati terowongan tentu saja. Selain penasaran, manusia kan paling suka maen aer ato ga maen api. Aku sangat ingin kukucuplakan, tapi aku sempat dihinggapi ketakutan kacugak beling, karena perjalanan melalui terowongan air ini, mengharuskanku membuka sepatu, karena aku embung sepatu aku kebasahan. Setelah diyakinkan oleh Bang Ridwan bahwa di sungai ini tidak mungkin ada beling, akupun yakin untuk kukucuplakan. ”Bismillah.” Ternyata kekhawatiranku memang tak menjadi kenyataan. Aku berhasil sampai di ujung terowongan dengan selamat. ”Alhamdulillah.” aku memuji Allah SWT. Di ujung terowongan, aku sempat berfoto untuk bukti bahwa aku pernah melewati terowongan saluran air Sungai Cibarani. Mungkin penghuni tunggal terowongan tersebut sempat mengeluh karena sarangnya agak rusak oleh kami. Yup! Spider webs melintang di sepanjang langit-langit terowongan tersebut.

Perjalanan kami lanjutkan di sisi kiri sungai Cikapundung. Banyak lumpur juga ternyata. Kakiku terjerembab ke dalam lumpur yang untungnya tidak terlalu dalam. Tapi sepatu dan kaos kakiku menjadi korban dari lumpur tersebut, KOTOR! (untung kaos kakinya murah, dapet beli di Paun, hehe). Walaupun begitu, kotor tidak menjadi masalah buatku. Akhirnya sampailah kami di pintu air Limoes ya kalo ga salah. Setelah sempat berfoto-foto, satu-persatu dari kami menaiki tanjakan dengan bantuan seutas tali yang telah dipersiapkan oleh salah seorang dari kami. Sesampainya di atas, kami tak kapok untuk berfoto kembali (iraha deui). Persawahan menyambut kami kembali, setelah sebelumnya kami melewati komplek perumahan yang lumayan bagus. Aku sempat bingung bagaimana cara mereka menembus jalan raya dari sini, karena melihat track yang tadi kami lalui, rasanya sangat mustahil jika mereka melewati track yang kami lalui jika ingin ke kota (kabayang!). Tapi ternyata, ada jalan keluar masuk yang bisa dilalui kendaraan. Oohhh….

Setelah melewati sengkedan-sengkedan, kami bertemu kembali dengan Sungai Cikapundung, kali ini kami melewati jalur disebelah kanannya. Beberapa puluh meter kemudian, kami diharuskan menyebrangi jembatan yang dibuat dari drum-drum minyak bekas (sungguh memprihatinkan). Dilanjutkan dengan melawan arus sungai dibantu dengan seutas tali yang akan membantu menjaga keseimbangan kita. Satu-persatu dari kami melewatinya dengan sukses. Giliranku tiba. Yeay Yippie suksess!! Tetapi hal itu berbanding terbalik dengan teman yang berada tepat di belakangku. Sungguh ironis. Dia tigujubar ke sungai. Entah apa yang membuatnya tigujubar. Air sungai menenggelamkan tubuhnya, dan hanya menyisakan kepalanya. Semua yang dipakai dan dibawanya basah kuyup. Gelak tawa semua pegiat aleut yang melihat kejadian tersebut berhamburan, seakan tak peduli dengan kemalangan yang menimpa salah seorang dari rekan mereka. Tetapi sesungguhnya aku sedih (sedih atau terhibur? Yah, beda-beda tipislah, peace!). Mengapa dia harus mengalami hal yang malang untuk kedua kalinya, heuheu. Untung hape-nya ga rusak lagi. Tak perlu kusebut siapa orangnya. Karena semua sudah tau bukan siapa orangnya. Bahkan malaikat juga tau.

Sampailah kami di warung, yang jika dihitung, itu adalah warung yang ke…. berapa ya? Aku lupa. Beristirahat sejenak dan jajan adalah tujuan utama kami berhenti di warung tersebut. Beberapa dari kami ada yang duduk selonjoran, jajan, minum, ngopi, dan ada juga yang moé awak dan baju yang basah akibat tigujubar di walungan. Perjalanan dilanjutkan….

