Mengenal Pans dalam Lembaran Kertas Cokelat

IMG_20180302_151006

Buku Selamat Tinggal Hindia: Janjinya pedagang telur | © Komunitas Aleut

Oleh : Arifin Surya Dwipa Irsyam (@poisionipin)

Namanya Frans Schomper, yang kemudian bermetamorfosis menjadi Pans melalui lidah pribumi. Pans adalah anak seorang pengelola hotel. Ayahnya bernama L.C. Schomper, sementara sang ibu bernama A.M. Bruyns. Ia lahir di Batavia pada tanggal 27 Oktober 1926. Pans digambarkan sebagai sosok bocah Eropa Totok yang bandel dan senang bermain-main. Bocah petualang ini sering berpindah-pindah tempat tinggal, karena pekerjaan ayahnya. Mulai dari Batavia, Lembang, hingga ke Bandoeng. Saya “mengenal” Pans sejak beberapa tahun lalu. Hanya saja, memang belum diberi kesempatan untuk mengenalnya lebih intim melalui lembaran buku Selamat Tinggal Hindia: Janjinya pedagang telur. Minggu lalu, Abang menghadiahkan pada saya satu eksemplar buku best seller tersebut, sebagai “penghargaan” atas kesudian saya menjadi pemateri Kelas literasi bertema Indische Groenten di Museum Gedung Sate.

Buku Pans yang diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia ini menjadi semacam penyegar bagi otak saya yang sedang dilanda gundah gulana karena asmara. Jalinan kata di dalamnya terabsorpsi dengan mudahnya dan tanpa henti di kepala. Selain bahasa tulisan yang asyik dibaca, Pans juga menyebutkan berbagai nama lokasi di Bandoeng Tempo Doeloe yang bahkan baru saya ketahui belakangan ini. Sangat menarik! Bayangkan saja, lintasan-lintasan penggalan waktu di Hotel du Pavillion, Hotel Schomper, Christelijk Lyceum, Schoneboom, kamp-kamp interniran, dsb, berputar tanpa jeda dalam benak. Tak luput, acap kali saya membayangkan sosok Pans berbicara bahasa melayu dengan logat petjohnya yang kental. Pans terasa begitu nyata, meskipun yang berada dipangkuan saya hanyalah sebuah buku dengan lembaran-lembaran kertas coklat di dalamnya.

Paparan Pans mengenai kondisi sulit yang ia alami mampu membuat pembaca menitikkan air matanya. Kondisi kehidupan orang-orang Eropa Totok dan Indo yang pada mulanya disejajarkan dengan kehidupan di surga, berubah drastis saat Hindia Belanda memasuki masa kependudukan jepang dan masa “bersiap”. Mereka dipaksa berpisah dari sanak saudara dan aset-aset berharga lainnya. Hidup sengsara di dalam kamp interniran, rasa lapar yang menggerogoti tubuh, kekerasan fisik yang menyiksakan lahir batin, rasa rindu yang tak terbendung, penyakit disentri dan busung lapar yang merajalela, serta serbuan serangga parasit di malam hari.

Tulisan Pans memang mengandung sinisme terhadap para pemuda Indonesia yang terbakar api nasionalisme, terutama di bab-bab akhir. Namun, Pans tidak menggambarkan seluruh orang-orang pribumi ibarat hewan buas yang baru memperoleh kebebasannya. Ada satu tokoh bernama Enoh yang berhasil mengambil hati saya. Pria pribumi berkulit sawo matang itu dideskripsikan sebagai seorang sopir yang setia bagi keluarga Schomper. Ia tak lelah “mengikuti” Schomper berpindah lokasi dari satu kamp ke kamp lainnya. Beberapa paragraf tentang Enoh membuat saya menangis. Di halaman 215 diceritakan bahwa Enoh mengunjungi Pans di kamp Cimahi. Ia datang di saat yang tak terduga dan membawa aneka makanan lezat seperti dendeng, muisjes, roti, dan masakan-masakan khas Indonesia buatan sang Istri. Bayangkan jika anda adalah Pans yang setiap harinya hanya memakan Bubur Asia Raya, pipilan jagung, atau ubi.  Fakta paling sedih mengenai garisan tangan Enoh dan keluarga tertulis pada halaman 253. Mereka dihabisi oleh sesama pribumi, karena dianggap sebagai penghianat bangsa. Hanya karena loyalitasnya yang tinggi pada Keluarga Schomper.

Selain kisah masa kecil dan kehidupan di dalam kamp, Pans juga mengungkapkan kehidupan-kehidupan seputar seksualitas. Diceritakan bahwa pengamalan seks pertama kali ia alami saat berusia lima tahun bersama Foes, teman kecilnya. Pans juga menyinggung masalah homoseksualitas di masa itu dengan menceritakan kisah seorang pemuda Eropa yang suka mencari anak laki-laki dari jalanan untuk digagahi. Hal unik lainnya adalah issue mengenai efek merancap terhadap gangguan saraf yang dipercaya oleh masyarakat Hinda Belanda tempo itu, juga tentang sepasang kakak beradik berpayudara besar bernama Kitti dan Nelly van Bevervordelaan yang dijuluki sebagai pepaya menggantung, serta Nyonya Stam pemilik rumah bordil di Welgelegen. Semua hal itu ia ramu sedemikian rupa, sehingga tidak terkesan cabul seperti Anny Arrow.

Pans, aku memang hanya mengenalnya lewat tulisan. Namun, sangat terasa lekat di hati. Kesedihan-kesedihannya dapat kita sentuh dalam buku setebal 276 halaman ini. Bagi rekan semua yang belum membacanya, sila membaca. Satu kekurangan dari buku Selamat Tinggal Hindia: Janjinya pedagang telur yakni banyak typo di dalamnya.

Selamat membaca dan meresapi kisahnya!

Tabik

Baca juga artikel lainnya mengenai buku

(komunitasaleut.com – ipi/upi)

 

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s