Bandung Lautan Api (Ketika Mundur Menjadi Langkah Sebuah Perlawanan)

Oleh: Puspita Putri (@Puspitampuss)

Minggu, 24 Maret 2019, satu hari setelah peringatan peristiwa Bandung Lautan Api ke-73. Aku bangun sejak dini hari lalu bergegas menuju kamar adikku untuk membangunkannya. Seperti biasa, Minggu pagi adalah saat untuk aku berkegiatan rutin sejak pertengahan Februari lalu, ngaleut. Kali ini aku mengajak adikku yang padahal sedang ujian sekolah. Tapi, biarlah, biar hari minggu tidak hanya dia habiskan untuk tidur atau bermain saja, tapi juga berolahraga, mencari pengalaman baru, bertemu orang-orang baru, dan paling penting juga, belajar. Karena adikku susah dibangunkan, kukira dia batal ikut, jadi aku bersiap saja sendiri, namun, setelah aku selesai mandi ternyata dia bangun dan ikut bersiap-siap. Kami berangkat agak mepet, aku menyuruhnya memakai sepatu tapi tidak dihiraukan hingga akhirnya dia hanya memaki flat shoes. Tak apa sih, biar dia merasakan dulu saja bagaimana ngaleut kali ini.

image

(Foto 1- Foto peserta Ngeleut BLA depan SD ASMI (stilasi ke-9))

Titik kumpul kali ini ada di Landmark Braga, aku agak bingung antara Landmark dengan Braga City Walk (BCW), hingga akhirnya aku parkir di depan BCW dan agak lari-lari ke Landmark karena acara sudah mau dimulai. Seperti biasa, acara ngaleut selalu diawali dengan perkenalan tiap orang, karena adikku belum mendaftarkan diri, ia mendaftarkan diri dulu baru setelah itu ikut bergabung dan memperkenalkan diri seperti yang lainnya. Hari itu cukup banyak peserta yang ikut ngaleut, dari yang baru memulai hingga keluarga yang kumplit beserta anak-anaknya.

Setelah berkenalan, Irfan sebagai moderator hari itu memberi tahu bahwa akan ada beberapa orang yang menjadi pemateri untuk hari itu selain dirinya, yaitu Aip, Upi, dan Ervan.  Irfan kemudian menjelaskan tentang bagaimana Kota Bandung dulu, ketika Sekutu yang diboncengi NICA (Netherlands Indies Civil Administration) mulai datang ke Bandung. Ketika itu, supaya menghindari banyaknya warga sipil yang menjadi korban saat keadaan belum stabil pasca kemerdekaan di mana Bandung menjadi kota yang sangat ramai dengan orang-orang bersenjata, wilayah Bandung terbagi menjadi dua, di sebelah utara yang dihuni oleh Belanda dan Sekutunya, serta sebelah selatan yang dihuni oleh warga pribumi. Rel kereta yang membentang dari Cimahi sampai ke daerah Sumedang yang terlihat dari Landmark ditunjuk oleh Irfan, katanya, rel tersebut adalah pembatas wilayah utara dan selatan kala itu, berbeda beberapa meter dengan batas pembangunan masa kolonial yang juga berfokus di wilayah utara yaitu Jalan Raya Pos (sekarang Jalan Asia-Afrika) yang merupakan bagian dari jalan yang membentang dari Anyer sampai Panarukan.

Sebelumnya, diceritakan bahwa Bandung ketika itu dipenuhi oleh berbagai laskar yang dibentuk oleh para pemuda; juga para tentara. Kala itu mulai datang tentara Inggris dengan tujuan untuk mengevakuasi warga Belanda yang ada di Bandung, membebaskan warga Belanda dari kamp interniran serta melucuti dan memulangkan tentara Jepang yang masih tersisa di Bandung. Ada satu hal yang unik dari cerita Irfan kala itu, yaitu tentang sebutan para pemuda Kota Bandung, katanya, dulu ketika Jepang dinyatakan kalah dalam Perang Dunia kedua, pemuda Bandung melakukan perlawanan, seperti di daerah-daerah lainnya di Indonesia, melucuti senjata tentara Jepang. Namun, tak seperti keberhasilan di beberapa daerah, di Bandung hal tersebut mengalami kegagalan, akhirnya senjata yang sudah dirampas mereka kembalikan ke tentara Jepang dan pemuda Bandung mendapatkan julukan “Pemuda Peuyeum Ball,” yang sepertinya juga masih digunakan untuk menyindir peristiwa Bandung Lautan Api, ketika warga Bandung memilih untuk mundur, meninggalkan kota sesuai dengan komando Sekutu.

