
Ngaleut Kampung Warna Cibunut – Komunitas Aleut
Oleh: Hendi “Akay” Abdurahman (@akayberkoar)
Beberapa orang meyakini, pertemuan dan ide-ide cemerlang kerap hadir di cafe-cafe di tengah kota. Obrolan ngalor-ngidul untuk menghasilkan sesuatu yang berujung pada satu tujuan yang sama diharapkan akan membuat satu perubahan besar. Lalu, bisakah pertemuan dan ide-ide itu lahir dari obrolan di gang-gang kecil?
Saya melihat sekumpulan orang di depan toko Istana Boneka setelah melewati perempatan Jalan Sunda-Jalan Veteran. Seorang perempuan yang saya kenali melirik, untuk kemudian beradu pandang. Saya tak berhenti karena tanggung dengan kendaraan lain yang sedang melaju cepat. Alasan lainnya, saya mencoba mencari tempat parkir yang bisa ditinggali sampai siang.
Tempat parkir tak didapat, meski hari Minggu, halaman parkir di Jalan Sunda cukup padat. Mau tak mau akhirnya saya memutar kembali ke titik kumpul di depan toko Istana Boneka. Turun dari motor, saya melihat toko Istana Boneka dalam keadaan tutup. Saya tidak tau jam operasioanal toko ini, tapi entah mengapa, saya yakin jika toko ini bakalan buka siang nanti. Artinya saya harus pindah parkir dari sini.Benar saja, tempat parkir memang harus dipindahkan setelah Irfan berbincang dengan orang setempat. Ia menceritakan bahwa toko itu akan buka siang, tapi entah jam berapa. Kami yang sudah memarkirkan motor kemudian mencari tempat parkir yang cukup luas, aman dan bisa berlama-lama memarkirkan motor. Akhirnya kami sepakat untuk memarkirkan kendaraan kami di Jalan Baranangsiang.
***
Minggu pertama di bulan Desember, saya dan Komunitas Aleut hendak Ngaleut ke salah satu kampung kota bernama Kampung Warna Cibunut. Sekilas, dari Jalan Sunda, tak terlihat di mana letak Kampung Warna Cibunut ini, selain karena tak ada petunjuk, baru beberapa hari ke belakang nama kampung yang satu ini terdengar gaungnya, setidaknya bagi saya pribadi.
Beruntung Arfin, teman saya yang sebelumnya pernah berkunjung ke sini, menjelaskan daerah dan kawasan Kampung Warna Cibunut terlebih dahulu sehingga kami tak perlu mencari-cari lagi.
Perlu diketahui, jika Ngaleut ke kampung-kampung kota, itu berarti tidak ada pemanduan. Kita dituntut mendapatkan informasi dengan langsung berkomunikasi pada warga sekitar. Lain halnya apabila Ngaleut ke bangunan-bangunan heritage atau ke tempat bersejarah lainnya.
Puluhan orang yang ikut Ngaleut – dikarenakan akan memasuki gang-gang yang relatif sempit, membuat Ngaleut pagi itu dibikin menjadi beberapa kelompok. Pembagian kelompok ini lebih kepada agar saat beriringan nanti, kami tetap merasa nyaman, juga agar warga tidak terlalu kaget.
Memasuki gang, saya dan beberapa teman dipaksa menengadah untuk melihat tulisan berukuran cukup besar: Cibunut RW 07. Semakin masuk ke dalam, beberapa tulisan lainnya menginformasikan bahwa kampung ini berada di kelurahan Kebon Pisang dan kecamatan Sumur Bandung.

Mural di Kampung Warna Cibunut – Komunitas Aleut
Pot bunga yang berjejer di tangga serta tembok dengan warna-warna yang “nyala” seolah tersenyum menyapa kami. Menuju gang demi gang, warna-warna tembok makin bervariasi. Tak hanya warna, mural-mural dengan berbagai gambar memenuhi Kampung Cibunut. Ternyata setiap warna dan mural yang dibuat di kampung dengan 300-an rumah dan 500-an kepala keluarga ini memiliki makna yang berbeda-beda.

Mural Kampung Warna Cibunut – Komunitas Aleut
Sembilan warna yang berada di kampung ini antara lain: Hijau muda untuk RT 1, biru tua untuk RT 2, merah muda untuk RT 3, kuning untuk RT 4, merah untuk RT 5, hijau untuk RT 6, biru muda untuk RT 7, ungu untuk RT 8, dan oranye untuk RT 9.
Tak cukup dengan 9 warna, ada juga 5 zona mural yang terdapat di Kampung Warna Cibunut. Saya mengetahuinya setelah melihat banner yang ditempel di pagar. Ke 5 zona itu adalah World Peace, Local Genius, Zona Bermain, World Insight, dan terakhir Budaya dan Tradisi Lokal.