Singkat cerita, sampailah kami di Curug Dago. Ada pemandangan yang tidak enak buatku ketika sampai disana. Para remaja SMP, istilah sekarang sih ABG, terlihat duduk-duduk di sebuah Gazeebo, asumsiku sih mereka lagi bobogohan. Miris uy ngeliatnya. Mereka kan belum cukup umur untuk bobogohan. Yang lelaki merangkul perempuan di sebelahnya. Ga enak deh ngeliatnya. Males. Yasudlah.

Untuk mencapai curug ini, kami harus menuruni dan menaiki berpuluh-puluh tangga. Kondisinya sangat buruk. Licin, tidak ada pegangan, sangat tidak aman bagi siapapun yang menggunakannya. Di anak tangga terakhir, kami disambut oleh prasasti batu yang bertuliskan aksara Thailand di atasnya. Konon, tempat ini pernah disinggahi oleh Raja Chulalonkorn (Rama V) dan Pangeran Prajathipok Paramintara (Rama VII) dari Thailand. Prasasti ini lumayan terawat, karena dibangun bangunan beratap mirip Gazeebo dan kaca sebagai dinding di sekelilingnya. Di salah satu sisi kacanya, terdapat tulisan yang memberitahukan bahwa tempat itu pernah disinggahi oleh raja dan pangeran Thailand. Ada tiga bahasa kalo ga salah, bahasa Thailand, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris. Sayang sekali, suasana yang didapat kurang begitu dramatis. Curug Dago berkesan biasa saja. Padahal menurut beberapa pegiat aleut yang sebelumnya pernah kesini, ketika itu mereka disuguhi kabut dan embun di sekeliling Curug Dago. Mungkin karena pada perjalanan kali ini, kami ditemani udara yang cukup panas, maka suasana dramatis yang kuharapkan tak muncul pada saat itu. Debit air yang jatuh dari ataspun terlihat kecil.

Saatnya membuka bekal. Waktu makan telah tiba. Tempat yang dipilih untuk makan siang cukup unik, yaitu di pinggiran sungai yang kering. Kabayang mun ada air bah, bisa-bisa kami semua tersapu oleh derasnya air bah, tapi moal mungkin. Sebagian dari kami yang tidak membawa bekal dari rumah, dengan terpaksa membeli makanan yang ada di warung yang tak jauh dari tempat kami makan. Tempatnya PW kata aku mah. Jadi betah diem lama-lama disitu. Tapi kami tak bisa berlama-lama. Segera setelah santap siang dan sedikit ngaso, kami semua beranjak pergi meninggalkan tempat tersebut.

Dalam perjalanan pulang, pemandangan yang disuguhkan tidak jauh berbeda dari pemandangan-pemandangan sebelumnya. Suasana pedesaan masih setia menemani kami. Rumah-rumah penduduk yang sangat padat kembali menyambut penglihatan kami. Ada kisah unik pada saat perjalanan pulang. Kami menemukan sebuah batu, sebenarnya ada tiga buah, yang dipercaya oleh penduduk sekitar sebagai jelmaan dari bali Sangkuriang (”bali” dalam bahasa Indonesia berarti tali pusar). Kondisi situs itu sangat memprihatinkan. Terdapat di dalam rumah warga. Salah satu batunyapun sudah raib tertimbun ubin rumah. Bahkan sang empunya rumah tersebut tidak mengetahui kisah dibalik batu-batu tersebut. Merupakan kisah yang mungkin tidak banyak orang yang tau.

Tibalah kami di Jalan Kiputih, daerah Ciumbuleuit. Dari situ, kami menyewa angkot untuk kembali ke kediaman koordiantor aleut di Jalan Sumur Bandung Nomor 4. Dua angkot sewaan segera meluncur menuju Sumur Bandung. Tiba disana, kami berbagi kesan-kesan selama perjalanan.

Akhirnya sampai juga di rumah tercinta. Cape. Pengen mandi aer anget. Setelah mandi, kusempatkan diri untuk menyembah Sang penguasa alam. Setelah itu, aku tak sadarkan diri di kasur. Saat kubuka mata, waktu menunjukkan pukul setengah tujuh. Linglung. Aku pikir sudah pagi.

Sungguh perjalanan yang mengesankan….