Setelah pembukaan dengan cerita yang cukup panjang, kami mulai berjalan ke titik berikutnya. Sebetulnya, nagleut kali ini kita akan lebih menyusuri stilasi-stilasi Bandung lautan Api yang dibuat oleh Sunaryo bekerja sama dengan Bandung Heritage. Stilasi berbentuk segitiga dengan bunga Patrakomala di atasnya ini tersebar di 10 titik di Kota Bandung. Stilasi pertama ada di daerah Dago, di depan bekas kantor berita Domei di mana pertama kali Proklamasi diperdengarkan kepada warga Bandung, karena terlalu jauh, kami tidak memulainya dari sana.

Titik pertama dimulai di stilasi kedua, di depan Bank Jabar Banten (ex-Bank Denis), bangunan bergaya art deco yang ada di jalan Braga. Di sana Ervan yang gantian bercerita, katanya dulu terjadi berbagai pertempuran dan aksi tembak-tembakan di sekitar Bandung antara laskar-laskar pemuda maupun TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dengan tentara Sekutu. Di ex Bank DENIS sendiri, dulu pernah terjadi perobekan warna biru dari bendera Belanda oleh pemuda Bandung. Aku baru tahu, bahwa perobekan bendera tidak hanya terjadi di Hotel Yamato, Surabaya saja, di Bandung juga terjadi hal serupa, bahwa pemuda Bandung juga adalah pejuang yang penuh keberanian, bukan pemuda peuyeum ball seperti kata orang-orang. Di sana Aip juga menambahkan beberapa peristiwa dan kejadian di sekitar Bank DENIS dan sekitarnya, sebelum kita berangkat ke titik berikutnya, di jalan Asia Afrika.

image

(Foto 2-Ervan ketika menjelaskan peristiwa di depan ex-Bank DENIS.)

Di titik kedua, stilasi ketiga kami berada di seberang Alun-alun Bandung, katanya dulu di situ terdapat markas TKR sebelum dipimpin oleh A.H. Nasution. Tidak lama dan tidak banyak yang diceritakan, berikutnya kami lanjut ke titik ketiga, stilasi ke-6 di Jalan Dewi Sartika, disitu Upi yang gantian bercerita bahwa dulu disana adalah markas komando Divisi III Siliwangi dibawah pimpinan A.H. Nasution. Disana juga diceritakan bagaimana sebelumnya divisi tersebut dipimpin oleh Omon Abdurrachim yang kemudian menolak perintah dari TKR pusat untuk mengamini komando sekutu untuk mundur 10-11 KM ke selatan Bandung, lalu beliau memilih untuk menyerahkan jabatannya ke A.H. Nasution dan bergabung dengan laskar para pemuda Bandung yang kemudian merumuskan peristiwa Bandung Lautan Api di stilasi ke-4, di Jalan Simpang.

Kami sedikit back track untuk mencapai titik berikutnya, stilasi ke-4 dan sayang sekali kami tidak bisa melihat langsung stilasi tersebut karena tertutup oleh pagar rumah. Kami pun melanjutkan perjalanan ke titik berikutnya di stilasi ke-5, depan SD Dewi Sartika. Dulu, SD tersebut merupakan sebuah dapur umum untuk para TKR dan para pemuda pejuang dari berbagai Laskar. Dapur umum ini diurus oleh Laswi (Laskar Wanita Indonesia) yang berisi para pemudi yang ikut berjuang di garis belakang, selain di dapur umum, para wanita ini juga ikut ke dalam pertempuran untuk menjadi pejuang medik, kalau kata Aud seperti Sakura, ninja medik di film Naruto. Upi menceritakan pula bahwa kala itu meskipun sebagian besar Laswi bergerak di garis belakang namun ada seorang tokoh bernama Willy, yang ikut berjuang ke garis depan, membunuh tentara Gurka dengan memotong kepalanya dan membawanya sebagai kebanggaan serta bentuk kesetiaannya pada Laswi.

Dari situ kami bergerak ke titik berikutnya, melewati Alfamart dan beristirahat serta membeli beberapa minuman dan makanan, di titik berikutnya, kami melewati Jalan Lengkong, di mana dulu sempat menjadi daerah yang mendapati serangan udara dari Sekutu karena menjadi salah satu pusat konsentrasi para pejuang dan pemuda di Bandung. Stilasi ke-7 ada di dalam sebuah perumahan di Jalan Lengkong Tengah, dulu katanya perumahan ini merupakan salah satu kamp tahanan Belanda yang ada di wilayah selatan.