Map Kampung Warna Cibunut – Komunitas Aleut
Menelusuri Tiap RT, Menelusuri Tiap Warna
Suasana khas gang mulai terasa ditandai oleh teriakkan ibu-ibu yang pagi itu sedang bersih-bersih. Deretan motor yang sedang terparkir di kiri dan kanan semakin menguatkan bahwa saya sedang mendatangi sudut lain Kota Bandung.
Belum lama saya menelusuri dari satu gang ke gang lainnya, saya mulai kebingungan. Saya terpencar dari rombongan besar. Terlihat beberapa teman lain sedang menerka-nerka ke mana lagi mereka akan berjalan.
Saat kebingungan melanda, beberapa bocah yang sedang saling berangkulan menjadi tempat saya bertanya, “Jang, upami arah kanu warna ungu ka mana?” tanya saya. Bocah yang saya tanyai menunjuk ke arah depan. “Ka payun a, tapi nuju aya nu nikahan,” balasnya. Setelah tos (ces) dan berterima kasih saya mengarahkan langkah sesuai petunjuk si bocah.
Saya berputar-putar, kadang terpikir seperti sedang bermain ular tangga. Maju ke gang satu, eh balik lagi ke gang sebelumnya. Hingga akhirnya sampailah saya di ujung Kampung Cibunut, tepatnya di RT 5 dengan dominasi warna merah membara. Ada lahan yang tak terlalu lega, tapi cukup untuk membuat saya berbincang-bincang dengan warga sekitar. Sungai Cibunut yang berada di pinggir lahan menawarkan aroma kurang sedap, tak lama seorang warga membawa cairan yang berfungsi untuk sedikit menghilangkan aroma tak sedap yang berasal dari sungai. Cairan tersebut adalah kombinasi campuran air beras dan cairan-cairan lain yang ditambah cairan bau buah-buahan. Selain sebagai pupuk, juga agar bau yang berasal dari sungai tak terlalu menyengat.

Aleutians Sedang Mengobrol Dengan Pak Sumaryo – Komunitas Aleut
Teman-teman perempuan tampak sibuk ngobrol dengan salah satu warga mengenai biopori, biogas dan biodigester. Sedangkan saya ngobrol ke sana kemari bersama seorang bapak-bapak berpakaian hitam-hitam dengan rambut yang nampak beruban bernama Pak Sumaryo.
Warga Kampung Cibunut umumnya, dan warga RT 5 pada khususnya merasakan pentingnya buang sampah pada tempatnya. Memanfaatkan sampah menjadi sesuatu yang berguna juga terlihat saat ibu-ibu membawakan gaun, topi, dan tas yang dibuat dari bekas bungkus kopi sachet. Di RT 5 ini saya dan mungkin teman-teman lainnya menikmati kedekatan sebagai satu manusia kota yang tumbuh dan berkembang di gang-gang sempit.
Setelah dirasa puas ngobrol bersama warga RT 5, kami kembali jalan-jalan menyusuri RT-RT lainnya yang dirasa belum terjamah. Beberapa kawan terlihat jajan di warung, ada juga yang duduk-duduk sambil istirahat. Sedangkan yang selfie dan foto-foto hampir semua peserta Ngaleut melakukannya.
Sampai akhirnya, panas mulai terasa. Saya melihat layar handphone untuk melihat jam. “Hmmm… pantas, sudah siang,” ujar saya dalam hati.
Sebelum pulang, kami sharing dan ngobrol dengan para pemuda Kampung Warna Cibunut yang menamai diri mereka dengan nama Cibunutfinest. Kami dijamu di ruangan dengan tembok berwarna kuning berlantai dua. Ember cat masih terlihat di setiap penjuru ruangan. Para pemuda Cibunutfinest mempersilakan kami untuk duduk. Obrolan dan sharing dibumbui guyonan-guyonan khas warga kampung. Begitu cair, begitu akrab.
“Sebagai pemuda, kalau posisi mah kita itu di tengah-tengah. Fleksibel kanan kiri. Ada orang tua ada anak-anak. Bagaimana caranya kita berkomunikasi dengan orang tua, bagaimana kita mengarahkan adik-adik kita agar bisa meneruskan apa yang kita perjuangkan,” Roby menjelaskan tentang kampungnya dalam sharing siang itu.
Kampung Cibunut sebenarnya dirancang dari tahun 2010 untuk menjadi seperti sekarang. Di mana awal pergerakannya adalah dengan menyatukan para pemudanya. Sampai akhirnya kampung ini menjadi seperti yang kami lihat.
Tak lama dia melemparkan pertanyaan yang cukup menohok.
“Ada yang hidup di gang?”
“Gimana, suka blok-blokan?”
Hampir semua yang berada di ruangan itu mengiyakan disertai dengan senyuman.
“Nah itulah gambaran Kampung Cibunut dulu, tapi dengan semangat untuk bersatu dan keinginan untuk memajukan kampung sendiri akhirnya sedikit demi sedikit rintangan-rintangan itu mulai bisa diatasi,” tambah Roby.
Ternyata Kampung Warna Cibunut belum sepenuhnya selesai. Roby menjelaskan bahwa keadaan Kampung Cibunut sekarang masih sekitar 25%. Masih banyak PR yang harus diselesaikan. Pantas saja, saat berjalan-jalan di gang-gang tertentu masih terdapat beberapa rumah yang belum dicat. Seperti yang terdapat di RT 8 yang belum sepenuhnya berwarna ungu.
Ngobrol dengan para pemuda Cibunutfinest menjadi rangkaian acara terakhir dalam Ngaleut kali ini. Setelahnya kurang “mabrur” kiranya jika kami tak foto bersama. 1…2…3… ckrek !!!

Foto Keluarga Aleut – Komunitas Aleut
Obrolan ngalor ngidul para pemuda Kampung Cibunut di gang-gang dekat rumahnya, impian untuk mendekatkan diri dengan warganya, serta rasa ingin memajukan kampungnya menjadi penyemangat dan cita-cita warga Kampung Warna Cibunut. Ya, ide besar ternyata bisa didapat di mana saja, termasuk di gang-gang sempit seperti di Kampung Cibunut.
Wisata gang atau wisata kampung kelak bisa menjadi alternatif wisatawan untuk menghabiskan liburannya dengan cara yang berbeda. Sebab, Bandung tak hanya Alun-alun atau Braga saja. (aka/upi)
Baca juga artikel lainnya mengenai catatan perjalanan ngaleut.
Wah, benar benar kampung warna…
Inspiratif…
iya kang sangat berwarna