Bergerak ke titik selanjutnya, stilasi ke-8, kami berhenti di depan sebuah gang yang diduga menjadi jalur komando yang digunakan para pemuda ketika terjadi pertempuran Lengkong yang kemudian bersambung ke stilasi ke-9, SD ASMI yang dulunya merupakan markas dari Pesindo. Di antara stilasi ke-8 dan ke-9 kami berpapasan dengan tukang Tahu Bulat yang kemudian beberapa dari kami berhenti untuk jajan, juga aku dan Aud yang kemudian berfoto di belokan.

image

(Foto 3 – Aku dan Aud berfoto di belokan)

Di stilasi ke-8 dan ke-9 diceritakan bahwa Pesindo merupakan gabungan dari 9 laskar pemuda sayap kiri yang kemudian manjadi sangat besar dan berjuang bersama laskar pemuda lainnya seperti Hizbullah, Laswi, Pemuda Banteng dan lainnya.Dari sini aku belajar bahwa meskipun dalam perjalanan pasca kemerdekaan ini kemudian terjadi selisih paham dan ideologi, namun saat itu para pemuda Bandung dengan berbagai latar belakang dan ideologi yang berbeda-beda, mereka bersama-sama menghimpun kekuatan di berbagai pertempuran dan perjuangan untuk mempertahankan Bandung, termasuk juga dengan cara melakukan pembakaran objek-objek vital dan beberapa bangunan di Bandung sebelum mundur agar bangunan-bangunan tersebut tidak dapat digunakan oleh sekutu ketika mereka mundur 10-11 KM ke arah Selatan, meninggalkan tanah kelahiran mereka.

Stalasi ke-10 ada di depan sebuah gereja yang dulunya adalah stasiun pemancar yang digunanakan sebagai sarana untuk menyebarkan Proklamasi ke seluruh Indonesia dan dunia kala itu. Kami kemudian mengakhiri perjalanan di museum Sribaduga untuk duduk dan sharing. Ada sedikit hal lucu waktu berjalan dari stilasi ke-9 menuju stilasi ke-10, adikku, yang saat itu kelelahan memakai flat shoes membuka sepatunya dan bertelanjang kaki, seolah menghayati perjalanan Bandung Lautan Api. Lucu saja rasanya, padahal di awal aku sudah menyuruhnya memakai sepatu, tapi dia malah memakai flat shoes dan kakinya hampir lecet karna itu, biarlah jadi pelajaran saja untuknya. Nagleut kali ini cukup panjang, paling panjang dari yang aku alami selama di Aleut, 8,88 KM sudah kami susuri pagi itu.

Dengan lebih dari seribu langkah kami menyusuri cerita Bandung Lautan Api pagi itu. Aku jadi tahu, bahwa Bandung Lautan Api bukan sekedar tentang Moh. Toha dan Moh. Ramdan, bahwa Bandung Lautan Api adalah sebuah strategi perang, mundur, tapi juga membumi hanguskan. Bahwa para pemuda Bandung bukanlah pemuda peuyeum ball yang mundur karena tak berani melawan, tapi pemuda yang berfikir dan berstrategi. Jika saja kala itu mereka melakukan perlawanan, sudah bisa dipastikan, dengan kekuatan dan persenjataan yang tidak memadai akan banyak korban berjatuhan dan yang didapat, hanya kekalahan.

Terkadang memang, kita harus meninggalkan, melepaskan, bahkan menghancurkan, membumi hanguskan apa yang kita jaga, apa yang kita cintai dan lindungi, justru karena kita ingin menjaganya, ingin melindunginya dari apa-apa yang bisa mengancamnya. Menjadikannya lautan api sebelum mari Bung rebut kembali.

Catatan: Terima kasih untuk Anjani yang memintaku bercerita, jadi aku menuis lagi. Lagi-lagi ini bukan cerita sejarah, hanyalah sebuah catatan perjalanan yang sebenarnya aku banyak lupanya daripada ingetnya. Mohon dimaafkan jika ada kesalahan, dikoreksi lebih baik. Terima kasih untuk yang sudah membaca.

p.s.

Bandung, 28 Maret 2019

Tautan Asli puspitaputri.tumblr.com/

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s